I.
PENDAHULUAN
Jika
mendengar tentang isu kesetaraan gender, satu pertanyaan yang muncul di pikiran
sebagai representasi kegelisahan personal penulis ialah bagaimana akar
persoalan diskursus gender yang ramai digaungkan oleh kalangan feminis Muslim dalam
perspektif Islam.
Tak
dapat dipungkiri bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan akan membentuk
pandangan dan arah hidup seseorang, begitu pula dengan para tokoh feminis dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan tidak terlepas dari aspek nature dan nurture.
Bagi seorang yang tumbuh kembangnya di lingkungan diskriminasi timpang antara
kebebasan perempuan dan laki-laki, maka kungkungan lingkungan sekitar yang
mengitari akan membuatnya minimal kritis-logis mempertanyakan ketidakadilan dan
paling banter melawan kredo masyarakat sebagaimana yang telah dilakukan Fatima Mernissi
di lingkungan harem. Lain padang lain belalang, sementara penulis yang
hidup dalam lingkup masyarakat dengan penghargaan kesetaraan gender yang
representatif, maka upaya memperjuangkan kesetaraan gender tidak begitu menjadi
persoalan musykil.
Sosio-kultur
negara Indonesia yang cenderung berada di garis tengah dalam memberikan ruang
gerak perempuan terkait pemberdayaan peran khususnya di wilayah publik dapat
diamati dari sikap dua organisasi besar Islam Indonesia, yakni NU yang
mendirikan lembaga struktural Muslimat dan Fatayat dan Muhammadiyah yang
memiliki Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Keberadaan kedua lembaga struktural
yang sengaja dibentuk guna memberdayakan potensi perempuan tersebut
berkonsentrasi intens di ranah pengembangan pendidikan, pelayanan sosial kesehatan
dan ranah sosial publik lainnya. Hal ini
menjadi sebuah indikasi peneguh eksistensi kelonggaran ruang gerak perempuan
meski terdapat batasan-batasan (hudud) tertentu yang musti
dipatuhi.
Dikarenakan
penulis selama 20 tahun terakhir hidup dalam lingkungan yang masyarakat mayor
tidak terlalu ketat memasung ruang gerak perempuan, maka penulis tidak akan
menggugat kesetaraan gender di lingkungan di mana penulis mengalami dinamika
pemikiran ihwal gender. Kendati demikian, dalam makalah reflektif ini, penulis
bermaksud dan bertekad mencari benang
merah antara kesetaraan gender yang diusung rapi oleh Fatima Mernissi - seorang feminis Muslim perempuan kenamaan yang
berkiprah dalam ranah sosial - dengan pemikiran simbolisme gender Sachiko
Murata ihwal posisi laki-laki dan perempuan yang terwakili oleh gagasan
filsafat Cina tentang yang dan yin dalam ajaran Tao Islam.
Tao
Islam adalah sebuah antologi lengkap dan kaya di bidang pemikiran Islam tentang
hakekat hubungan antara Allah dan alam semesta, alam semesta dan manusia, serta
manusia dengan Allah.[1]
Jamak diketahui bahwa daratan Cina merupakan bukti sejarah invasi Islam pernah
berkembang pesat di satu-satunya negara yang tergabung di Asia Timur ini. Maka dari
itu, adalah sebuah keniscayaan tak terelakkan terjadinya ragam kontak
inter-kultur di antaranya kontak pemikiran Islam dan Cina berkenaan dengan
gagasan filsafat Cina tentang yang dan yin. Salah satu alasan
mengapa penulis mengomparasikan - minimal mencoba menemukan titik temu
pemikiran Fatima Mernissi dengan simbolisme gender yang diusung oleh Sachiko
Murata - karena saya merupakan eksponen teori tersebut.
Terus
terang saja, saya mengagumi pendekatan Murata dalam menjabarkan relasi berbagai
entitas yakni realitas hubungan antara Allah, alam semesta dan manusia khususnya
relasi antara laki-laki dan perempuan dengan gagasan yin dan yang. Pengetahuan
dan pemahaman simbolisme gender membuat saya mengerti sebuah keseimbangan dapat
tercipta melalui penyatuan laki-laki dan perempuan dalam hubungan semenda atas
dasar saling melengkapi bukan atas dasar saling menguasai satu sama lain. Adapun
alasan penulis menggali core pemikiran Fatima Mernissi disebabkan oleh ragam
testimoni para aktivis feminis yang mengapresiasi cukup hebat pemikiran
perempuan kelahiran Maroko ini. Metode kritis takhrij hadits Fatima
Mernissi dalam menggugat dan menelusi pelbagai hadis yang dianggapnya misoginis
telah sedikit banyak dapat mengangkat harkat dan martabat perempuan yang
tadinya mengalami dehumanisasi. Sampai kapan pun ajaran Islam musti dipahami
secara progresif dimana ada sebuah kompromi nihil kepentingan politis antara
teks dan konteks, demikian lanjutnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Adapun rumusan masalah yang
berangkat dari latar belakang di atas ialah:
A.
Bagaimana hakikat kesetaraan Fatima
Mernissi dan konsep yang dan yin?
