Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (2)



Raja’, Khouf, dan Mahabbah: Titik Temu Pemikiran Robiah al-‘Adawiyah dan Hasan al-Basri

Mengapa musti mengintegrasikan kedua pemikiran sufi tersebut? tidak lain tidak bukan karena kedua pemikiran tokoh tersebut mempunyai sisi kelemahan dalam membentuk sebuah keseimbangan jiwa, disamping kelebihan tentunya. Adapun pemikiran inti Robiah adalah menapaki hidup tanpa pamrih pada Tuhan. Terbukti jamak diketahui dari pelbagai literatur bahwa Robi’ah adalah seorang sufi yang tak mengharapkan surga maupun takut pada neraka dalam penghambaannya pada Sang Pencipta. Lain pula dengan pemikiran Hasan al-Bashri yang menjadikan rasa optimis sebagai instrumen menjalani kehidupan sekalipun dalam keadaan baik maupun buruk.
Dari grand-idea yang ditawarkan oleh masing-masing tokoh di atas maka terbentuklah sebuah formula pamungkas untuk membentuk sebuah keseimbangan jiwa. Formula yang terdiri dari raja’, khouf, dan mahabbah. Agar seimbang, hidup manusia musti berputar dalam lingkup raja’, khouf, dan mahabbah. Raja’ berarti pengharapan. Khouf berarti cemas-cemas harap. Mahabbah adalah kecintaan pada Allah. Dalam kaitannya menghamba dengan Allah, manusia musti hidup dalam keoptimisan karena dapat  merasakan ikatan harmoni rasa antara harap dan cemas dalam kecintaan yang paripurna pada Allah adalah kebahagian sejati.

Titik Kerendahan Derajat Manusia
Ketika manusia tak intens berputar dalam lingkup segitiga sama sisi antara raja’, khouf, dan mahabbah, sebenarnya ia masuk dalam kubangan hawa dan syahwat atau bisa jadi justru turun dalam posisi tabiat manusia yakni al-nafsu al-ammarah bi al-suui. Karena pada hakikatnya manusia berada dalam dua tempat tersebut, hawa dan syahwat. Keadaan nikmat baik dalam bentuk angan-angan maupun tindakan riil. Tak heran sepasang kekasih atau dua anak manusia yang ketika berjumpa akan asyik masyuk bercakap-cakap dalam waktu yang lama bahkan ingin bercakap-cakap lebih lama. Syahwat manusia yang tak akan pernah puas untuk dituruti. Semakin naik ke level atas, maka akan semakin tergoda pula untuk mencicipi level berikutnya. Boleh saja ber-hawa dan ber-syahwat ria, asalkan disalurkan dalam bentuk yang sesuai dengan syariat, misalnya dengan segera mengakhiri masa selibat dengan menikah dengan dalih takut terjerumus pada jurang kenistaan yaitu zina. Pada akhirnya, keseimbangan hidup akan tercapai manakala menggunakan instrument pembentuknya secara proporsional tanpa melebihkan yang lain. Wallahu a’lam bishshowab.



0 komentar:

Posting Komentar