I.
PENDAHULUAN
Ketika para sahabat dihadapkan dengan pelbagai
persoalan hidup di masa hayat Nabi Muhammad Saw., mereka serta merta dapat memeroleh
pencerahan langsung dari beliau, meski di beberapa kesempatan juga musti melalui
wasilah Aisyah, ra. guna menanyakan persoalan hidup yang sifatnya pribadi. Jika
pada masa itu para sahabat begitu mudahnya bersua, menghadiri majlis ta’lim
hingga meminta syafa’at dari Rasulullah Saw., lalu bagaimana nasib umat Muslim sepeninggal
Nabi Saw.? bagaimana jika umat yang digariskan hidup di luar zaman beliau ingin
dan membutuhkan wasilah (bertawasul) untuk minta dimintakan pertolongan pada
Allah Swt. oleh Rasulullah Saw.? Tentu saja ada semacam hak egaliter bertawasul
antara umat Muhammad sepeninggal beliau dengan para sahabat bukan? Jika ada orang
yang menghujat bershalawat dan bertawasul kepada Nabi tidak diperbolehkan, lalu
dimana letak keadilan Islam yang berstatus homogen sebagai umat Nabi Muhammad?
Lalu dengan apa lagi kita akan berhubungan dengan Rasulullah SAW. selain dengan
jalan tawassul? Bukankah semua umat Muslim mempunyai hak yang sama dalam
bertawassul pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Tawassul
termasuk permasalahan yang menjadi polemik di kalangan ulama. Di zaman Rasul,
masalah tawassul belum mengemuka sehingga harus diperdebatkan. Keadaan ini
berlangsung hingga akhir abad ke tujuh hijriyah. Tawassul menjadi hangat
dibicarakan ulama sejak abad ke delapan hijriyah.[1]
Setidaknya
ada dua faktor mayor yang melatarbelakangi mengapa saya memilih pembahasan ihwal
tawassul. Kalau boleh saya klasifikasikan, alasan ini terbagi menjadi dua yakni
alasan internal dan alasan eksternal. Pertama, untuk memperkuat kredo
berkenaan dengan tawassul dengan bertambahnya bukti-bukti mengapa saya musti
bertawassul. Kedua, untuk menambah horizon yang berkaitan dengan syarat pemenuhan
tugas ujian tengah semester.
Makalah
ini sangat penting bagi saya karena akan menjawab kegelisahan personal
berkenaan dengan apa itu tawassul, berikut pentingnya tawassul bagi kehidupan keberagamaan
saya. Terus terang, sebelum akhirnya berdomisili di Semarang, saya kerap
bertanya-tanya sendiri apa tujuan dan faedahnya bertawassul? Bagaimana mungkin
kita bisa meminta pertolongan pada orang-orang yang telah meninggal untuk
menyampaikan permintaan pada Allah. Swt?. Dirasa begitu banyak pergumulan
pikiran dan kegelisahan personal saya ketika sebelumnya tak mengenal tawassul
sama sekali – meski orang tua saya juga bertawassul usai wirid dan doa setelah
menunaikan sholat berjamaah – pikiran saya mulai terganggu justru ketika
melanjutkan studi di Semarang dimana ritual sakral bertawassul sangat lazim
dilakukan. Maklum lingkungan domisili madrasah aliyah saya tidak mengajarkan
bertawassul. Bahkan, sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan wawasan
ke-NU-an, dimana tradisi tawassul sangat populis di kalangan ini.
Jadi,
saya mengalami semacam pergolakan batin antara harus melakukan tawassul atau
tidak. Dikarenakan saya tidak pernah mendapatkan pendidikan ke-NU-an
sebelumnya, saya seperti mengalami masa disorientasi-dilematis, kecenderungan
mana yang musti saya ikuti. Bahkan ada salah satu teman saya yang melabeli saya
sebagai orang NU awam, karena kedangkalan wawasan akan NU jika dibandingkan
dengan teman-teman seperjuangan saya di madrasah aliyah. Selama tiga tahun pula
saya tidak pernah membiasakan tradisi NU, seperti barjanzi, tawassul, tahlilan,
yasinan, dan lain sebagainya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa hakikat wasilah dan tawasul?