B.
Bagaimana laku kesetaraan gender di
Indonesia perspektif Fatima Mernissi dan konsep yang dan yin?
C.
Apa saja sepuluh prinsip
pengetahuan terkait relasi gender?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Kesetaraan Gender Perspekti Fatima Mernissi dan Konsep Yang dan Yin
Diskursus
kesetaraan gender erat sekali dengan terma feminisme. Feminisme dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Perlu diketahui bahwa arti etimologis feminisme
di atas tidak serta merta dapat mewakili potret epistemologi feminisme yang
terjadi di pelbagai kawasan di dunia, terutama di wilayah negara-negara
berpenduduk Muslim. Seperti perjuangan para feminis berlatar belakang
lingkungan yang menempa mereka untuk memperjuangkan hak perempuan yang tertindas
dan yang menurut mereka perlu dicarikan sebuah jalan keluar yang mencerahkan.
Seperti Nawal el-Sadawi di Mesir, Fatima Mernissi di Maroko, Riffat Hasan di Pakistan,
dan tidak ketinggalan tokoh feminis Indonesia yang diwakili oleh Husein
Muhammad dan Ratna Megawangi[2].
Satu hal yang cukup bijak dalam mengartikan terma feminisme itu sendiri ialah
bagaimana realita lapangan feminisme namun juga tidak menafikkan arti harfiah yang
tentu menjadi kata kunci awal untuk mengembangkan pemaknaan gender secara
sosio-kultural.
Lalu
bagaimana jika terma feminisme dikaitkan dengan Islam? Menurut Margot Badran, seorang
sejarawan dan pakar studi gender, khususnya berkenaan dengan
Timur Tengah dan dunia Islam, menyatakan bahwa ‘Feminisme Islam’ merupakan sebuah diskursus perihal
wanita dan gender yang tumbuh di dalam kubangan teks religius. Prinsip-prinsip
Qurani, etika dan tingkah laku
sehari-hari amat berkaitan dengan terma ini. Tambahnya lagi ketika diwawancarai oleh Majalah Afkar bahwa
pembahasan feminisme merupakan pembahasan universal, bukan ke-Barat-an atau
ke-Timur-an. Jadi, adalah sebuah sikap yang kurang bijak apabila mengatakan
semangat feminisme Islam terpengaruh oleh feminisme Barat.
Demikian
menurut Margot Badran, Fatima Mernissi adalah sosok feminis Muslim yang solid
melakukan upaya rekonstruksi Hadis yang dalam asumsinya misoginis. Mernissi melakukan langkah takhrij
dan penelitian ulang terhadap hadis-hadis. Dimulai dari mata rantai sanad-nya
hingga riwayat-riwayat matan-nya sekali pun. Ontologi kritik Fatima Mernissi difokuskan pada
penelusuran mendalam pada hadis Nabi untuk kemudian direkonstruksi sebagai
legitimasi memperjuangkan kesetaraan gender.
Fatima
Mernissi adalah perempuan pertama di Timur Tengah yang sukses dalam membebaskan
dirinya dari isu kesenjangan dan pengkhianatan kultural.[3]
Tinggal dan dibesarkan di sebuah harem dimana terdapat penjaga pintu
yang menjaga ketat perempuan agar tidak keluar. Namun berkat didikan ibu dan
neneknya, ia berhasil mengenyam pendidikan dan melewati batas-batas (hudud)
kekangan lingkungan. Dalam kebanyakan karyanya, Mernissi melontarkan bahwa
ajaran agama bisa saja dimanipulasi atas tradisi yang dibuat-buat. Bahkan ia
sangat berani dan tidak segan membongkar tradisi yang dianggap sakral oleh
masyarakat.
Pemikiran
Fatima Mernissi tersebut akan penulis usahakan untuk mencarikan titik temu –
jika enggan dikatakan bermaksud membandingkan – dengan konsep pemikiran Sachiko
Murata tentang relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang terwakili
oleh konsep relasi laki-laki dan perempuan yakni yin dan yang.
Sachiko Murata adalah seorang Muslimah Jepang yang memusatkan perhatian relasi gender
perspektif kosmologi Islam. Ia yang kini menjabat sebagai Professor Studi-studi
Agama di State University of New York, Stony Brook mendapatkan gelar Ph. D di
bidang Hukum Islam dari Fakultas Teologi Universitas Teheran, Iran. Murata ingin
memperlihatkan pemikir Muslim klasik yang sering kali menganalisis realitas
ketuhanan dan kaitannya dengan kosmos dan manusia melalui prinsip-prinsip polaritas[4]
atau komplementaris, yang sangat mirip dengan filsafat Cina tentang yin/yang.
Posisi domestik. Hierarki tingkatan.
