Jumat, 13 Maret 2015

Tawasul Perspektif Ibnu Taimiyah



I.                   PENDAHULUAN
       Ketika para sahabat dihadapkan dengan pelbagai persoalan hidup di masa hayat Nabi Muhammad Saw., mereka serta merta dapat memeroleh pencerahan langsung dari beliau, meski di beberapa kesempatan juga musti melalui wasilah Aisyah, ra. guna menanyakan persoalan hidup yang sifatnya pribadi. Jika pada masa itu para sahabat begitu mudahnya bersua, menghadiri majlis ta’lim hingga meminta syafa’at dari Rasulullah Saw., lalu bagaimana nasib umat Muslim sepeninggal Nabi Saw.? bagaimana jika umat yang digariskan hidup di luar zaman beliau ingin dan membutuhkan wasilah (bertawasul) untuk minta dimintakan pertolongan pada Allah Swt. oleh Rasulullah Saw.? Tentu saja ada semacam hak egaliter bertawasul antara umat Muhammad sepeninggal beliau dengan para sahabat bukan? Jika ada orang yang menghujat bershalawat dan bertawasul kepada Nabi tidak diperbolehkan, lalu dimana letak keadilan Islam yang berstatus homogen sebagai umat Nabi Muhammad? Lalu dengan apa lagi kita akan berhubungan dengan Rasulullah SAW. selain dengan jalan tawassul? Bukankah semua umat Muslim mempunyai hak yang sama dalam bertawassul pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
      Tawassul termasuk permasalahan yang menjadi polemik di kalangan ulama. Di zaman Rasul, masalah tawassul belum mengemuka sehingga harus diperdebatkan. Keadaan ini berlangsung hingga akhir abad ke tujuh hijriyah. Tawassul menjadi hangat dibicarakan ulama sejak abad ke delapan hijriyah.[1]
      Setidaknya ada dua faktor mayor yang melatarbelakangi mengapa saya memilih pembahasan ihwal tawassul. Kalau boleh saya klasifikasikan, alasan ini terbagi menjadi dua yakni alasan internal dan alasan eksternal. Pertama, untuk memperkuat kredo berkenaan dengan tawassul dengan bertambahnya bukti-bukti mengapa saya musti bertawassul. Kedua, untuk menambah horizon yang berkaitan dengan syarat pemenuhan tugas ujian tengah semester.
      Makalah ini sangat penting bagi saya karena akan menjawab kegelisahan personal berkenaan dengan apa itu tawassul, berikut pentingnya tawassul bagi kehidupan keberagamaan saya. Terus terang, sebelum akhirnya berdomisili di Semarang, saya kerap bertanya-tanya sendiri apa tujuan dan faedahnya bertawassul? Bagaimana mungkin kita bisa meminta pertolongan pada orang-orang yang telah meninggal untuk menyampaikan permintaan pada Allah. Swt?. Dirasa begitu banyak pergumulan pikiran dan kegelisahan personal saya ketika sebelumnya tak mengenal tawassul sama sekali – meski orang tua saya juga bertawassul usai wirid dan doa setelah menunaikan sholat berjamaah – pikiran saya mulai terganggu justru ketika melanjutkan studi di Semarang dimana ritual sakral bertawassul sangat lazim dilakukan. Maklum lingkungan domisili madrasah aliyah saya tidak mengajarkan bertawassul. Bahkan, sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan wawasan ke-NU-an, dimana tradisi tawassul sangat populis di kalangan ini.
      Jadi, saya mengalami semacam pergolakan batin antara harus melakukan tawassul atau tidak. Dikarenakan saya tidak pernah mendapatkan pendidikan ke-NU-an sebelumnya, saya seperti mengalami masa disorientasi-dilematis, kecenderungan mana yang musti saya ikuti. Bahkan ada salah satu teman saya yang melabeli saya sebagai orang NU awam, karena kedangkalan wawasan akan NU jika dibandingkan dengan teman-teman seperjuangan saya di madrasah aliyah. Selama tiga tahun pula saya tidak pernah membiasakan tradisi NU, seperti barjanzi, tawassul, tahlilan, yasinan, dan lain sebagainya.  