B.
Bagaimana epistemologi wasilah dan
tawasul?
C.
Bagaimana distorsi pemikiran Ibnu
Taimiyyah ihwal tawasul?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Tawasul
Al-wasilah
menurut bahasa adalah ‘kedudukan di hadapan seorang penguasa’ atau ‘kedekatan’.
Contoh si fulan mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu amal, yang bila ia
kerjakan, maka akan mendekatkannya kepada Allah Swt. Sedangkan al-wasil adalah
‘orang yang bermohon kepada Allah.[2]
Imam
al-Qurthubi berpendapat, al-wasilah adalah al-qurbah atau
pendekatan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa wasilah adalah ‘segala
sesuatu yang dengannya seseorang bisa memeroleh apa yang dimintanya.
Jadi
tawassul adalah sebuah saran berdoa atau salah satu pintu perantara
untuk bermohon kepada Allah. Tujuan tetap kepada Allah Swt. Hanya saja
seseorang memanfaatkan perantara sekadar mendekatkannya pada Allah Swt. karena
barang siapa meyakini ada penolong baginya selain Allah maka ia telah berlaku
syirik.[3]
Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa tawassul dengan mengimani Muhammad SAW dan
mengikuti ajarannya merupakan kewajiban setiap orang. Tak ada jalan untuk
sampai kepada rahmat dan keselamatan-Nya kecuali melalui tawassul dengan
mengimani Rasul SAW dan mengikuti ajarannya. Beliau itu pemberi syafaat dan
pemilik tempat terpuji yang diimpikan semua orang.[4]
Tawassul pada dasarnya merupakan konsep yang
dapat ditemui pada seluruh aliran tasawuf atau tarekat, baik dalam ajaran Islam
maupun lainnya. Secara etimologis, tawassul berarti permintaan (permohonan).
Sementara secara terminologis, tawassul adalah media strategis untuk membangun
jalan spiritual demi suksesnya perjalanan batiniah menuju Allah.[5]
Dalam
dunia tasawuf, shalawat kepada Nabi Muhammad dapat menjadi wasilah (perantara)
dan dengan wasilah ini orang yang membaca shalawat akan memeroleh
garansi syafa’at dari nabi. Karena wasilah merupakan jalan menuju Allah.
Maka tidak heran hampir di setiap aliran
tarekat terdapat shalawat Nabi. Hal ini terkait dengan konsep tasawuf
tentang al-haqiqah al-Muhammadiyah (hakikat ke-Muhammad-an), yakni bahwa
segala sesuatu tercipta dari Nur Muhammad, atas kehendak Allah. Bahkan dalam
hadits qudsi dijelaskan: “Jika tidak ada engkau (Muhammad), niscaya Aku tidak
akan menciptakan segala cakrawala.[6]
Allah
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kau kepada Allah dan carilah
wasilah (jalan) kepada-Nya.” (QS. al-Ma’idah [5]: 35).
Rasulullah
bersabda: “Bertawasullah denganku dan keluargaku (untuk menuju) kepada Allah
karena sesungguhnya orang yang ber-wasilah itu tidak akan ditolak.” (HR.
Ibn Majah)
Ibnu
Abbas, salah seorang sahabat nabi, memaknai wasilah sebagai “semua
perkara yang mendekatkan diri kepada Allah, dan menyebut nabi adalah termasuk
ibadah.” Pernyataan Ibnu Abbas ini sesuai dengan sabda nabi: “Mengingat aku
(menyebut namanya) adalah ibadah.” (HR. Ibnu Majah).[7]
Dikatakan
bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengulas bukunya Syekh ‘Abd al-Qadir, yakni Adab
al-Suluk wa al-Tawassul ila Manazil al-Muluk, yang berbicara tentang
pedoman tawassul. Bahkan Ibnu Taimiyah rma. tidak sekadar memberikan kemampuan
(al-qadr) penjelasan saja, akan tetapi ia juga melebar memuji Imam
al-Jailani sebagaimana ujarannya: “Syekh ‘Abd al-Qadir termasuk syekh semasanya
yang paling terkenal keteguhan akan syariat dan amar makruf nahi munkar, juga
menonjolkan pengutamaan syariah atas ilham (dzauq) dan kemampuan (al-qadar),
serta termasuk Syekh Sufi yang paling istiqamah menyerukan pengabaian hawa dan
pemberangusan kerakusan nafsu.[8]
Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari dosen Kulaih Perkembangan
Pemikiran Islam, Pak Ubaidillah Achmad, bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah satu
murid Syekh Abdul al-Jailani. Pun Pengasuh Ma’had al-Jami’ah Walisongo
Semarang, KH. Fadlolan Musyaffa’ pernah menyatakan bahwa sebenarnya Ibnu
Taimiyyah adalah ulama yang membolehkan tawassul, hanya disayangkan ada semacam
distorsi pengamalan keberagamaan pengikutnya kekinian.