Yang
dan yin adalah salah satu ciri Taoisme yang berkaitan dengan
konsepsi mengenai kenisbian semua nilai dan sebagai imbalan asas ini ialah adanya
persamaan dari hal yang bertentangan. Dalam hal ini Taoisme berkaitan dengan
simbolisme Cina tradisional tentang yang dan yin, yang
digambarkan sebagai berikut:
Simbol Yang dan Yin[5]
Kutub-kutub
ini menunjukkan segala pertentangan yang mendasar dalam hidup: baik-jahat,
aktif-pasif, positif-negatif, terang-gelap, musim panas-musim dingin,
pria-wanita, dan seterusnya. Tetapi walaupun asas-asasnya berada dalam
ketegangan, asas-asas itu tidak bertentangan secara mutlak. Asas-asas itu
saling melengkapi dan saling mengimbangi satu dengan lainnya. Tiap-tiapnya
memasuki wilayah yang lain dan menepatkan dirinya di titik pusat dari wilayah
lawannya itu. Pada akhirnya keduanya itu menyatu dalam sebuah lingkaran yang
saling melingkupi sebagai suatu perlambang dari kesatuan terakhir Tao.
Karena selalu berputar dan bertukar tempat, hal-hal yang berlawanan hanya merupakan
suatu tahap dari suatu roda yang sedang berputar. Hidup ini tidak bergerak ke
depan dan ke atas menuju suatu puncak atau kutub yang telah mapan. Ia berputar
dan melengkung kembali kepada dirinya sendiri sampai dirinya sendiri membentuk
lingkaran yang utuh dan sadar bahwa titik pusat semua hal itu adalah satu.[6]
Prof.
Murata yang memang berlatar belakang kultur Asia Timur mengacu dualitas Taoisme
(yin dan yang) dalam menjelaskan relasi laki-laki dengan
perempuan. Alasannya adalah adanya konsep ajaran Taoisme ini dengan konsep
Islam, yaitu nama-nama keindahan dan keagungan Allah. Menurutnya, kualitas yin
adalah identik dengan nama-nama keindahan (jamal, luthf, rahmah),
sedangkan kualitas yang identik dengan nama-nama keagungan (jalal,
qahr, ghadhab).[7]
Ia menjelaskan bahwa sifat yin yang terwakili oleh sifat dominan
perempuan sementara sifat yang yang terwakili oleh sifat dominan pada
laki-laki mempunyai sisi positif dan negatif yang keduanya saling melengkapi. Lebih
lanjut, dikatakan oleh Ibnu al-‘Arabi bahwa 75 sifat Allah dalam asma’ul
husna mencerminkan sifat jamaliyah-Nya sedangkan sisanya sebanyak 24
adalah sifat Allah yang mencerminkan sifat jalaliyah.[8]
Meski kedua entitas tersebut – laki-laki dan perempuan – mempunyai sifat
dominan masing-masing yakni yang dan yin, tak dapat dipungkiri bahwa
kedua juga mempunyai sifat tak dominan. Yin ada dalam yang, begitu
pula sebaliknya. Intinya, keberadaan satu bersama yang lain akan menciptakan
sebuah keseimbangan. Sudah barang tentu konsep ini terkait juga dengan relasi
antara laki-laki dan perempuan dalam menjalani maghlihai kehidupan rumah
tangga.
Sistem patriarki, sejatinya tidak mengutus
seorang pria untuk menguasai penuh terhadap perempuan. Namun hal ini didukung
oleh hakekat "nature" yang memang sengaja diciptakan Tuhan.
Berbicara mengenai tabiat, tidak akan terlepas dari kodrat. Jiwa lelaki yang
cenderung ingin melindungi dan berlaku bak seorang pahlawan tidak
mungkin bisa dipungkiri. Begitu juga sebaliknya, bahwa wanita dengan kodratnya
akan cenderung merasa nyaman ketika mendapat perlindungan. Memadukan
antara nature dan nurture.
Ruang
gerak manusia dapat dipetakan menjadi dua yakni ruang publik dan domestik. Tidak
ada pengunggulan atas yang lain. Dua ruang tersebut berposisi sejajar tanpa inequality.
Dan setiap orang, entah laki-laki atau perempuan, mempunyai hak serupa untuk
berkiprah di dua ruang tersebut sebatas memilki kemampuan dan kompetensi yang
profesional.
Hakikat
relasi antara perempuan dan laki-laki adalah hubungan saling melengkapi bukan
saling berkompetisi. Jika kodrat kemampuannya berbeda, maka model relasi-rival
akan timpang. Yang namanya kompetensi justru antar laki-laki atau antar
perempuan. Agar tercipta relasi suami istri non-diskriminatif yang membuat
nyaman menjalankan maghlihai rumah tangga berangkat dari sikap saling
menghargai bukan sikap saling menguasai. Jika relasi hubungan bersifat
stratifistik, maka seakan-akan ada yang terhijab satu sama lain. Ada semacam
hubungan subjek dan objek.
B.
Laku Kesetaraan
Gender di Indonesia Perspektif Fatima Mernissi dan Konsep Yin dan Yang
Mernissi lahir
dan dibesarkan di lingkungan yang cenderung memandang perempuan sebagai makhluk
the secand class. Ia berpendapat bahwa pemahaman ihwal posisi perempuan
yang ia peroleh dari ibu dan neneknya tidak sepadan dengan realita praksis
dimana perempuan dipandang dan diperlakukan. Tidak sampai di situ saja, keberadaan
perempuan dalam kehidupan keluarga pun berada di bawah penguasaan laki-laki.
