Manusia sebagai
Khalifah Allah di Muka Bumi
Jamak
diketahui bahwa manusia merupakan entitas dwi-dimensi yang terdiri dari unsur
jasmani dan unsur rohani. Pemilikan manusia atas unsur rohani membuat manusia
dapat mengalami pelbagai peristiwa suprarasional seperti menerima ilham,
melakukan perenungan abstrak, berintuisi, dan lain sebagainya.
Keistimewaan
inilah yang menjadikan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Jalaluddin ar-Rumi bahwa manusia dipandang sebagai tujuan
akhir (ultimate goal) dari penciptaan alam semesta. Manusia yang paripurnalah
yang menjadi tujuan akhir penciptaan, dimana manifestasi konkretnya terwakili
oleh Nabi Muhammad SAW.
Dikatakan
oleh Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya “Nalar Religius: Memahami Hakikat
Tuhan, Alam, dan Manusia” bahwa manusia yang berstatus sebagai khalifah-Nya
dikarunia dengan dua buah hadiah yang sangat istimewa, “kebebasan” dan “ilmu
pengetahuan”. Karena roh manusia memiliki sumber ruhani, maka ia tidak
sepenuhnya tunduk pada hukum yang berlaku di alam fisik. Maka dari itu Allah
memberikan manusia kebebasan terbatas untuk memilih perbuatannya secara sadar. Tak
heran Allah tak menghukumi tindakan manusia yang didasari atas paksaan yang
berasal dari luar dirinya, contoh Muslim yang terpaksa menyatakan murtad secara
lisan namun hatinya masih iman pada Allah karena jika tidak demikian maka
nyawanya akan terancam (dibunuh).
Manusia
berstatus khalifah yang terkenal tidak hanya di bumi melainkan juga di
langit inilah yang mengemban amanat dan tugas untuk mendampingi manusia yang
belum sempurna sisi kemanusiaannya, seperti pemimpin yang suka berbuat dzalim
pada rakyatnya, pejabat yang semena-mena memakan uang rakyat, dan
manusia-manusia yang pada dirinya masih melekat sifat-sifat binatang. Hal ini
didukung oleh argumen Ibnu al-‘Arabi yang mengemukakan bahwa dalam diri manusia
terdapat tabiat-tabiat alamiah seperti sifat-sifat binatang pemangsa, binatang
buas, setan, dan sifat-sifat malaikat. Masing-masing potensi tersebut dapat
terbentuk dengan cara yang berbeda-beda. Sebagai entitas yang diberi kebebasan
untuk ber-ikhtiar dan diberi keleluasaan untuk mencari ilmu pengetahuan,
manusia dapat mengubah nasibnya atas kehendak Allah, akan tetap pada takdir
Allah yang semula atau berpindah ke takdir lain yang bisa jadi lebih baik. Wallahu
a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar