This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 13 Maret 2015

Kesetaraan Gender Fatima Mernissi Ditinjau dari Simbolisme Gender Yin dan Yang





I.                   PENDAHULUAN
      Jika mendengar tentang isu kesetaraan gender, satu pertanyaan yang muncul di pikiran sebagai representasi kegelisahan personal penulis ialah bagaimana akar persoalan diskursus gender yang ramai digaungkan oleh kalangan feminis Muslim dalam perspektif Islam.
      Tak dapat dipungkiri bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan akan membentuk pandangan dan arah hidup seseorang, begitu pula dengan para tokoh feminis dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tidak terlepas dari aspek nature dan nurture. Bagi seorang yang tumbuh kembangnya di lingkungan diskriminasi timpang antara kebebasan perempuan dan laki-laki, maka kungkungan lingkungan sekitar yang mengitari akan membuatnya minimal kritis-logis mempertanyakan ketidakadilan dan paling banter melawan kredo masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan Fatima Mernissi di lingkungan harem. Lain padang lain belalang, sementara penulis yang hidup dalam lingkup masyarakat dengan penghargaan kesetaraan gender yang representatif, maka upaya memperjuangkan kesetaraan gender tidak begitu menjadi persoalan musykil.  
      Sosio-kultur negara Indonesia yang cenderung berada di garis tengah dalam memberikan ruang gerak perempuan terkait pemberdayaan peran khususnya di wilayah publik dapat diamati dari sikap dua organisasi besar Islam Indonesia, yakni NU yang mendirikan lembaga struktural Muslimat dan Fatayat dan Muhammadiyah yang memiliki Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Keberadaan kedua lembaga struktural yang sengaja dibentuk guna memberdayakan potensi perempuan tersebut berkonsentrasi intens di ranah pengembangan pendidikan, pelayanan sosial kesehatan dan ranah sosial  publik lainnya. Hal ini menjadi sebuah indikasi peneguh eksistensi kelonggaran ruang gerak perempuan meski terdapat batasan-batasan (hudud) tertentu yang musti dipatuhi.
      Dikarenakan penulis selama 20 tahun terakhir hidup dalam lingkungan yang masyarakat mayor tidak terlalu ketat memasung ruang gerak perempuan, maka penulis tidak akan menggugat kesetaraan gender di lingkungan di mana penulis mengalami dinamika pemikiran ihwal gender. Kendati demikian, dalam makalah reflektif ini, penulis bermaksud dan bertekad  mencari benang merah antara kesetaraan gender yang diusung rapi oleh Fatima Mernissi -  seorang feminis Muslim perempuan kenamaan yang berkiprah dalam ranah sosial - dengan pemikiran simbolisme gender Sachiko Murata ihwal posisi laki-laki dan perempuan yang terwakili oleh gagasan filsafat Cina tentang yang dan yin dalam ajaran Tao Islam.
      Tao Islam adalah sebuah antologi lengkap dan kaya di bidang pemikiran Islam tentang hakekat hubungan antara Allah dan alam semesta, alam semesta dan manusia, serta manusia dengan Allah.[1] Jamak diketahui bahwa daratan Cina merupakan bukti sejarah invasi Islam pernah berkembang pesat di satu-satunya negara yang tergabung di Asia Timur ini. Maka dari itu, adalah sebuah keniscayaan tak terelakkan terjadinya ragam kontak inter-kultur di antaranya kontak pemikiran Islam dan Cina berkenaan dengan gagasan filsafat Cina tentang yang dan yin. Salah satu alasan mengapa penulis mengomparasikan - minimal mencoba menemukan titik temu pemikiran Fatima Mernissi dengan simbolisme gender yang diusung oleh Sachiko Murata - karena saya merupakan eksponen teori tersebut.
      Terus terang saja, saya mengagumi pendekatan Murata dalam menjabarkan relasi berbagai entitas yakni realitas hubungan antara Allah, alam semesta dan manusia khususnya relasi antara laki-laki dan perempuan dengan gagasan yin dan yang. Pengetahuan dan pemahaman simbolisme gender membuat saya mengerti sebuah keseimbangan dapat tercipta melalui penyatuan laki-laki dan perempuan dalam hubungan semenda atas dasar saling melengkapi bukan atas dasar saling menguasai satu sama lain. Adapun alasan penulis menggali core pemikiran Fatima Mernissi disebabkan oleh ragam testimoni para aktivis feminis yang mengapresiasi cukup hebat pemikiran perempuan kelahiran Maroko ini. Metode kritis takhrij hadits Fatima Mernissi dalam menggugat dan menelusi pelbagai hadis yang dianggapnya misoginis telah sedikit banyak dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan yang tadinya mengalami dehumanisasi. Sampai kapan pun ajaran Islam musti dipahami secara progresif dimana ada sebuah kompromi nihil kepentingan politis antara teks dan konteks, demikian lanjutnya.  

II.                RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang berangkat dari latar belakang di atas ialah:
A.    Bagaimana hakikat kesetaraan Fatima Mernissi dan konsep yang dan yin?
B.     Bagaimana laku kesetaraan gender di Indonesia perspektif Fatima Mernissi dan konsep yang dan yin?
C.     Apa saja sepuluh prinsip pengetahuan terkait relasi gender?

III.             PEMBAHASAN
A.    Hakikat Kesetaraan Gender Perspekti Fatima Mernissi dan Konsep Yang dan Yin
            Diskursus kesetaraan gender erat sekali dengan terma feminisme. Feminisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Perlu diketahui bahwa arti etimologis feminisme di atas tidak serta merta dapat mewakili potret epistemologi feminisme yang terjadi di pelbagai kawasan di dunia, terutama di wilayah negara-negara berpenduduk Muslim. Seperti perjuangan para feminis berlatar belakang lingkungan yang menempa mereka untuk memperjuangkan hak perempuan yang tertindas dan yang menurut mereka perlu dicarikan sebuah jalan keluar yang mencerahkan. Seperti Nawal el-Sadawi di Mesir, Fatima Mernissi di Maroko, Riffat Hasan di Pakistan, dan tidak ketinggalan tokoh feminis Indonesia yang diwakili oleh Husein Muhammad dan Ratna Megawangi[2]. Satu hal yang cukup bijak dalam mengartikan terma feminisme itu sendiri ialah bagaimana realita lapangan feminisme namun juga tidak menafikkan arti harfiah yang tentu menjadi kata kunci awal untuk mengembangkan pemaknaan gender secara sosio-kultural.
            Lalu bagaimana jika terma feminisme dikaitkan dengan Islam? Menurut Margot Badran, seorang sejarawan dan pakar studi gender, khususnya berkenaan dengan Timur Tengah dan dunia Islam, menyatakan bahwa ‘Feminisme Islam’ merupakan sebuah diskursus perihal wanita dan gender yang tumbuh di dalam kubangan teks religius. Prinsip-prinsip Qurani, etika dan tingkah laku sehari-hari amat berkaitan dengan terma ini. Tambahnya lagi ketika diwawancarai oleh Majalah Afkar bahwa pembahasan feminisme merupakan pembahasan universal, bukan ke-Barat-an atau ke-Timur-an. Jadi, adalah sebuah sikap yang kurang bijak apabila mengatakan semangat feminisme Islam terpengaruh oleh feminisme Barat.
            Demikian menurut Margot Badran, Fatima Mernissi adalah sosok feminis Muslim yang solid melakukan upaya rekonstruksi Hadis yang dalam asumsinya misoginis. Mernissi melakukan langkah takhrij dan penelitian ulang terhadap hadis-hadis. Dimulai dari mata rantai sanad-nya hingga riwayat-riwayat matan-nya sekali pun. Ontologi kritik Fatima Mernissi difokuskan pada penelusuran mendalam pada hadis Nabi untuk kemudian direkonstruksi sebagai legitimasi memperjuangkan kesetaraan gender.
            Fatima Mernissi adalah perempuan pertama di Timur Tengah yang sukses dalam membebaskan dirinya dari isu kesenjangan dan pengkhianatan kultural.[3] Tinggal dan dibesarkan di sebuah harem dimana terdapat penjaga pintu yang menjaga ketat perempuan agar tidak keluar. Namun berkat didikan ibu dan neneknya, ia berhasil mengenyam pendidikan dan melewati batas-batas (hudud) kekangan lingkungan. Dalam kebanyakan karyanya, Mernissi melontarkan bahwa ajaran agama bisa saja dimanipulasi atas tradisi yang dibuat-buat. Bahkan ia sangat berani dan tidak segan membongkar tradisi yang dianggap sakral oleh masyarakat.
            Pemikiran Fatima Mernissi tersebut akan penulis usahakan untuk mencarikan titik temu – jika enggan dikatakan bermaksud membandingkan – dengan konsep pemikiran Sachiko Murata tentang relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang terwakili oleh konsep relasi laki-laki dan perempuan yakni yin dan yang. Sachiko Murata adalah seorang Muslimah Jepang yang memusatkan perhatian relasi gender perspektif kosmologi Islam. Ia yang kini menjabat sebagai Professor Studi-studi Agama di State University of New York, Stony Brook mendapatkan gelar Ph. D di bidang Hukum Islam dari Fakultas Teologi Universitas Teheran, Iran. Murata ingin memperlihatkan pemikir Muslim klasik yang sering kali menganalisis realitas ketuhanan dan kaitannya dengan kosmos dan manusia melalui prinsip-prinsip polaritas[4] atau komplementaris, yang sangat mirip dengan filsafat Cina tentang yin/yang. Posisi domestik. Hierarki tingkatan.
            Yang dan yin adalah salah satu ciri Taoisme yang berkaitan dengan konsepsi mengenai kenisbian semua nilai dan sebagai imbalan asas ini ialah adanya persamaan dari hal yang bertentangan. Dalam hal ini Taoisme berkaitan dengan simbolisme Cina tradisional tentang yang dan yin, yang digambarkan sebagai berikut:
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: https://ajiutomoputro.files.wordpress.com/2013/03/images.jpg Simbol Yang dan Yin[5]
            Kutub-kutub ini menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup: baik-jahat, aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin, pria-wanita, dan seterusnya. Tetapi walaupun asas-asasnya berada dalam ketegangan, asas-asas itu tidak bertentangan secara mutlak. Asas-asas itu saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Tiap-tiapnya memasuki wilayah yang lain dan menepatkan dirinya di titik pusat dari wilayah lawannya itu. Pada akhirnya keduanya itu menyatu dalam sebuah lingkaran yang saling melingkupi sebagai suatu perlambang dari kesatuan terakhir Tao. Karena selalu berputar dan bertukar tempat, hal-hal yang berlawanan hanya merupakan suatu tahap dari suatu roda yang sedang berputar. Hidup ini tidak bergerak ke depan dan ke atas menuju suatu puncak atau kutub yang telah mapan. Ia berputar dan melengkung kembali kepada dirinya sendiri sampai dirinya sendiri membentuk lingkaran yang utuh dan sadar bahwa titik pusat semua hal itu adalah satu.[6]
            Prof. Murata yang memang berlatar belakang kultur Asia Timur mengacu dualitas Taoisme (yin dan yang) dalam menjelaskan relasi laki-laki dengan perempuan. Alasannya adalah adanya konsep ajaran Taoisme ini dengan konsep Islam, yaitu nama-nama keindahan dan keagungan Allah. Menurutnya, kualitas yin adalah identik dengan nama-nama keindahan (jamal, luthf, rahmah), sedangkan kualitas yang identik dengan nama-nama keagungan (jalal, qahr, ghadhab).[7] Ia menjelaskan bahwa sifat yin yang terwakili oleh sifat dominan perempuan sementara sifat yang yang terwakili oleh sifat dominan pada laki-laki mempunyai sisi positif dan negatif yang keduanya saling melengkapi. Lebih lanjut, dikatakan oleh Ibnu al-‘Arabi bahwa 75 sifat Allah dalam asma’ul husna mencerminkan sifat jamaliyah-Nya sedangkan sisanya sebanyak 24 adalah sifat Allah yang mencerminkan sifat jalaliyah.[8] Meski kedua entitas tersebut – laki-laki dan perempuan – mempunyai sifat dominan masing-masing yakni yang dan yin, tak dapat dipungkiri bahwa kedua juga mempunyai sifat tak dominan. Yin ada dalam yang, begitu pula sebaliknya. Intinya, keberadaan satu bersama yang lain akan menciptakan sebuah keseimbangan. Sudah barang tentu konsep ini terkait juga dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani maghlihai kehidupan rumah tangga.  
            Sistem patriarki, sejatinya tidak mengutus seorang pria untuk menguasai penuh terhadap perempuan. Namun hal ini didukung oleh hakekat "nature" yang memang sengaja diciptakan Tuhan. Berbicara mengenai tabiat, tidak akan terlepas dari kodrat. Jiwa lelaki yang cenderung ingin melindungi dan berlaku bak seorang pahlawan tidak mungkin bisa dipungkiri. Begitu juga sebaliknya, bahwa wanita dengan kodratnya akan cenderung merasa nyaman ketika mendapat perlindungan. Memadukan antara nature dan nurture.   
            Ruang gerak manusia dapat dipetakan menjadi dua yakni ruang publik dan domestik. Tidak ada pengunggulan atas yang lain. Dua ruang tersebut berposisi sejajar tanpa inequality. Dan setiap orang, entah laki-laki atau perempuan, mempunyai hak serupa untuk berkiprah di dua ruang tersebut sebatas memilki kemampuan dan kompetensi yang profesional.
            Hakikat relasi antara perempuan dan laki-laki adalah hubungan saling melengkapi bukan saling berkompetisi. Jika kodrat kemampuannya berbeda, maka model relasi-rival akan timpang. Yang namanya kompetensi justru antar laki-laki atau antar perempuan. Agar tercipta relasi suami istri non-diskriminatif yang membuat nyaman menjalankan maghlihai rumah tangga berangkat dari sikap saling menghargai bukan sikap saling menguasai. Jika relasi hubungan bersifat stratifistik, maka seakan-akan ada yang terhijab satu sama lain. Ada semacam hubungan subjek dan objek.