Wasilah
adalah perantara, semacam jembatan dari satu daerah ke daerah yang lain. Maka
jembatan ini semestinya bukan sebagai tujuan (ghayah), karena tujuannya
adalah daerah seberang. Pun dalam ber-tawassul pada Nabi Saw. dan para Auliya,
tidak semestinya tujuan seorang Muslim sebatas pada jasad lahir dan
kekaguman pada kekasih Allah itu, karena menurut logika pencapaian, jika tujuan
sudah tergapai maka jalan sudah tidak penting lagi. Tujuan terhakiki tawassul adalah
Allah Swt. semata. Apabila salah menentukan ghayah, maka sadar atau
tidak kita telah menyekutukan Allah Swt. Adapun tawasul yang dilarang oleh Ibnu
Taimiyyah adalah jika memohon pada jasad Nabi, bukan karean iman dan kecintaan
beliau pada Allah Swt.
B.
Epistemologi
Wasilah dan Tawasul
Ibnu
Taimiyah menekankan bahwa tawassul pada ulama hendaknya melalui iman, cinta,
ketaatan, dan pengagungan mereka terhadap Allah. Dalam buku Tawassul dan
Wasilah, Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan tawasul menjadi dua, yakni: Pertama,
tawassul supaya dikabulkan doa, sehubungan dengan hadits tiga orang yang
terjebak dalam goa maka mereka tawassul dengan amal saleh masing-masing.
Akhirnya mereka bisa keluar dari goa itu. Kedua, tawassul supaya
memperoleh pahala berupa surga dan keridhaan Allah Swt.[9]
Pada
hakikatnya para sahabat bertawassul melalui Rasulullah SAW disebabkan oleh iman,
ketaatan, dan rasa cinta pada beliau. Mereka tidak jatuh pada diri Rasulullah,
dalam konteks ini adalah jatuh pada jasad. Tampaknya, Ibnu Taimiyah juga
menekankan larangan tawassul karena jasad. Karena jika umat Islam bertawassul
karena kekaguman pada jasad seseorang maka hal itu menjadi tujuan akhir yang
nisbi.
Terdapat
empat poin penjelasan beberapa ulama ahli tasawuf ihwal shalawat sebagai wasilah
yang dikutip oleh Sokhi Huda. Pertama, jalan yang paling dekat (menuju wushul)
kepada Allah pada akhir zaman, khususnya bagi orang yang senantiasa berbuat
dosa, adalah memperbanyak istighfar (memohon ampun) dan membaca shalawat
kepada nabi. Kedua, sesungguhnya membaca shalawat kepada nabi dapat
menerangi hati dan me-wushul-kan tanpa guru kepada Allah Yang Maha
Mengetahui segala yang gaib. Ketiga, secara umum, membaca shalawat
kepada nabi dapat me-wushul-kan kepada Allah tanpa guru karena
sesungguhnya guru dan sanad di dalam shalawat adalah shahib
as-shalawt (pemilik shalawat) itu sendiri, yakni Rasulullah. Hal ini karena
shalawat diperlihatkan kepada nabi dan Allah memberi shalawat kepada
pembacanya. Ini berbeda dengan zikir-ikir selain shalawat yang mengharuskan
adanya guru (mursyid) yang ‘arif billah. Sebab, jika tidak ada
guru atau mursyid maka setan akan masuk ke dalam zikir itu dan orang
yang berzikir tidak akan dapat memperoleh manfaat dari zikirnya. Keempat, sesungguhnya
para ulama sependapat bahwa semua amal perbuatan ada yang diterima da nada yang
ditolak, terkecuali shalawat kepad nabi karena sesungguhnya shalawat kepada
nabi itu maqbulatun qath’an (diterima secara pasti).
Sedangkan
dalam pemahaman syari’ah, membaca shalawat dapat memperbanyak pahala bagi
pembacanya. Dalam hadits nabi dijelaskan bahwa orang yang membaca shalawat satu
kali kakan dibalas oleh Allah dengan bacaan shalawat sepuluh kali.
Syekh
Muhammad Alwy al-Maliky berpendapat bahwa perbedaan meminta tawassul pada Nabi
atau orang-orang shaleh hanya terletak pada syakly (simbol) saja dan
bukan jauhary (esensial). Karena bertawassul kepada seseorang akan
kembali kepada hakekat pribadi orang yang dijadikan wasilah. Yaitu, amal
kebaikan yang sering ia lakukan hingga menjadi sosok yang shaleh. Hal ini penting
agar tidak salah kaprah, apalagi sampai menvonis saudara sesama Muslim dengan
label musyrik.
Tawassul
terhadap sesuatu pada hakekatnya bermohon pada amal yang telah dinisbatkan sesuai
yang ia kerjakan saat itu. Barang siapa bertawassul kepada seseorang dikarenakan
ia meyakini orang tersebut dicintai Allah karena amal jihadnya, atau ia yakin
Allah Swt. mencintainya karena amal shaleh yang sering ia lakukan. Bila
direnungi dengan seksama, maka dapat ditangkap bahwa tawassul muncul karena rasa cinta yang dibarengi keyakinan. Yakin
bahwa semua yang ia mohonkan dinisbatkan kepada sesuatu yang dijadikan
perantara itu.[10]
Saya pun ketika mengirim fatihah sebelum membaca wirid cenderung ingin mengetahui
secara mendalam siapa orang-orang yang saya kirimi fatihah. Misalnya Syekh
Abdul Qadir al-Jailani. Namun, satu hal yang membuat saya bimbang, meski sudah
tahu kesalehan beliau – sentah kenapa saya tidak merasakan kedamaian batin
setitik pun. Ternyata saya sekadar mengirimi fatihah tanpa sadar memohon
dimintakan permintaan pada Allah karena amalan shalih para kekasih yang
mencintai Allah itu. Rasanya hambar dan saya merasa bahwa tawassul ini tidak
berfungsi baik sebagaimana mestinya karena saya ragu dan kurang yakin.
C.
Distorsi
Pemikiran Ibnu Taimiyyah ihwal Tawassul
Dalam
buku “Islam dan Khilafiyah”, dikatakan bahwa tawassul menurut Ibnu Taimiyyah
adalah haram, berikut pendapat yang didukung dan diusung habis-habisan oleh
pengikutnya sampai masa kini. Menurut Taqiyyudin bin Taimiyyah dan sebagian
dari ulama mutaakhir Madzhab Hanabilah bahwa tawassul kepada zat Nabi adalah
terlarang. Namun, informasi yang saya dapatkan dari KH. Fadlolan Musyaffa’
bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang membolehkan tawassul. Pun
dosen mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam saya, Pak Ubaidillah Achmad,
juga menyatakan demikian, bahkan Ibnu Taimiyyah pernah berguru pada Syeikh
Abdul Qadir al-Jailani yang justru membolehkan tawassul.
Kendati,
ada dua pemikiran yang bertentangan. Saya berusaha mencari duduk permasalahan perbedaan
keduanya hingga saya menemukan benang merah.
Termaktub
dalam dua literatur terjemahan tentang tawassul dan wasilah karya Ibnu
Taimiyyah bahwa beliau mengharamkan tawassul. Usai sekilas mencermati dua buku
terjemahan itu, muncul sebuah keraguan untuk mengutip pembahasan tema terkait
lebih banyak. Sikap ini lebih disebabkan oleh asumsi personal bahwa karya
terjemahan itu cenderung bersifat apologis, mendukung pengharaman tawassul
mati-matian terutama oleh pengikut muta’akhkhirin Ibnu Taimiyyah yang
mengajak bertauhid murni dan menghimbau untuk meninggalkan segala khurafat dan
bentuk-bentuk ritual keliru lainnya.
Satu
hal yang paling saya khawatirkan ketika bertawassul kepada para waliyullah,
misalnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, syirik tidaknya – apalagi jika mendengar
pendapat bahwa bertawassul itu berkaitan erat dengan tauhid-, sampai atau tidak
tawassul saya, sampai menanyakan untuk apa bertawassul pada orang yang sudah
tinggi kemuliaannya di sisi Allah ketimbang manusia biasa seperti saya yang
tidak ada apa-apanya.
Semakin
ke sini, perlahan tapi pasti, dengan segenap ikhtiar untuk menemukan jawaban
dari pertanyaan obsesif di atas, saya mulai menemukan jawabannya. Jawaban ini
saya dapatkan dari penjelasan KH. Fadlolan di saat mengaji kitab di Ma’had
al-Jami’ah Walisongo, dari literatur ihwal tawassul, dan dari teman-teman yang
cukup lama mengenal dan mafhum tentang tawassul.
Masalah
tawassul termasuk bagian dari pembahasan fiqhiyyah furu’iyyah, karena
hakikat tawassul adalah menjadikan sesuatu sebagai ‘perantara’ atau pendekatan
kepada Allah Swt. Mayoritas Ahli Fiqih dari Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Ulama
Muta’akhakhir Hanafiyah membolehkan tawassul . Namun menurut Imam Abu Hanifah,
AbuYusuf dan Abu Muhammad memakruhkan tawassul. Menurut Taqiyyudin bin
Taimiyyah dan sebagian dari ulama muta’akhkhir Madzhab Hanabilah bahwa tawassul
kepada zat Nabi adalah terlarang.[11]
Tampaknya saya perlu mendudukkan secara proporsional pendapat yang terakhir
ini. Dalam dua buku terjemahan “Tawassul dan Wasilah”, dikatakan bahwa
pengharaman tawassul Ibnu Taimiyyah ini jika berhenti pada zat Nabi-maksudnya jasad
beliau sebagai Nabi yang paling agung- bukan karena ketinggian iman Nabi. Demikian
pula pendapat ini dikuatkan oleh keterangan dari dosen pengampu mata kuliah
Perkembangan Pemikiran Islam. Larangan tawassul yang diusung oleh Ibnu
Taimiyyah ini merupakan sikap mengkounter tindak tanduk umat Islam yang terlalu
mengagungkan wali-wali Allah, yang justu berlebihan pada jasad hingga
melalaikan tujuan substantif bertawassul.
Dikatakan
lagi di buku ‘Islam dan Khilafiyah’ bahwa tawassul adalah bagian dari ahkam
syar’iyyah, yang masuk dalam bahasan fiqih.[12]
Mencampurbaurkan permasalahan fiqih dengan tauhid adalah tindakan yang kurang
bijak - jika enggan dikatakan kesalahan besar yang patut dihindari. Cakupan
bahasan ilmu aqidah atau ilmu tauhid hanya seputar Uluhiyyat, Rububiwiyyat dan
Sam’iyyat.
Mereka
yang memasukkan tawassul bagian dari aqidah berpendapat bahwa orang yang
bertawassul meyakini bahwa sang ‘perantara’ memiliki pengaruh besar diterima
atau ditolaknya permintaan mereka. Di samping dapat juga menghindarkan mereka
dari hal-hal yang buruk. Karena itu tawassul masuk dalam bahasan aqidah .
Manusia tidak akan bertawassul kepada sesuatu, kecuali dia meyakini bahwa
perantara itu memiliki pengaruh terhadap apa yang ia inginkan.
Pendapat
ini sama sekali tidak benar. Sudah menjadi konsensus umum umat Islam bahwa
hanya Allah Swt. yang memberi manfaat dan mudarat. Yang memberi pengaruh
sebenarnya Allah dan hanya Dia semata yang menciptakan seluruh sebab-sebab itu.
Maka, tidak ada yang melakukan sesuatu kecuali hanya Allah Swt., dan tidak ada
pencipta sebab selain Dia. Hanya kepada-Nya-lah akan kembali seluruh masalah. Ilaihi
yarji’ul amru kulluhu. Maka tidak ada kuasa dan kekuatan kecuali hanya dari
Allah Swt., Tujuan orang bertawassul dengan kalimat seperti ini:
اللّهمّ
إنّي أسألك / اللّهمّ أتوسّل إليك بنبيّك محمّد أو بالوليّ الفلان
Hakekatnya,
ia hanya meminta kepada Allah semata dan tidak menerima selain-Nya. Tidak juga
menisbatkan kepada ‘perantara’ pengatuh magic, yang bersumber dari
dirinya. Tetapi hanya menetapkan bahwa yang dijadikan ‘perantara’ tersebut,
memiliki kedekatan dan kedudukan di sisi Allah Swt. Kedudukan (manzilah)
tersebut dimilikinya di dunia dan akhirat.[13]
Penjelasan
di atas tentunya semakin membuat saya paham di mana duduk permasalah perdebatan
polemik para ulama tentang tawassul. Lalu yang menjadi kegelisahan saya
selanjutnya adalah untuk apa umat Islam yang bertawassul dengan menghadiahi
fatihah kepada para wali Allah sedangkan keagungan mereka jauh lebih besar
dengan manusia biasa. Khusus pertanyaan ini saya ajukan kepada salah seorang
teman saya yang bersosio-kultur masyarakat yang memegang erat tradisi tawassul.
Demikian jawabannya, jamak diketahui bahwa para wali sudah berada di posisi
aman, dekat dengan Allah, sehingga dengan menghadiahkan fatihah atau yang lain,
manusia yang mengirimi fatihah tersebut akan mendapatkan luberannya. Sehingga
sebagai manusia biasa selayaknya kita akan didoakan oleh mereka yang doanya
lebih mustajab karena kedekatan-Nya dengan Allah Swt. Jika dianalogikan, teman
saya menggamblangkan penjelasannya, tong yang berisi air (pahala), tong para
wali tersebut telah penuh dan dengan manusia biasa menambah isi air tersebut
(mengirimi fatihah), dengan tujuan air tersebut akan meluber pada kita.
IV.
KESIMPULAN
Rasa
syukur yang tak terhingga dan tiada pernah habis terucap akhirnya saya bisa
menyelesaikan refleksi pemikiran yang sangat sederhana ini. Dari pembahasan di
atas, saya menjadi lebih mafhum bahwa tawassul yang dilarang oleh Ibnu
Taimiyyah adalah tawassul pada jasad. Tawassul yang sifatnya nisbi. Sementara
jika bertawassul atas dasar keimanan, kemuliaan, dan kecintaan para wali,
teristimewa Nabi Muhammad Saw., diperbolehkan. Satu hal yang membuat kredo
bertawassul saya kuat adalah banyak ulama yang menganggap bahwa tradisi
tawassul ini bukan termasuk pembahasan tauhid melainkan masuk pembahasan fiqih
furu’iyyah, walhasil saya tidak perlu cemas untuk melakukan tawassul pada
orang-orang shaleh. Wallahu a’lam bishshawab.
[12] Ulama yang menyatakan bahwa tawassul adalah
cakupan fiqih antara lain: Syekh Husain bin Gunaim al-Ihsai dalam bukunya Rhaudhatul
Afkar wa al-Ifham li Murtad hal al-Imam, Imam Muhammad bin Abdul Wahab, al-Qinnuji
dalam bukunya Nazlul Abrar. Bahkan Syekh Ali Jum’ah, seorang Mufti
Republik Mesir, dalam bukunya al-Bayan, menyatakan bahwa para ulama
sepakat bahwa tawassul tidak haram.
sukron khi...
BalasHapusafwan,, :)
Hapus