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa hakikat wasilah dan tawasul?
B.     Bagaimana epistemologi wasilah dan tawasul?
C.     Bagaimana distorsi pemikiran Ibnu Taimiyyah ihwal tawasul?

  
III.             PEMBAHASAN
A.    Hakikat Tawasul
            Al-wasilah menurut bahasa adalah ‘kedudukan di hadapan seorang penguasa’ atau ‘kedekatan’. Contoh si fulan mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu amal, yang bila ia kerjakan, maka akan mendekatkannya kepada Allah Swt. Sedangkan al-wasil adalah ‘orang yang bermohon kepada Allah.[2]
            Imam al-Qurthubi berpendapat, al-wasilah adalah al-qurbah atau pendekatan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa wasilah adalah ‘segala sesuatu yang dengannya seseorang bisa memeroleh apa yang dimintanya.
            Jadi tawassul adalah sebuah saran berdoa atau salah satu pintu perantara untuk bermohon kepada Allah. Tujuan tetap kepada Allah Swt. Hanya saja seseorang memanfaatkan perantara sekadar mendekatkannya pada Allah Swt. karena barang siapa meyakini ada penolong baginya selain Allah maka ia telah berlaku syirik.[3]
            Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa tawassul dengan mengimani Muhammad SAW dan mengikuti ajarannya merupakan kewajiban setiap orang. Tak ada jalan untuk sampai kepada rahmat dan keselamatan-Nya kecuali melalui tawassul dengan mengimani Rasul SAW dan mengikuti ajarannya. Beliau itu pemberi syafaat dan pemilik tempat terpuji yang diimpikan semua orang.[4]
             Tawassul pada dasarnya merupakan konsep yang dapat ditemui pada seluruh aliran tasawuf atau tarekat, baik dalam ajaran Islam maupun lainnya. Secara etimologis, tawassul berarti permintaan (permohonan). Sementara secara terminologis, tawassul adalah media strategis untuk membangun jalan spiritual demi suksesnya perjalanan batiniah menuju Allah.[5]
            Dalam dunia tasawuf, shalawat kepada Nabi Muhammad dapat menjadi wasilah (perantara) dan dengan wasilah ini orang yang membaca shalawat akan memeroleh garansi syafa’at dari nabi. Karena wasilah merupakan jalan menuju Allah. Maka tidak heran hampir di setiap aliran  tarekat terdapat shalawat Nabi. Hal ini terkait dengan konsep tasawuf tentang al-haqiqah al-Muhammadiyah (hakikat ke-Muhammad-an), yakni bahwa segala sesuatu tercipta dari Nur Muhammad, atas kehendak Allah. Bahkan dalam hadits qudsi dijelaskan: “Jika tidak ada engkau (Muhammad), niscaya Aku tidak akan menciptakan segala cakrawala.[6]
            Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, takutlah kau kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) kepada-Nya.” (QS. al-Ma’idah [5]: 35).
            Rasulullah bersabda: “Bertawasullah denganku dan keluargaku (untuk menuju) kepada Allah karena sesungguhnya orang yang ber-wasilah itu tidak akan ditolak.” (HR. Ibn Majah)
            Ibnu Abbas, salah seorang sahabat nabi, memaknai wasilah sebagai “semua perkara yang mendekatkan diri kepada Allah, dan menyebut nabi adalah termasuk ibadah.” Pernyataan Ibnu Abbas ini sesuai dengan sabda nabi: “Mengingat aku (menyebut namanya) adalah ibadah.” (HR. Ibnu Majah).[7]
            Dikatakan bahwa Ibnu Taimiyah pernah mengulas bukunya Syekh ‘Abd al-Qadir, yakni Adab al-Suluk wa al-Tawassul ila Manazil al-Muluk, yang berbicara tentang pedoman tawassul. Bahkan Ibnu Taimiyah rma. tidak sekadar memberikan kemampuan (al-qadr) penjelasan saja, akan tetapi ia juga melebar memuji Imam al-Jailani sebagaimana ujarannya: “Syekh ‘Abd al-Qadir termasuk syekh semasanya yang paling terkenal keteguhan akan syariat dan amar makruf nahi munkar, juga menonjolkan pengutamaan syariah atas ilham (dzauq) dan kemampuan (al-qadar), serta termasuk Syekh Sufi yang paling istiqamah menyerukan pengabaian hawa dan pemberangusan kerakusan nafsu.[8] Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari dosen Kulaih Perkembangan Pemikiran Islam, Pak Ubaidillah Achmad, bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah satu murid Syekh Abdul al-Jailani. Pun Pengasuh Ma’had al-Jami’ah Walisongo Semarang, KH. Fadlolan Musyaffa’ pernah menyatakan bahwa sebenarnya Ibnu Taimiyyah adalah ulama yang membolehkan tawassul, hanya disayangkan ada semacam distorsi pengamalan keberagamaan pengikutnya kekinian.
