Raja’, Khouf, dan Mahabbah:
Titik Temu Pemikiran Robiah al-‘Adawiyah dan Hasan al-Basri
Mengapa musti
mengintegrasikan kedua pemikiran sufi tersebut? tidak lain tidak bukan karena kedua
pemikiran tokoh tersebut mempunyai sisi kelemahan dalam membentuk sebuah keseimbangan
jiwa, disamping kelebihan tentunya. Adapun pemikiran inti Robiah adalah menapaki
hidup tanpa pamrih pada Tuhan. Terbukti jamak diketahui dari pelbagai literatur
bahwa Robi’ah adalah seorang sufi yang tak mengharapkan surga maupun takut pada
neraka dalam penghambaannya pada Sang Pencipta. Lain pula dengan pemikiran
Hasan al-Bashri yang menjadikan rasa optimis sebagai instrumen menjalani
kehidupan sekalipun dalam keadaan baik maupun buruk. 
Dari grand-idea
yang ditawarkan oleh masing-masing tokoh di atas maka terbentuklah sebuah
formula pamungkas untuk membentuk sebuah keseimbangan jiwa. Formula yang
terdiri dari raja’, khouf, dan mahabbah. Agar seimbang, hidup manusia
musti berputar dalam lingkup raja’, khouf, dan mahabbah. Raja’
berarti pengharapan. Khouf berarti cemas-cemas harap. Mahabbah adalah
kecintaan pada Allah. Dalam kaitannya menghamba dengan Allah, manusia musti
hidup dalam keoptimisan karena dapat  merasakan
ikatan harmoni rasa antara harap dan cemas dalam kecintaan yang paripurna pada
Allah adalah kebahagian sejati. 
Titik Kerendahan Derajat Manusia
Ketika manusia
tak intens berputar dalam lingkup segitiga sama sisi antara raja’, khouf, dan
mahabbah, sebenarnya ia masuk dalam kubangan hawa dan syahwat
atau bisa jadi justru turun dalam posisi tabiat manusia yakni al-nafsu
al-ammarah bi al-suui. Karena pada hakikatnya manusia berada dalam dua
tempat tersebut, hawa dan syahwat. Keadaan nikmat baik dalam
bentuk angan-angan maupun tindakan riil. Tak heran sepasang kekasih atau
dua anak manusia yang ketika berjumpa akan asyik masyuk bercakap-cakap dalam
waktu yang lama bahkan ingin bercakap-cakap lebih lama. Syahwat manusia
yang tak akan pernah puas untuk dituruti. Semakin naik ke level atas, maka akan
semakin tergoda pula untuk mencicipi level berikutnya. Boleh saja ber-hawa dan
ber-syahwat ria, asalkan disalurkan dalam bentuk yang sesuai dengan
syariat, misalnya dengan segera mengakhiri masa selibat dengan menikah dengan
dalih takut terjerumus pada jurang kenistaan yaitu zina. Pada akhirnya,
keseimbangan hidup akan tercapai manakala menggunakan instrument pembentuknya
secara proporsional tanpa melebihkan yang lain. Wallahu a’lam bishshowab. 







0 komentar:
Posting Komentar