           
B.     Laku Kesetaraan Gender di Indonesia Perspektif Fatima Mernissi dan Konsep Yin dan Yang
            Mernissi lahir dan dibesarkan di lingkungan yang cenderung memandang perempuan sebagai makhluk the secand class. Ia berpendapat bahwa pemahaman ihwal posisi perempuan yang ia peroleh dari ibu dan neneknya tidak sepadan dengan realita praksis dimana perempuan dipandang dan diperlakukan. Tidak sampai di situ saja, keberadaan perempuan dalam kehidupan keluarga pun berada di bawah penguasaan laki-laki. Intinya, dapat dikatakan bahwa ada semacam ketimpangan posisi, peran, dan hak, akibat perbedaan gender secara biologis. Mernissi memulai kajian dalam upaya penyetaraan gender dengan pertanyaan paling mendasar yani mungkinkah Islam mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan? mungkinkah Rasul mengeluarkan sabda-sabda yang memojokkan perempuan?[9] Guna menjawab kegelisahan obsesifnya, Mernissi melakukan analisis ulang terhadap teks suci (Al-Qur’an dan Hadits).[10]
            Perspektif Fatima Mernissi mengkritisi penafsiran tradisional teks-teks suci yang cenderung menomorduakan perempuan mengarah pada tradisi Nabi (Hadits) yang telah berkembang selama berabad-abad. Dalam pandangan Mernissi, “ketersudutan” kaum perempuan di dunia Islam disebabkan oleh banyaknya periwayat palsu yang bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa oleh Nabi. Setelah Nabi wafat, dalam konteks berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik, sejarah perkembangan al-Hadits cenderung misoginis (yang menunjukkan kebencian terhadap perempuan).[11]
            Dalam penelusuran Mernissi ihwal perilaku Nabi terhadap perempuan, lebih khusus terhadap para istrinya, Nabi tidak sebatas egaliter, bahkan juga terbuka akan kritik. Tampaknya Fatima Mernissi emoh terjebak pada kungkungan penafsiran hadits yang kaku dan sempit, tapi lebih merujuk kepada perilaku Nabi yang mendukung kesetaraan gender. Akan tetapi yang kami anggap patut sayangkan dari sikap apologis Mernissi dalam menelusuri biografi ulama Hadits seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Bukhari sampai Umar bin Khattab Abu Bakar. Ungkap Mernissi, tokoh-tokoh besar ini – entah sengaja atau tidak - telah menyebabkan terisolasinya pandangan-pandangan yang menyudutkan perempuan dalam Islam. Sikap terlalu curiga ini bertolak belakang dengan etika kritik hadits (Naqd al-Hadits) yang tidak perlunya meneliti biografi sahabat karena ada teori yang datang kemudian bahwa semua sahabat bersifat adil dan terjamin kredibelitasnya.
            Jika dicermati, pemikiran Mernissi cenderung berhaluan liberal. Sudah barang tentu sikap liberal ini terbentuk oleh riwayat pendidikannya dimana ia pernah merampungkan studi Universitas Brandels di Amerika tahun 1973. Terbukti ia sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan di Barat. Metode kritik hadits Mernissi banyak dipengaruhi oleh Qasim Amin (Bapak Feminis) dan Muhammad al-Ghazali yang menggunakan analisis hermeneutik dan historis-sosiologis.
            Dalam konteks ke-Indonesia-an, penafsiran male dominated mengakar kuat salah satunya pengaruh adanya kitab ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq al-Zawjayn yang dijadikan sebagai rujukan dalam hidup berumah tangga di lingkungan pesantren, meski telah mendapatkan kritik keras dari beberapa sarjana Muslim. Salah satu hadits dalam kitab tersebut yang dikritisi oleh Mernissi sebagai legitimasi kepentingan laki-laki antara lain sebuah Hadits yang berarti: “sekali pun wajah perempuan dipakai untuk mengelapi kaki suaminya atau menjilati darah dan nanah di wajah suaminya, tetapi kalau suaminya tidak ikhlas, semua perbuatan itu tidak diterima oleh Tuhan. Hadits lain mengatakan, “jika istri mencuri harta suaminya, maka ia dijatuhi hukuman 7000 kali perbuatan mencuri.[12] 
            Menilik beberapa hadis yang cenderung misoginis, Margot Badran mengusulkan beberapa langkah awal dalam proses rekonstruksi ajaran agama secara objektif; terlepas dari segala kepentingan. Yaitu melakukan rekonstruksi atau penafsiran ulang terhadap ayat al-Qur'an dan hadis Nabi.[13] Walau bagaimana pun, upaya ini bukan bermaksud mereduksi pemahaman sebelumnya melainkan menelaah kembali dengan paradigma kritis-logis. Jika dicermati, usulan Margot ini sebagai pondasi sikap intelektual  untuk mengembangkan epistemologis fiqih. Mengetahui dulu akar hukum yang semestinya, baru diinterpretasi kembali sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya.  
            Ibn al-‘Arabi menyinggung kenyataan bahwa Adam mempunyai ciri-ciri yin dan yang sekaligus di dalam dirinya. Demikian pula, Hawa mempunyai sifat-sifat yin dan yang. Semua realitas ciptaan adalah mendua, dapat dianggap yin dan yang tergantung sudut pandangnya. Ini membantu untuk menjelaskan mengapa Nabi berkata: “Kaum wanita adalah padanan kaum pria.” Seperti dikatakan Ibn al-‘Arabi: “Tidakkah kalian lihat bahwa Hawa diciptakan dari Adam? Dengan demikian dia mempunyai dua sifat: sifat pada akarnya, dan sifat wanita sebagai aksidennya. Maka dia mendua (mutasyabih). Kemenduaan Hawa dapat dilihat dalam kenyataan bahwa dia bertindak terhadap Adam sebagaimana Adam bertindak terhadapnya. “Tindakan Adam terhadapnya” tidak dapat dipahami tanpa tindakan Hawa terhadap Adam, sebab kemampuan kekuatan yang untuk bertindak berasal dari kekuatan yin.[14] Maka yin terdapat di dalam yang. Jika yang mencintai, itu adala karena yin adalah yang itu sendiri. Dari konsep adanya sifat saling menyifati antara laki-laki dan perempuan, maka tak heran jika dikatakan ketika laki-laki mencintai seseorang perempuan maka pada hakikatnya ia sedang melihat dirinya di perempuan tersebut. Maka tidak jarang didapati banyak pasangan suami istri yang mempunyai banyak kesamaan, semakin banyak keserupaan antara keduanya maka akan semakin kuat mawaddah dan warrahmah sebagai penyokong pernikahan.