            Wasilah adalah perantara, semacam jembatan dari satu daerah ke daerah yang lain. Maka jembatan ini semestinya bukan sebagai tujuan (ghayah), karena tujuannya adalah daerah seberang. Pun dalam ber-tawassul pada Nabi Saw. dan para Auliya, tidak semestinya tujuan seorang Muslim sebatas pada jasad lahir dan kekaguman pada kekasih Allah itu, karena menurut logika pencapaian, jika tujuan sudah tergapai maka jalan sudah tidak penting lagi. Tujuan terhakiki tawassul adalah Allah Swt. semata. Apabila salah menentukan ghayah, maka sadar atau tidak kita telah menyekutukan Allah Swt. Adapun tawasul yang dilarang oleh Ibnu Taimiyyah adalah jika memohon pada jasad Nabi, bukan karean iman dan kecintaan beliau pada Allah Swt.

B.     Epistemologi Wasilah dan Tawasul
            Ibnu Taimiyah menekankan bahwa tawassul pada ulama hendaknya melalui iman, cinta, ketaatan, dan pengagungan mereka terhadap Allah. Dalam buku Tawassul dan Wasilah, Ibnu Taimiyah mengklasifikasikan tawasul menjadi dua, yakni: Pertama, tawassul supaya dikabulkan doa, sehubungan dengan hadits tiga orang yang terjebak dalam goa maka mereka tawassul dengan amal saleh masing-masing. Akhirnya mereka bisa keluar dari goa itu. Kedua, tawassul supaya memperoleh pahala berupa surga dan keridhaan Allah Swt.[9]
            Pada hakikatnya para sahabat bertawassul melalui Rasulullah SAW disebabkan oleh iman, ketaatan, dan rasa cinta pada beliau. Mereka tidak jatuh pada diri Rasulullah, dalam konteks ini adalah jatuh pada jasad. Tampaknya, Ibnu Taimiyah juga menekankan larangan tawassul karena jasad. Karena jika umat Islam bertawassul karena kekaguman pada jasad seseorang maka hal itu menjadi tujuan akhir yang nisbi.
            Terdapat empat poin penjelasan beberapa ulama ahli tasawuf ihwal shalawat sebagai wasilah yang dikutip oleh Sokhi Huda. Pertama, jalan yang paling dekat (menuju wushul) kepada Allah pada akhir zaman, khususnya bagi orang yang senantiasa berbuat dosa, adalah memperbanyak istighfar (memohon ampun) dan membaca shalawat kepada nabi. Kedua, sesungguhnya membaca shalawat kepada nabi dapat menerangi hati dan me-wushul-kan tanpa guru kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib. Ketiga, secara umum, membaca shalawat kepada nabi dapat me-wushul-kan kepada Allah tanpa guru karena sesungguhnya guru dan sanad di dalam shalawat adalah shahib as-shalawt (pemilik shalawat) itu sendiri, yakni Rasulullah. Hal ini karena shalawat diperlihatkan kepada nabi dan Allah memberi shalawat kepada pembacanya. Ini berbeda dengan zikir-ikir selain shalawat yang mengharuskan adanya guru (mursyid) yang ‘arif billah. Sebab, jika tidak ada guru atau mursyid maka setan akan masuk ke dalam zikir itu dan orang yang berzikir tidak akan dapat memperoleh manfaat dari zikirnya. Keempat, sesungguhnya para ulama sependapat bahwa semua amal perbuatan ada yang diterima da nada yang ditolak, terkecuali shalawat kepad nabi karena sesungguhnya shalawat kepada nabi itu maqbulatun qath’an (diterima secara pasti).