Intinya, dapat dikatakan bahwa ada semacam ketimpangan posisi, peran, dan hak,
akibat perbedaan gender secara biologis. Mernissi memulai kajian dalam
upaya penyetaraan gender dengan pertanyaan paling mendasar yani mungkinkah
Islam mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan? mungkinkah Rasul
mengeluarkan sabda-sabda yang memojokkan perempuan?[9]
Guna menjawab kegelisahan obsesifnya, Mernissi melakukan analisis ulang
terhadap teks suci (Al-Qur’an dan Hadits).[10]
Perspektif
Fatima Mernissi mengkritisi penafsiran tradisional teks-teks suci yang
cenderung menomorduakan perempuan mengarah pada tradisi Nabi (Hadits) yang
telah berkembang selama berabad-abad. Dalam pandangan Mernissi, “ketersudutan”
kaum perempuan di dunia Islam disebabkan oleh banyaknya periwayat palsu yang
bertentangan dengan semangat egalitarianisme yang dibawa oleh Nabi. Setelah
Nabi wafat, dalam konteks berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik,
sejarah perkembangan al-Hadits cenderung misoginis (yang menunjukkan kebencian
terhadap perempuan).[11]
Dalam
penelusuran Mernissi ihwal perilaku Nabi terhadap perempuan, lebih khusus
terhadap para istrinya, Nabi tidak sebatas egaliter, bahkan juga terbuka akan
kritik. Tampaknya Fatima Mernissi emoh terjebak pada kungkungan
penafsiran hadits yang kaku dan sempit, tapi lebih merujuk kepada perilaku Nabi
yang mendukung kesetaraan gender. Akan tetapi yang kami anggap patut sayangkan
dari sikap apologis Mernissi dalam menelusuri biografi ulama Hadits seperti Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Bukhari sampai Umar bin Khattab Abu Bakar. Ungkap
Mernissi, tokoh-tokoh besar ini – entah sengaja atau tidak - telah menyebabkan
terisolasinya pandangan-pandangan yang menyudutkan perempuan dalam Islam. Sikap
terlalu curiga ini bertolak belakang dengan etika kritik hadits (Naqd
al-Hadits) yang tidak perlunya meneliti biografi sahabat karena ada teori
yang datang kemudian bahwa semua sahabat bersifat adil dan terjamin
kredibelitasnya.
Jika
dicermati, pemikiran Mernissi cenderung berhaluan liberal. Sudah barang tentu
sikap liberal ini terbentuk oleh riwayat pendidikannya dimana ia pernah
merampungkan studi Universitas Brandels di Amerika tahun 1973. Terbukti ia
sangat apresiatif terhadap konsep individualisme, liberalisme dan kebebasan di
Barat. Metode kritik hadits Mernissi banyak dipengaruhi oleh Qasim Amin (Bapak
Feminis) dan Muhammad al-Ghazali yang menggunakan analisis hermeneutik dan
historis-sosiologis.
Dalam
konteks ke-Indonesia-an, penafsiran male dominated mengakar kuat salah
satunya pengaruh adanya kitab ‘Uqud al-Lujjayn fi Bayan Huquq al-Zawjayn yang
dijadikan sebagai rujukan dalam hidup berumah tangga di lingkungan pesantren,
meski telah mendapatkan kritik keras dari beberapa sarjana Muslim. Salah satu
hadits dalam kitab tersebut yang dikritisi oleh Mernissi sebagai legitimasi
kepentingan laki-laki antara lain sebuah Hadits yang berarti: “sekali pun
wajah perempuan dipakai untuk mengelapi kaki suaminya atau menjilati darah dan
nanah di wajah suaminya, tetapi kalau suaminya tidak ikhlas, semua perbuatan
itu tidak diterima oleh Tuhan. Hadits lain mengatakan, “jika istri
mencuri harta suaminya, maka ia dijatuhi hukuman 7000 kali perbuatan mencuri.[12]
Menilik
beberapa hadis yang cenderung misoginis, Margot Badran mengusulkan beberapa langkah awal
dalam proses rekonstruksi ajaran agama secara objektif; terlepas dari segala
kepentingan. Yaitu melakukan rekonstruksi atau penafsiran ulang terhadap ayat
al-Qur'an dan hadis Nabi.[13] Walau bagaimana pun, upaya ini bukan bermaksud
mereduksi pemahaman sebelumnya melainkan menelaah kembali dengan paradigma
kritis-logis. Jika dicermati, usulan Margot ini sebagai pondasi sikap
intelektual untuk mengembangkan
epistemologis fiqih. Mengetahui dulu akar hukum yang semestinya, baru
diinterpretasi kembali sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya.
Ibn
al-‘Arabi menyinggung kenyataan bahwa Adam mempunyai ciri-ciri yin dan yang
sekaligus di dalam dirinya. Demikian pula, Hawa mempunyai sifat-sifat yin
dan yang. Semua realitas ciptaan adalah mendua, dapat dianggap yin
dan yang tergantung sudut pandangnya. Ini membantu untuk menjelaskan
mengapa Nabi berkata: “Kaum wanita adalah padanan kaum pria.” Seperti dikatakan
Ibn al-‘Arabi: “Tidakkah kalian lihat bahwa Hawa diciptakan dari Adam? Dengan
demikian dia mempunyai dua sifat: sifat pada akarnya, dan sifat wanita sebagai
aksidennya. Maka dia mendua (mutasyabih). Kemenduaan Hawa dapat dilihat
dalam kenyataan bahwa dia bertindak terhadap Adam sebagaimana Adam bertindak
terhadapnya. “Tindakan Adam terhadapnya” tidak dapat dipahami tanpa tindakan
Hawa terhadap Adam, sebab kemampuan kekuatan yang untuk bertindak
berasal dari kekuatan yin.[14]
Maka yin terdapat di dalam yang. Jika yang mencintai,
itu adala karena yin adalah yang itu sendiri. Dari konsep adanya
sifat saling menyifati antara laki-laki dan perempuan, maka tak heran jika
dikatakan ketika laki-laki mencintai seseorang perempuan maka pada hakikatnya
ia sedang melihat dirinya di perempuan tersebut. Maka tidak jarang didapati
banyak pasangan suami istri yang mempunyai banyak kesamaan, semakin banyak
keserupaan antara keduanya maka akan semakin kuat mawaddah dan warrahmah
sebagai penyokong pernikahan.
Terkait
partisipasi publik laki-laki dan perempuan, penulis mengklasifikasikannya
menjadi dua yakni partisipasi dalam wilayah publik dan wilayah privat atau domestik.
Wilayah publik terkait dengan ruang di mana kegiatan sosial, ekonomi, kekuasaan
politik, dan kebudayaan masyarakat berlangsung dan dijalankan. Sementara
wilayah domestik terkait dengan aktivitas dalam kehidupan rumah tangga seperti
pengasuhan dan pemeliharaan. Kedua wilayah ini merupakan sebuah keniscayaaan
hidup berumah tangga. Tentu perlu adanya kerjasama berkesinambungan antara
suami dan istri supaya pekerjaan di kedua wilayah tersebut tercapai secara
proporsional. Wilayah domestik dan publik ini merupakan kesatuan yang saling
mempengaruhi. Kelancaran kegiatan yang satu juga tergantung dengan kelancaran
kegiatan yang lain. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran dari pihak laki-laki
dan perempuan untuk membagi tugas sesuai kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya.
Dari sini kita melihat bahwa prinsip saling berkompetisi tidak mampu diterapkan
karena memang laki-laki dan perempuan memiliki kualifikasi atau kemampuan
masing-masing yang saling mengisi dan melengkapi.
Ratna
Megawangi menyatakan dalam memberikan sebuah pengantar buku “The Tao of Islam”:
Peradaban modern dikatakan telah memisahkan kesadaran manusia dari alam,
sehingga segala sesuatunya menjadi terfragmentasi, terpisah, teratomisasi.
Manusia melihat manusia lainnya sebagai ego-ego yang saling berkompetisi.
Manusia dan alam menjadi begitu terisolasi, yaitu menjadi subjek dan objek. Maka,
terjadilah penguasaan dan eksploitasi alam oleh manusia.”[15]
Dalam
buku “The Tao of Islam”, Sachiko Murata mencoba mengkaji pemikiran Islam dari
sudut pandang Timur Jauh. Dari penelitiannya terhadap buku Wang Tai-yu, pemikir
Muslim pertama abad ke-17 yang menjabarkan
konsep-konsep Islam dengan bahasa Cina, ia menarik sebuah konklusi bahwa cara
sarjana Barat memotret intelektual Islam sangat terkait dengan
prakonsepsi-prakonsepsi mereka sendiri yang jauh berbeda dari teks-teks Islam
sebenarnya. Pandangan mereka terhadap tradisi Islam terperosok ke dalam cara
berpikir either/or (salah satu dari dua hal) dan bertentangan dengan
konsep keseimbangan dan harmoni Timur Jauh, hal ini karena mereka dididik untuk
berpikir dalam blok-blok dikotomi yang tajam, bukan karena teks-teks Islam
memandang dunia secara dikotomis sedemikian itu.[16]
Dalam
kacamata penulis, jika model relasi laki-laki dan perempuan dikomparasikan
antara relasi saling bersaing dan relasi saling melengkapi mana yang lebih
menguntungkan, maka penulis berpendapat bahwa relasi saling melengkapilah yang menguntungkan
kedua belah pihak. Hal ini dikarenakan dispartasi kemampuan laki-laki dan
perempuan ditakdirkan berbeda. Tentu saja hubungan saling berkompetisi tidak
akan representatif tercapai disebabkan oleh ketidaksetaraan kemampuan kodrati
yang telah melekat di masing-masing entitas. Pernyataan Ratna Megawangi di atas
merupakan kritik atas paradigma ecofeminisme tahun 1980-an yang
berlebihan dalam mengunggulkan superioritas feminin sehingga konsekuensi
logisnya terlalu mengangagap rendah – jika enggan dikatakan menganggap negatif
– sifat maskulin. Buah pemikiran penulis ini berangkat dari konsep yin dan
yang yang satu entitas dengan entitas yang lain menyatu atas dari saling
menutupi kekurangan atas kelebihan masing-masing. Jadi, apabila ada sifat
dominan yin diadu dengan sifat yang maka yang muncul kemudian
adalah hasil kompetisi yang tidak sportif dan kemungkinan kecil mencapai keadilan.
Buku
“Citra Perempuan dalam Islam” yang menghimpun penelitian terkait sikap
ormas-ormas Islam dalam menyikapi emansipasi setidaknya dapat ditilik dari dua
sudut pandang yaitu pendapat ulama tua yang sebelum tahun 1950-an sebagai tahun
perjuangan dan pendapat ulama muda yang lahir di atas tahun 1950-1960-an. Ulama
golongan pertama cenderung memiliki wawasan yang rigid karena kondisi
sosio-kultur, ekonomi, dan politik Indonesia yang masih stabil membuat ulama
generasi ini memiliki sikap yang lebih ekslusif daripada ulama muda yang
bersifat moderat dalam memandang kebebasan perempuan dalam bergerak di sektor
luar domestik. Tentu saja faktor yang membentuk cara pandang ulama muda ini demikian
karena keadaan sektor ekonomi, politik dan sektor kehidupan lain yang relatif
telah mapan Indonesia, membuat mereka dapat merasakan kesempatan untuk
memperluas cakrawala dengan memperlajari dinamika lintas pemikiran dari para
tokoh feminis dari negara lain. Corak pemikiran ulama muda atau bisa dikatakan
kontemporer pertanda ada angin segar bagi perkembangan kesetaraan gender di
Indonesia karena kontekstualisasi teks-teks suci sesuai kebutuhan zaman.
Penelitian
F. Ivan Nye berkenaan dengan peran suami-istri menghasilkan sebuah konklusi
bahwa ada lima pattern pandangan stratifikatif, yaitu: segala sesuatu
tergantung suami, suami melebihi peran istri, suami dan istri mempunyai peran
yang sama, peran istri melebihi peran suami, dan segala sesuatu tergantung
istri.[17]
Dari penelitian ini diketahui bahwa relasi pasangan suami istri di lapangan
lebih kompleks dari sekedar hubungan subjek dan objek. Latar belakang keluarga
pendidikan dari suami istri pun juga bersifat kontributif membentuk relasi berumah
tangga.
Sejauh
data yang bisa dihimpun, aktivis organisasi Islam di Indonesia secara umum
memiliki pandangan yang relatif moderat dan cukup seragam dalam melihat peran
publik yang bisa dimainkan perempuan. Pembentukan lembaga otonom, seperti
Muslimat Nahdlatul Wathan (NW), Muslimat Nahdlatul Ulama (NU), Aisyiyah
(Muhammadiyah) dan seterusnya menjadi bukti konkrit semakin terbukanya ruang
gerak bagi perempuan di wilayah publik.[18]
Seorang
aktivis Muslimat Nahdlatul ulama, Hindun, berargumen bahwa banyak aktivis
Muslimat yang belum menyadari akan haknya sendiri. Bahkan, mereka senantiasa
merasa di bawah Pengurus Besar NW yang nota bene beranggotakan
laki-laki. Selain kekurangsadaran atas hak-hak tersebut, yang menjadi sebab
lemahnya kemandirian perempuan adalah minimnya sumber daya perempuan. Ketua II
Muslimat NW, Setiahati, kuantitas dan kualitas aktivis perempuan, para aktivis
seringkali dihadapkan pada batasan-batasan tertentu bahwa mereka hanya bisa
aktif dan menjadi top leader untuk kaum muslimat saja. Terkait testimoni
Hindun tadi, apabila khalayak telah mempersilahkan perempuan bergerak di ruang
publik tapi belum ada kesadaran dari pihak internal perempuan, maka mind-set
perempuanlah yang semestinya dimapankan. Jika kesempatan memberdayakan
potensi diri terbuka lebar, di sisi lain passion bergerak minim, maka
bisa dikatakan perempuan semacam ini telah mendiskriminasi dirinya sendiri. Hal
musykil yang sebaiknya dibenahi adalah bagaimana cara meningkatkan self-awareness
bahwa optimalisasi peran perempuan sangat dianjurkan, selama masih dalam
batas kemampuan dan tanggung jawab. Optimalisasi peran ini terkait dengan
adagium “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama.”
Terkait
dengan redaksi hadis “menuntut ilmu adalah wajib bagi kaum muslim”, paling
tidak sejauh yang penulis pahami, penyebutan leksikal mudzakar dalam
tatanan bahasa Arab secara otomatis telah mencakup penyebutan mu’annats.
Jika dianalogikan, di dalam sifat yang (sifat dominan maskulin) terdapat
sifat yin (sifat feminin).
Kendati
ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa teks-teks Islam menempatkan posisi
perempuan di bawah hegemoni laki-laki. Emansipasi tetap ada tapi ada batasnya.
Bebas terbatas atas pagar kodrati seorang perempuan.
C.
Sepuluh
Prinsip Pengetahuan Terkait Kesetaraan Gender
Margot Badran meengusulkan penilaian yang dilakukan lebih
objektif terkait optimalisasi peran laki-laki dan perempuan yaitu siapa yang berkompeten
dalam suatu bidang maka dialah yang dapat diberikan tanggung jawab. Dalam keadaan
apa pun, kerjasama antara suami istri sangat urgen dilaksanakan atas dasar
saling membutuhkan, bukan saling berkompetisi. Perempuan yang berstatus sebagai
istri boleh bekerja di sektor publik tapi juga serta merta tidak menafikkan urusan
rumah tangga. Begitu pun dengan laki-laki yang berstatus sebagai suami boleh
sibuk bekerja di sektor publik tapi juga jangan melupakan pertumbuhan dan
perkembangan anak-anak.
Beberapa
penelitian menunjukkan data sebesar 98 %
pelanggar dari kalangan anak muda berasal dari rumah tanpa ayah atau
ayah tiri, sementara hanya 17 % yang tanpa ibu. Sementara ada sejumlah
penelitian menghubungkan ketidakhadiran ibu disebabkan oleh bekerja di luar
rumah, tampaknya ada semacam korelasi yang terabaikan antara kejahatan dan
ketidakhadiran seorang ayah. Sebagaimana menurut Terri Apter, “Anak laki-laki
membutuhkan figur seorang ayah ketika beranjak dewasa, seorang ayah ikut andil dalam
menghadapi kerasnya hidup bermasyarakat.”[19]
Sejauh yang penulis pahami tentang psikologi perkembangan anak, peran ibu dan
ayah sama-sama punya andil yang penting dalam memantau pertumbuhan jasmani,
perkembangan dan pembentukan kepribadian anak.
Dalam
buku M. N. Ibad bertajuk “Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus
Miek”, terkait dengan optimalisasi perempuan dalam ruang publik, peran
perempuan sebagai simbol bersifat pada kekuatan pengaruh dan keteladanan
khususnya perempuan yang mempunyai status dan kualifikasi sosial yang baik.
Margot menambahkan bahwa pemberdayaan
potensi perempuan dalam segala bidang sangat patut diapresiasi. Misalnhya, Dr. Su'ad Saleh, beliau adalah salah satu wanita yang
menjabat sebagai Dekan Fakultas Syari'ah di Azhar, pun beliau mampu bergelar
Professor dalam Perbandingan Ilmu Fiqh. Tidak hanya itu, beliau juga menjadi
Dosen sekaligus penguji para mahasiswa kandidat PhD. Beliau juga sering
memberikan evaluasi-evaluasi kepada mahasiswa/i dalam berbagai wacana
keintelektualan baik pengetahuan agama khususnya, diskursus fikih. Di Indonesia sendiri, banyak perempuan-perempuan yang telah
berkiprah di sektor publik seperti istri almarhumah Gus Dur, salah satu menteri
di kabinet kepemimpinan Jokowi seperti Khofifah Indah Parawansa. Juga ada Prof.
Huzaimah Tahido Yanggo yang menjadi Guru Besar di UIN Syarif Hidayatullah.
Yang perlu digarisbawahi
oleh penulis bahwa konsep pemikiran Fatima Mernissi sedikit banyak sepadan
dengan apa yang dikatakan oleh Huzaimah Tahido Yanggo yang menganggap
perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki. Perjuangan Fatima Mernissi dalam
merekonstruksi kembali teks-teks Islam dengan maksud pencapaian kesetaraan
antara perempuan dan laki-laki patut diapresiasi. Upayanya untuk meneliti
kembali hadis-hadis yang secara arti sekilas misoginis melalui kritik intern
(matan) maupun ekstern (sanad) merupakan manifestasi perjuangan intelektualitas
yang sarat akan pendobrakan mind-set khalayak yang penuh dengan aral
lintang. Pengangkatan derajat perempuan oleh Fatima Mernissi di sektor publik
ini tentu saja dikhususkan oleh perempuan yang berkompeten lagi bertanggung
jawab mengatasi persoalan publik. Semakin ke sini, jika banyak bermunculan
pelbagai legitimasi dari tokoh feminis tentang kebebasan perempuan memainkan
peran di luar wilayah domestik, tidak serta merta semua perempuan harus terjun
ke sektor publik. Teori-teori yang ditawarkan oleh Fatima Mernissi tentu saja
sebagai salah satu jalan pencerahan terkait pemecahan persoalan perempuan yang
terkungkung ruang geraknya. Tak dapat dielak bahwa setiap jalan keluar yang
ditawarkan juga punya sisi menemui deadlock (jalan buntu) jika tidak
ditempatkan pada tempat kebutuhan. Pada intinya, tidak ada satu teori yang bisa
berdiri sendiri dalam mengatasi suatu problematika kehidupan bermasyarakat.
Adapun
sepuluh prinsip pengetahuan yang dapat penulis jangkau terkait kesetaraan
gender atau lebih tepatnya relasi antara laki-laki dan perempuan dalam berumah
tangga ialah sebagai berikut:
1.
Hubungan laki-laki dan perempuan dalam berumah tangga didasarkan pada
hubungan saling melengkapi, bukan saling berkompetisi terlebih saling
menguasai;
2.
Disebabkan oleh hubungan saling melengkapi, laki-laki dan perempuan tidak
semestinya diadu kekuatan karena memang kodrat kemampuan yang melekat pada
masing-masing entitas berbeda;
3.
Apabila kompetensi dilakukan antara perempuan dan laki-laki dengan kodrat
kemampuan yang berbeda maka hasilnya tentu tak seproporsional apabila kompetisi
dilakukan antar perempuan atau antar laki-laki;
4.
Meski perempuan dapat memasuki sektor publik namun juga tidak bijak
apabila menafikkan tugas pengasuhan di sektor domestik, begitu juga dengan
laki-laki yang mempunyai kualifikasi di sektor domestik juga tidak sepatutnya
meninggalkan tugas utama yang cenderung berperan di sektor publik;
5.
Menafikkan fitrah perempuan dan laki-laki hanya akan mengakibatkan chaos.
Sebagaimana dalam pendidikan androgini yang mencoba menghilangkan sifat
potensial anak perempuan dengan memberikan mainan pistol-pistolan atau
memberikan boneka pada anak laki-laki;
6.
Pembagian peran antara suami dan istri di kedua sektor atas sebaiknya
didasarkan atas kerelaan dengan syarat memiliki kompetensi dan tanggung jawab
yang memadai;
7.
Menurut penulis, kesetaraan gender tidak melulu terkait kesamaan pekerjaan
antara perempuan dan laki-laki melainkan lebih kepada terbukanya peluang yang
sama di sektor publik sesuai kualifikasi tertentu;
8.
Setiap hukum alam mesti ada sebuah eksepsi. Eksepsi adalah sebuah
keniscayaan yang tak dapat dipungkiri. Misalnya, ada beberapa perempuan yang kecerdasannya
dapat melampaui kaum laki-laki, mereka dapat mengerjakan pekerjaan laki-laki.
Namun perlu diketahui bahwa eksepsi ini sifatnya tidak dominan dan tentunya
tidak bisa dijadikan standar. Di mana pun berada, mayoritas selalu membentuk
hukum yang diberlakukan bersama;
9.
Dalam konsep yin dan yang, keseimbangan yang harmonis sangat
dibutuhkan. Sebagaimana tergambar pada sikap saling melengkapi dalam relasi
antara perempuan dan laki-laki yang kemungkinan kecil dapat hidup selibat tanpa
ada yang lain;
10. Yin dan yang selamanya akan menciptakan kesatuan, di
mana masing-masing sifat punya kutub positif dan negatif yang saling
membutuhkan. Sebagaimana tercermin dalam sifat keperkasaan dalam diri laki-laki
tapi juga diimbangi dengan sifat kelembutan perempuan.
IV.
KESIMPULAN
Hemat
penulis, upaya Fatima Mernissi untuk memperjuangkan kesetaraan gender terkait
persamaan hak-hak perempuan di pelbagai sektor publik, baik di ranah poltik,
sosial, ekonomi, dan budaya lebih ditujukan pada perempuan yang memang
mempunyai kualifikasi tertentu dan tanggung jawab yang memadai dalam menghadapi
persoalan di lapangan. Paradigma pemikiran Mernissi ini sebanding dengan konsep
relasi gender yang digaungkan oleh Sachiko Murata ihwal konsep yin dan yang,
di mana laki-laki dan perempuan mempunyai kedua sifat tersebut atas dasar
sifat dominan atau tidaknya. Dikarenakan perempuan mempunyai sifat yang dalam
dirinya, maka ia berpotensi menjadi yang, dalam realitas praktis
ditujukan oleh kualifikasi memainkan peran laki-laki di sektor publik. Adapun
relasi harmonis sebuah maglihai rumah tangga sebaiknya didasarkan atas dasar relasi
saling melengkapi dan membutuhkan (inter) bukan atas dasar saling menguasai
yang an sich menyebabkan adanya penguasaan atas yang lain (relasi
subjek-objek). Wallahu a’lam bishshawab.
[2]
Seorang Dosen Fakultas Pertanian IPB yang menyelesaikan program Ph. D. pada
Tufts University School of Nutrition, Medford, Massachussets, Amerika Serikat,
dalam bidang International Food and Nutrition Policy (1991). Selain aktif
mengajar, ia pun sering menulis di berbagai media massa ibu kota dan diskusi,
terutama seputar isu-isu feminisme.
[5]
https://ajiutomoputro.wordpress.com/2013/03/31/filosofi-yin-dan-yang/
diakses pada tanggal 19 Desember 2014 pukul 23.15 WIB.
[8] Keterangan ini didapat penulis
ketika mengikuti perkuliahan Perkembangan Pemikiran Islam yang diampu oleh
Bapak Ubaidillah Achmad pada Kamis, 11 September 2014.
[10] Abdullah Ahmad Na’im, dkk., Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 130-131.