            Terkait partisipasi publik laki-laki dan perempuan, penulis mengklasifikasikannya menjadi dua yakni partisipasi dalam wilayah publik dan wilayah privat atau domestik. Wilayah publik terkait dengan ruang di mana kegiatan sosial, ekonomi, kekuasaan politik, dan kebudayaan masyarakat berlangsung dan dijalankan. Sementara wilayah domestik terkait dengan aktivitas dalam kehidupan rumah tangga seperti pengasuhan dan pemeliharaan. Kedua wilayah ini merupakan sebuah keniscayaaan hidup berumah tangga. Tentu perlu adanya kerjasama berkesinambungan antara suami dan istri supaya pekerjaan di kedua wilayah tersebut tercapai secara proporsional. Wilayah domestik dan publik ini merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi. Kelancaran kegiatan yang satu juga tergantung dengan kelancaran kegiatan yang lain. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari pihak laki-laki dan perempuan untuk membagi tugas sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Dari sini kita melihat bahwa prinsip saling berkompetisi tidak mampu diterapkan karena memang laki-laki dan perempuan memiliki kualifikasi atau kemampuan masing-masing yang saling mengisi dan melengkapi.
            Ratna Megawangi menyatakan dalam memberikan sebuah pengantar buku “The Tao of Islam”: Peradaban modern dikatakan telah memisahkan kesadaran manusia dari alam, sehingga segala sesuatunya menjadi terfragmentasi, terpisah, teratomisasi. Manusia melihat manusia lainnya sebagai ego-ego yang saling berkompetisi. Manusia dan alam menjadi begitu terisolasi, yaitu menjadi subjek dan objek. Maka, terjadilah penguasaan dan eksploitasi alam oleh manusia.”[15]
            Dalam buku “The Tao of Islam”, Sachiko Murata mencoba mengkaji pemikiran Islam dari sudut pandang Timur Jauh. Dari penelitiannya terhadap buku Wang Tai-yu, pemikir Muslim pertama abad  ke-17 yang menjabarkan konsep-konsep Islam dengan bahasa Cina, ia menarik sebuah konklusi bahwa cara sarjana Barat memotret intelektual Islam sangat terkait dengan prakonsepsi-prakonsepsi mereka sendiri yang jauh berbeda dari teks-teks Islam sebenarnya. Pandangan mereka terhadap tradisi Islam terperosok ke dalam cara berpikir either/or (salah satu dari dua hal) dan bertentangan dengan konsep keseimbangan dan harmoni Timur Jauh, hal ini karena mereka dididik untuk berpikir dalam blok-blok dikotomi yang tajam, bukan karena teks-teks Islam memandang dunia secara dikotomis sedemikian itu.[16]
            Dalam kacamata penulis, jika model relasi laki-laki dan perempuan dikomparasikan antara relasi saling bersaing dan relasi saling melengkapi mana yang lebih menguntungkan, maka penulis berpendapat bahwa relasi saling melengkapilah yang menguntungkan kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan dispartasi kemampuan laki-laki dan perempuan ditakdirkan berbeda. Tentu saja hubungan saling berkompetisi tidak akan representatif tercapai disebabkan oleh ketidaksetaraan kemampuan kodrati yang telah melekat di masing-masing entitas. Pernyataan Ratna Megawangi di atas merupakan kritik atas paradigma ecofeminisme tahun 1980-an yang berlebihan dalam mengunggulkan superioritas feminin sehingga konsekuensi logisnya terlalu mengangagap rendah – jika enggan dikatakan menganggap negatif – sifat maskulin. Buah pemikiran penulis ini berangkat dari konsep yin dan yang yang satu entitas dengan entitas yang lain menyatu atas dari saling menutupi kekurangan atas kelebihan masing-masing. Jadi, apabila ada sifat dominan yin diadu dengan sifat yang maka yang muncul kemudian adalah hasil kompetisi yang tidak sportif dan kemungkinan kecil mencapai keadilan.
            Buku “Citra Perempuan dalam Islam” yang menghimpun penelitian terkait sikap ormas-ormas Islam dalam menyikapi emansipasi setidaknya dapat ditilik dari dua sudut pandang yaitu pendapat ulama tua yang sebelum tahun 1950-an sebagai tahun perjuangan dan pendapat ulama muda yang lahir di atas tahun 1950-1960-an. Ulama golongan pertama cenderung memiliki wawasan yang rigid karena kondisi sosio-kultur, ekonomi, dan politik Indonesia yang masih stabil membuat ulama generasi ini memiliki sikap yang lebih ekslusif daripada ulama muda yang bersifat moderat dalam memandang kebebasan perempuan dalam bergerak di sektor luar domestik. Tentu saja faktor yang membentuk cara pandang ulama muda ini demikian karena keadaan sektor ekonomi, politik dan sektor kehidupan lain yang relatif telah mapan Indonesia, membuat mereka dapat merasakan kesempatan untuk memperluas cakrawala dengan memperlajari dinamika lintas pemikiran dari para tokoh feminis dari negara lain. Corak pemikiran ulama muda atau bisa dikatakan kontemporer pertanda ada angin segar bagi perkembangan kesetaraan gender di Indonesia karena kontekstualisasi teks-teks suci sesuai kebutuhan zaman.
            Penelitian F. Ivan Nye berkenaan dengan peran suami-istri menghasilkan sebuah konklusi bahwa ada lima pattern pandangan stratifikatif, yaitu: segala sesuatu tergantung suami, suami melebihi peran istri, suami dan istri mempunyai peran yang sama, peran istri melebihi peran suami, dan segala sesuatu tergantung istri.[17] Dari penelitian ini diketahui bahwa relasi pasangan suami istri di lapangan lebih kompleks dari sekedar hubungan subjek dan objek. Latar belakang keluarga pendidikan dari suami istri pun juga bersifat kontributif membentuk relasi berumah tangga.
            Sejauh data yang bisa dihimpun, aktivis organisasi Islam di Indonesia secara umum memiliki pandangan yang relatif moderat dan cukup seragam dalam melihat peran publik yang bisa dimainkan perempuan. Pembentukan lembaga otonom, seperti Muslimat Nahdlatul Wathan (NW), Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Aisyiyah (Muhammadiyah) dan seterusnya menjadi bukti konkrit semakin terbukanya ruang gerak bagi perempuan di wilayah publik.[18]
            Seorang aktivis Muslimat Nahdlatul ulama, Hindun, berargumen bahwa banyak aktivis Muslimat yang belum menyadari akan haknya sendiri. Bahkan, mereka senantiasa merasa di bawah Pengurus Besar NW yang nota bene beranggotakan laki-laki. Selain kekurangsadaran atas hak-hak tersebut, yang menjadi sebab lemahnya kemandirian perempuan adalah minimnya sumber daya perempuan. Ketua II Muslimat NW, Setiahati, kuantitas dan kualitas aktivis perempuan, para aktivis seringkali dihadapkan pada batasan-batasan tertentu bahwa mereka hanya bisa aktif dan menjadi top leader untuk kaum muslimat saja. Terkait testimoni Hindun tadi, apabila khalayak telah mempersilahkan perempuan bergerak di ruang publik tapi belum ada kesadaran dari pihak internal perempuan, maka mind-set perempuanlah yang semestinya dimapankan. Jika kesempatan memberdayakan potensi diri terbuka lebar, di sisi lain passion bergerak minim, maka bisa dikatakan perempuan semacam ini telah mendiskriminasi dirinya sendiri. Hal musykil yang sebaiknya dibenahi adalah bagaimana cara meningkatkan self-awareness bahwa optimalisasi peran perempuan sangat dianjurkan, selama masih dalam batas kemampuan dan tanggung jawab. Optimalisasi peran ini terkait dengan adagium “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
            Terkait dengan redaksi hadis “menuntut ilmu adalah wajib bagi kaum muslim”, paling tidak sejauh yang penulis pahami, penyebutan leksikal mudzakar dalam tatanan bahasa Arab secara otomatis telah mencakup penyebutan mu’annats. Jika dianalogikan, di dalam sifat yang (sifat dominan maskulin) terdapat sifat yin (sifat feminin).
            Kendati ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa teks-teks Islam menempatkan posisi perempuan di bawah hegemoni laki-laki. Emansipasi tetap ada tapi ada batasnya. Bebas terbatas atas pagar kodrati seorang perempuan.  
           
C.    Sepuluh Prinsip Pengetahuan Terkait Kesetaraan Gender
            Margot Badran meengusulkan penilaian yang dilakukan lebih objektif terkait optimalisasi peran laki-laki dan perempuan yaitu siapa yang berkompeten dalam suatu bidang maka dialah yang dapat diberikan tanggung jawab. Dalam keadaan apa pun, kerjasama antara suami istri sangat urgen dilaksanakan atas dasar saling membutuhkan, bukan saling berkompetisi. Perempuan yang berstatus sebagai istri boleh bekerja di sektor publik tapi juga serta merta tidak menafikkan urusan rumah tangga. Begitu pun dengan laki-laki yang berstatus sebagai suami boleh sibuk bekerja di sektor publik tapi juga jangan melupakan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak.
            Beberapa penelitian menunjukkan data sebesar 98 %  pelanggar dari kalangan anak muda berasal dari rumah tanpa ayah atau ayah tiri, sementara hanya 17 % yang tanpa ibu. Sementara ada sejumlah penelitian menghubungkan ketidakhadiran ibu disebabkan oleh bekerja di luar rumah, tampaknya ada semacam korelasi yang terabaikan antara kejahatan dan ketidakhadiran seorang ayah. Sebagaimana menurut Terri Apter, “Anak laki-laki membutuhkan figur seorang ayah ketika beranjak dewasa, seorang ayah ikut andil dalam menghadapi kerasnya hidup bermasyarakat.”[19] Sejauh yang penulis pahami tentang psikologi perkembangan anak, peran ibu dan ayah sama-sama punya andil yang penting dalam memantau pertumbuhan jasmani, perkembangan dan pembentukan kepribadian anak.
            Dalam buku M. N. Ibad bertajuk “Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek”, terkait dengan optimalisasi perempuan dalam ruang publik, peran perempuan sebagai simbol bersifat pada kekuatan pengaruh dan keteladanan khususnya perempuan yang mempunyai status dan kualifikasi sosial yang baik. Margot menambahkan bahwa pemberdayaan potensi perempuan dalam segala bidang sangat patut diapresiasi. Misalnhya, Dr. Su'ad Saleh, beliau adalah salah satu wanita yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari'ah di Azhar, pun beliau mampu bergelar Professor dalam Perbandingan Ilmu Fiqh. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi Dosen sekaligus penguji para mahasiswa kandidat PhD. Beliau juga sering memberikan evaluasi-evaluasi kepada mahasiswa/i dalam berbagai wacana keintelektualan baik pengetahuan agama khususnya, diskursus fikih. Di Indonesia sendiri, banyak perempuan-perempuan yang telah berkiprah di sektor publik seperti istri almarhumah Gus Dur, salah satu menteri di kabinet kepemimpinan Jokowi seperti Khofifah Indah Parawansa. Juga ada Prof. Huzaimah Tahido Yanggo yang menjadi Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah.
            Yang perlu digarisbawahi oleh penulis bahwa konsep pemikiran Fatima Mernissi sedikit banyak sepadan dengan apa yang dikatakan oleh Huzaimah Tahido Yanggo yang menganggap perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki. Perjuangan Fatima Mernissi dalam merekonstruksi kembali teks-teks Islam dengan maksud pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki patut diapresiasi. Upayanya untuk meneliti kembali hadis-hadis yang secara arti sekilas misoginis melalui kritik intern (matan) maupun ekstern (sanad) merupakan manifestasi perjuangan intelektualitas yang sarat akan pendobrakan mind-set khalayak yang penuh dengan aral lintang. Pengangkatan derajat perempuan oleh Fatima Mernissi di sektor publik ini tentu saja dikhususkan oleh perempuan yang berkompeten lagi bertanggung jawab mengatasi persoalan publik. Semakin ke sini, jika banyak bermunculan pelbagai legitimasi dari tokoh feminis tentang kebebasan perempuan memainkan peran di luar wilayah domestik, tidak serta merta semua perempuan harus terjun ke sektor publik. Teori-teori yang ditawarkan oleh Fatima Mernissi tentu saja sebagai salah satu jalan pencerahan terkait pemecahan persoalan perempuan yang terkungkung ruang geraknya. Tak dapat dielak bahwa setiap jalan keluar yang ditawarkan juga punya sisi menemui deadlock (jalan buntu) jika tidak ditempatkan pada tempat kebutuhan. Pada intinya, tidak ada satu teori yang bisa berdiri sendiri dalam mengatasi suatu problematika kehidupan bermasyarakat.
            Adapun sepuluh prinsip pengetahuan yang dapat penulis jangkau terkait kesetaraan gender atau lebih tepatnya relasi antara laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga ialah sebagai berikut:
1.      Hubungan laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga didasarkan pada hubungan saling melengkapi, bukan saling berkompetisi terlebih saling menguasai;
2.      Disebabkan oleh hubungan saling melengkapi, laki-laki dan perempuan tidak semestinya diadu kekuatan karena memang kodrat kemampuan yang melekat pada masing-masing entitas berbeda;
3.      Apabila kompetensi dilakukan antara perempuan dan laki-laki dengan kodrat kemampuan yang berbeda maka hasilnya tentu tak seproporsional apabila kompetisi dilakukan antar perempuan atau antar laki-laki;
4.      Meski perempuan dapat memasuki sektor publik namun juga tidak bijak apabila menafikkan tugas pengasuhan di sektor domestik, begitu juga dengan laki-laki yang mempunyai kualifikasi di sektor domestik juga tidak sepatutnya meninggalkan tugas utama yang cenderung berperan di sektor publik;
5.      Menafikkan fitrah perempuan dan laki-laki hanya akan mengakibatkan chaos. Sebagaimana dalam pendidikan androgini yang mencoba menghilangkan sifat potensial anak perempuan dengan memberikan mainan pistol-pistolan atau memberikan boneka pada anak laki-laki;
6.      Pembagian peran antara suami dan istri di kedua sektor atas sebaiknya didasarkan atas kerelaan dengan syarat memiliki kompetensi dan tanggung jawab yang memadai;
7.      Menurut penulis, kesetaraan gender tidak melulu terkait kesamaan pekerjaan antara perempuan dan laki-laki melainkan lebih kepada terbukanya peluang yang sama di sektor publik sesuai kualifikasi tertentu;
8.      Setiap hukum alam mesti ada sebuah eksepsi. Eksepsi adalah sebuah keniscayaan yang tak dapat dipungkiri. Misalnya, ada beberapa perempuan yang kecerdasannya dapat melampaui kaum laki-laki, mereka dapat mengerjakan pekerjaan laki-laki. Namun perlu diketahui bahwa eksepsi ini sifatnya tidak dominan dan tentunya tidak bisa dijadikan standar. Di mana pun berada, mayoritas selalu membentuk hukum yang diberlakukan bersama;
9.      Dalam konsep yin dan yang, keseimbangan yang harmonis sangat dibutuhkan. Sebagaimana tergambar pada sikap saling melengkapi dalam relasi antara perempuan dan laki-laki yang kemungkinan kecil dapat hidup selibat tanpa ada yang lain;
10.  Yin dan yang selamanya akan menciptakan kesatuan, di mana masing-masing sifat punya kutub positif dan negatif yang saling membutuhkan. Sebagaimana tercermin dalam sifat keperkasaan dalam diri laki-laki tapi juga diimbangi dengan sifat kelembutan perempuan.

                       

IV.             KESIMPULAN
      Hemat penulis, upaya Fatima Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan gender terkait persamaan hak-hak perempuan di pelbagai sektor publik, baik di ranah poltik, sosial, ekonomi, dan budaya lebih ditujukan pada perempuan yang memang mempunyai kualifikasi tertentu dan tanggung jawab yang memadai dalam menghadapi persoalan di lapangan. Paradigma pemikiran Mernissi ini sebanding dengan konsep relasi gender yang digaungkan oleh Sachiko Murata ihwal konsep yin dan yang, di mana laki-laki dan perempuan mempunyai kedua sifat tersebut atas dasar sifat dominan atau tidaknya. Dikarenakan perempuan mempunyai sifat yang dalam dirinya, maka ia berpotensi menjadi yang, dalam realitas praktis ditujukan oleh kualifikasi memainkan peran laki-laki di sektor publik. Adapun relasi harmonis sebuah maglihai rumah tangga sebaiknya didasarkan atas dasar relasi saling melengkapi dan membutuhkan (inter) bukan atas dasar saling menguasai yang an sich menyebabkan adanya penguasaan atas yang lain (relasi subjek-objek). Wallahu a’lam bishshawab.











                [1] Penulis sengaja mengganti kata Tuhan dalam kutipan langsung sinopsis buku The Tao of Islam dengan Allah. Lihat sinopsis buku The Tao of Islam di bagian cover belakang buku.  
                [2] Seorang Dosen Fakultas Pertanian IPB yang menyelesaikan program Ph. D. pada Tufts University School of Nutrition, Medford, Massachussets, Amerika Serikat, dalam bidang International Food and Nutrition Policy (1991). Selain aktif mengajar, ia pun sering menulis di berbagai media massa ibu kota dan diskusi, terutama seputar isu-isu feminisme.
                [3] Hussein Muhammad, Membela Kaum Perempuan, (Yogyakarta: LkiS, 200), hlm.
                [4] Hal atau benda yang memperhatikan dua sifat yang berlawanan. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia.
                  [5] https://ajiutomoputro.wordpress.com/2013/03/31/filosofi-yin-dan-yang/ diakses pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 23.15 WIB.
                [6] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), hlm. 247.
                [7] Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 10.
[8] Keterangan ini didapat penulis ketika mengikuti perkuliahan Perkembangan Pemikiran Islam yang diampu oleh Bapak Ubaidillah Achmad pada Kamis, 11 September 2014.
                [9] Pemahaman penulis terhadap makalah ihwal pemiikiran Fatima Mernissi yang disusun oleh Muhammad Muradhi, et.all. kelas PAI 5-C.
[10] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 130-131.
                [11] Arief Subhan, et.all., Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 150.
                [12] Arief Subhan, et.all., Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 152.
                [13] File wawancara Margot Badran dengan Majalah Afkar terkait Feminisme Islam dan problematika yang penulis dapatkan dari seorang teman yang kini tengah menjalani studi di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
                [14] Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 247-248.
                [15] Sachiko Murata, The Tao of Islam, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 9.
                [16] Sachiko Murata, Kearifan Sufi Cina, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. xxiii.
                [17] Arief Subhan, et.all., Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 102.
                [18] Arief Subhan, et.all., Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 103-104.
       [19] Rukaiyah Hill Abdulsalam, Women’s Ideal Liberation: Islamic Versus Western Understanding, (Jeddah: Dar Abul Qasim, 2012), hlm. 143.