            Sedangkan dalam pemahaman syari’ah, membaca shalawat dapat memperbanyak pahala bagi pembacanya. Dalam hadits nabi dijelaskan bahwa orang yang membaca shalawat satu kali kakan dibalas oleh Allah dengan bacaan shalawat sepuluh kali.
            Syekh Muhammad Alwy al-Maliky berpendapat bahwa perbedaan meminta tawassul pada Nabi atau orang-orang shaleh hanya terletak pada syakly (simbol) saja dan bukan jauhary (esensial). Karena bertawassul kepada seseorang akan kembali kepada hakekat pribadi orang yang dijadikan wasilah. Yaitu, amal kebaikan yang sering ia lakukan hingga menjadi sosok yang shaleh. Hal ini penting agar tidak salah kaprah, apalagi sampai menvonis saudara sesama Muslim dengan label musyrik.
            Tawassul terhadap sesuatu pada hakekatnya bermohon pada amal yang telah dinisbatkan sesuai yang ia kerjakan saat itu. Barang siapa bertawassul kepada seseorang dikarenakan ia meyakini orang tersebut dicintai Allah karena amal jihadnya, atau ia yakin Allah Swt. mencintainya karena amal shaleh yang sering ia lakukan. Bila direnungi dengan seksama, maka dapat ditangkap bahwa tawassul muncul  karena rasa cinta yang dibarengi keyakinan. Yakin bahwa semua yang ia mohonkan dinisbatkan kepada sesuatu yang dijadikan perantara itu.[10] Saya pun ketika mengirim fatihah sebelum membaca wirid cenderung ingin mengetahui secara mendalam siapa orang-orang yang saya kirimi fatihah. Misalnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Namun, satu hal yang membuat saya bimbang, meski sudah tahu kesalehan beliau – sentah kenapa saya tidak merasakan kedamaian batin setitik pun. Ternyata saya sekadar mengirimi fatihah tanpa sadar memohon dimintakan permintaan pada Allah karena amalan shalih para kekasih yang mencintai Allah itu. Rasanya hambar dan saya merasa bahwa tawassul ini tidak berfungsi baik sebagaimana mestinya karena saya ragu dan kurang yakin.

C.    Distorsi Pemikiran Ibnu Taimiyyah ihwal Tawassul
            Dalam buku “Islam dan Khilafiyah”, dikatakan bahwa tawassul menurut Ibnu Taimiyyah adalah haram, berikut pendapat yang didukung dan diusung habis-habisan oleh pengikutnya sampai masa kini. Menurut Taqiyyudin bin Taimiyyah dan sebagian dari ulama mutaakhir Madzhab Hanabilah bahwa tawassul kepada zat Nabi adalah terlarang. Namun, informasi yang saya dapatkan dari KH. Fadlolan Musyaffa’ bahwa Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang membolehkan tawassul. Pun dosen mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam saya, Pak Ubaidillah Achmad, juga menyatakan demikian, bahkan Ibnu Taimiyyah pernah berguru pada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani yang justru membolehkan tawassul.
            Kendati, ada dua pemikiran yang bertentangan. Saya berusaha mencari duduk permasalahan perbedaan keduanya hingga saya menemukan benang merah.
            Termaktub dalam dua literatur terjemahan tentang tawassul dan wasilah karya Ibnu Taimiyyah bahwa beliau mengharamkan tawassul. Usai sekilas mencermati dua buku terjemahan itu, muncul sebuah keraguan untuk mengutip pembahasan tema terkait lebih banyak. Sikap ini lebih disebabkan oleh asumsi personal bahwa karya terjemahan itu cenderung bersifat apologis, mendukung pengharaman tawassul mati-matian terutama oleh pengikut muta’akhkhirin Ibnu Taimiyyah yang mengajak bertauhid murni dan menghimbau untuk meninggalkan segala khurafat dan bentuk-bentuk ritual keliru lainnya.
            Satu hal yang paling saya khawatirkan ketika bertawassul kepada para waliyullah, misalnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, syirik tidaknya – apalagi jika mendengar pendapat bahwa bertawassul itu berkaitan erat dengan tauhid-, sampai atau tidak tawassul saya, sampai menanyakan untuk apa bertawassul pada orang yang sudah tinggi kemuliaannya di sisi Allah ketimbang manusia biasa seperti saya yang tidak ada apa-apanya.
            Semakin ke sini, perlahan tapi pasti, dengan segenap ikhtiar untuk menemukan jawaban dari pertanyaan obsesif di atas, saya mulai menemukan jawabannya. Jawaban ini saya dapatkan dari penjelasan KH. Fadlolan di saat mengaji kitab di Ma’had al-Jami’ah Walisongo, dari literatur ihwal tawassul, dan dari teman-teman yang cukup lama mengenal dan mafhum tentang tawassul.
            Masalah tawassul termasuk bagian dari pembahasan fiqhiyyah furu’iyyah, karena hakikat tawassul adalah menjadikan sesuatu sebagai ‘perantara’ atau pendekatan kepada Allah Swt. Mayoritas Ahli Fiqih dari Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Ulama Muta’akhakhir Hanafiyah membolehkan tawassul . Namun menurut Imam Abu Hanifah, AbuYusuf dan Abu Muhammad memakruhkan tawassul. Menurut Taqiyyudin bin Taimiyyah dan sebagian dari ulama muta’akhkhir Madzhab Hanabilah bahwa tawassul kepada zat Nabi adalah terlarang.[11] Tampaknya saya perlu mendudukkan secara proporsional pendapat yang terakhir ini. Dalam dua buku terjemahan “Tawassul dan Wasilah”, dikatakan bahwa pengharaman tawassul Ibnu Taimiyyah ini jika berhenti pada zat Nabi-maksudnya jasad beliau sebagai Nabi yang paling agung- bukan karena ketinggian iman Nabi. Demikian pula pendapat ini dikuatkan oleh keterangan dari dosen pengampu mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam. Larangan tawassul yang diusung oleh Ibnu Taimiyyah ini merupakan sikap mengkounter tindak tanduk umat Islam yang terlalu mengagungkan wali-wali Allah, yang justu berlebihan pada jasad hingga melalaikan tujuan substantif bertawassul.  
            Dikatakan lagi di buku ‘Islam dan Khilafiyah’ bahwa tawassul adalah bagian dari ahkam syar’iyyah, yang masuk dalam bahasan fiqih.[12] Mencampurbaurkan permasalahan fiqih dengan tauhid adalah tindakan yang kurang bijak - jika enggan dikatakan kesalahan besar yang patut dihindari. Cakupan bahasan ilmu aqidah atau ilmu tauhid hanya seputar Uluhiyyat, Rububiwiyyat dan Sam’iyyat.
            Mereka yang memasukkan tawassul bagian dari aqidah berpendapat bahwa orang yang bertawassul meyakini bahwa sang ‘perantara’ memiliki pengaruh besar diterima atau ditolaknya permintaan mereka. Di samping dapat juga menghindarkan mereka dari hal-hal yang buruk. Karena itu tawassul masuk dalam bahasan aqidah . Manusia tidak akan bertawassul kepada sesuatu, kecuali dia meyakini bahwa perantara itu memiliki pengaruh terhadap apa yang ia inginkan.
            Pendapat ini sama sekali tidak benar. Sudah menjadi konsensus umum umat Islam bahwa hanya Allah Swt. yang memberi manfaat dan mudarat. Yang memberi pengaruh sebenarnya Allah dan hanya Dia semata yang menciptakan seluruh sebab-sebab itu. Maka, tidak ada yang melakukan sesuatu kecuali hanya Allah Swt., dan tidak ada pencipta sebab selain Dia. Hanya kepada-Nya-lah akan kembali seluruh masalah. Ilaihi yarji’ul amru kulluhu. Maka tidak ada kuasa dan kekuatan kecuali hanya dari Allah Swt., Tujuan orang bertawassul dengan kalimat seperti ini:
            اللّهمّ إنّي أسألك / اللّهمّ أتوسّل إليك بنبيّك محمّد أو بالوليّ الفلان
            Hakekatnya, ia hanya meminta kepada Allah semata dan tidak menerima selain-Nya. Tidak juga menisbatkan kepada ‘perantara’ pengatuh magic, yang bersumber dari dirinya. Tetapi hanya menetapkan bahwa yang dijadikan ‘perantara’ tersebut, memiliki kedekatan dan kedudukan di sisi Allah Swt. Kedudukan (manzilah) tersebut dimilikinya di dunia dan akhirat.[13]
            Penjelasan di atas tentunya semakin membuat saya paham di mana duduk permasalah perdebatan polemik para ulama tentang tawassul. Lalu yang menjadi kegelisahan saya selanjutnya adalah untuk apa umat Islam yang bertawassul dengan menghadiahi fatihah kepada para wali Allah sedangkan keagungan mereka jauh lebih besar dengan manusia biasa. Khusus pertanyaan ini saya ajukan kepada salah seorang teman saya yang bersosio-kultur masyarakat yang memegang erat tradisi tawassul. Demikian jawabannya, jamak diketahui bahwa para wali sudah berada di posisi aman, dekat dengan Allah, sehingga dengan menghadiahkan fatihah atau yang lain, manusia yang mengirimi fatihah tersebut akan mendapatkan luberannya. Sehingga sebagai manusia biasa selayaknya kita akan didoakan oleh mereka yang doanya lebih mustajab karena kedekatan-Nya dengan Allah Swt. Jika dianalogikan, teman saya menggamblangkan penjelasannya, tong yang berisi air (pahala), tong para wali tersebut telah penuh dan dengan manusia biasa menambah isi air tersebut (mengirimi fatihah), dengan tujuan air tersebut akan meluber pada kita.
           
IV.             KESIMPULAN
      Rasa syukur yang tak terhingga dan tiada pernah habis terucap akhirnya saya bisa menyelesaikan refleksi pemikiran yang sangat sederhana ini. Dari pembahasan di atas, saya menjadi lebih mafhum bahwa tawassul yang dilarang oleh Ibnu Taimiyyah adalah tawassul pada jasad. Tawassul yang sifatnya nisbi. Sementara jika bertawassul atas dasar keimanan, kemuliaan, dan kecintaan para wali, teristimewa Nabi Muhammad Saw., diperbolehkan. Satu hal yang membuat kredo bertawassul saya kuat adalah banyak ulama yang menganggap bahwa tradisi tawassul ini bukan termasuk pembahasan tauhid melainkan masuk pembahasan fiqih furu’iyyah, walhasil saya tidak perlu cemas untuk melakukan tawassul pada orang-orang shaleh. Wallahu a’lam bishshawab.






                [1] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 79.
                [2] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 79.
                [3] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 79-80.
                [4] Ibnu Taimiyah, Tawassul dan Wasilah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 2.
                [5] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 256.
                [6] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 118-199.
                [7] Sokhi Huda, Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 235.
                [8] Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Adab al-Suluk wa al-Tawassul ila Manazil al-Muluk, terj.Muhammad Ghassan Nashuh ‘Azqul, (Jogyakarta: DIVA Press, 2010), hlm. 12.
                [9] Ibnu Taimiyah, Tawassul dan Wasilah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 243.
                [10] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 82.
                [11] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 91.
                [12] Ulama yang menyatakan bahwa tawassul adalah cakupan fiqih antara lain: Syekh Husain bin Gunaim al-Ihsai dalam bukunya Rhaudhatul Afkar wa al-Ifham li Murtad hal al-Imam, Imam Muhammad bin Abdul Wahab, al-Qinnuji dalam bukunya Nazlul Abrar. Bahkan Syekh Ali Jum’ah, seorang Mufti Republik Mesir, dalam bukunya al-Bayan, menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa tawassul tidak haram.  
                [13] Shalahuddin el-Ayyubi, et.all., Islam dan Khilafiyah, (Kairo: Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Kairo, 2007), hlm. 91-92.

2 komentar: