Jumat, 27 September 2013

Refleksi Pendidikan




MEMBANGUN GOOD CITIZEN MELALUI KECERDASAN LITERASI



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Syamsul Ma’arif, M. Ag

                                                                                   

Description: iain-walisongo1.jpg


Disusun oleh:
Nurul Hikmah Sofyan          (123111128)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013

I.                   ABSTRAK
Tidak jarang banyak orang yang lupa bahwa sukses dalam segala bidang adalah bermula dari budaya literasi yang sama porsinya sering diabaikan oleh kebanyakan orang. Penulis sendiri pun dihadapkan pada keraguan ketika mengajukan judul paper ini kepada dosen pengampu. Tidak ada mendung, tidak ada badai, tiba-tiba penulis ingin membahas ihwal pembentukan Good Citizen melalui kecerdasan literasi (menulis dan membaca). Apakah benar ada semacam relevansi antara kecerdasan literasi dengan pembentukan Good Citizen ? Apakah dengan memegang kuat budaya literasi, masyarakat dapat memainkan peranan aktifnya sebagai warga negara yang cinta dan bela Tanah Air?.
Sudah barang tentu, hal ini memerlukan ulasan yang lebih mendalam ihwal pembentukan Good Citizen melalui kecerdasan literasi. Dan untuk memulai budaya literasi ini, hal yang pertama dibidik untuk menumbuhkan budaya literasi adalah melalui pendidikan. Serangkaian perjalanan pendidikan formal pada jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) mempunyai peran yang sangat strategis untuk membentuk budaya literasi ini, walau tetap tak mengesampingkan peran orang tua sebagai pendidik kodrati yang mula-mula mengajarkan basic education pada anak.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya Filsafat Bahasa dan Pendidikan: “Disadari atau tidak, keistimewaan pendidikan bahasa dalam pendidikan adalah bahwa sukses dalam penguasaan bidang studi sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan tulis atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi mesti menggunakan medium bahasa. Dengan demikian, pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) mesti ditangani secara profesional demi suksesnya pendidikan nasional.”[1]
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pun berisi perintah untuk membaca. Dalam arti tidak hanya anjuran untuk membaca ayat-ayat qauliyah saja namun juga dianjurkan untuk dapat membaca ayat-ayat kauniyah-Nya yang berupa fenomena-fenomena alam yang terjadi silih berganti di sekitar kita, yang selanjutnya direnungi untuk menjadi bahan pelajaran bagi kehidupan.
Namun, ironisnya budaya literasi dalam dunia pendidikan di Indonesia masih sangat kurang. Justru budaya literasi ini lebih banyak diterapkan di negara-negara non-muslim yang tidak mengimani al-Qur’an. Lihatlah  Jepang, salah satu rahasia kebangkitan ranah keilmuan Jepang adalah aktivitas membacanya yang tinggi, di manapun berada, warganya pasti selalu memegang buku (baca: membaca).
Tingginya budaya tulis orang-orang Jepang karena learning society (masyarakat senang belajar) dan well-informed (terbuka dengan segala informasi) yang sudah terbangun sama tingginya dengan budaya baca dan tulis (literate society). Apa pun yang kelihatannya remah temeh selalu mampu menggerakkan mereka untuk menuliskannya. Hasilnya, 65.000 judul buku diterbitkan setiap tahunnya. Sementara Indonesia pernah mengalami book starvation (kemarau buku) pada tahun 1973. Alhamdulillah, penerbitan untuk saat ini mencapai sudah 10.000 judul buku per tahunnya, walaupun masih kalah jauh dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 judul buku per tahunnya.[2]
Prihatin adalah satu kata yang dapat menggambarkan budaya membaca di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia. Kesadaran akan urgensi membaca masih sangat kurang, bahkan bisa dikatakan nol. Bahkan tidak jarang ada yang malu atau takut dianggap sombong oleh orang-orang di sekitarnya jika membaca di tempat umum.
Seorang penyair terkenal Indonesia, Taufik Ismail bahkan pernah mengadakan sebuah penelitian tentang minat baca siswa ketika beliau mengajar sastra di berbagai negara.
Hasilnya, di SMA-SMA Singapura para guru menugaskan para siswanya untuk membaca novel sastra sebanyak 6 judul, Brunei 7 judul, Thailand 5 judul, Jepang 15 judul, Jerman 22 judul, Amerika 32 judul, Kanada 13 judul, Prancis 20 judul, Belanda 30 judul, dan terakhir Indonesia, masya Allah… 0 (nol) judul![3]
Melalui budaya literasi, peradaban manusia akan selalu terjaga melalui terjaganya arsip-arsip dan dokumentasi sejarah bangsa. Sampai-sampai Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengatakan JASMERAH ( Jangan sekali-kali melupakan sejarah). Ungkapan populis yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno tersebut menunjukkan betapa urgennya mengenang dan mengingat sejarah bangsa. Karena sejarah memegang peranan penting agar sebuah bangsa dapat mengambil pelajaran dari peristiwa masa lalu untuk menjadi refleksi kehidupan masa kini dan masa depan. Karena bangsa yang berhasil membangun peradabannya adalah bangsa yang menghormati sejarahnya sendiri.
Perlu diketahui juga bahwa penulis sengaja menampilkan fakta budaya literasi negara lain seperti Jepang dan secara langsung membandingkan wajah budaya literasi kita yang cukup kontras dengan Jepang, bukan tanpa maksud, melainkan agar kita terbangun dari tidur panjang yang melenakan hingga benar-benar sadar dan membuka mata lebar-lebar bahwa budaya literasi kita masih jauh tertinggal dengan negara lain.
Penulis mencoba menawarkan solusi ihwal menghadapi kelesuan budaya literasi di kalangan pelajar melalui sebuah kurikulum pendidikan yang menggabungkan sistem pendidikan yang berbasis karakter yang berwawasan Islam dan teori konstrusktivis ala Barat. Hemat penulis, tak ada salahnya mengambil hal-hal positif dari produk Barat asalkan tetap menggunakan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter dan identitas bangsa Indonesia yang berasaskan pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

II.                LATAR BELAKANG
Budaya literasi yang kuat di suatu komunitas masyarakat merupakan salah satu indikator perwajahan Masyarakat Madani yang bisa dikatakan hidup. Karena budaya literasi menggambarkan salah satu sikap Civil Society menurut Arnes dan Habermas yakni demokratis.
Tak jarang dari segelintir pemerhati pendidikan Indonesia mengatakan bahwa kebiasaan tulis menulis di kalangan intelektual Indonesia bagaikan penguasa segudang gagasan namun tidak dibarengi dengan tindakan yang riil, atau bahasa kasarnya bisa dibilang NATO (No Action Talk Only). Walau tak menutup kemugkinan bahwa semua intelektual Indonesia memiliki mental seperti itu, namun setidaknya hal ini bisa menjadi cambuk bagi para pemikir Indonesia untuk mengambil satu langkah lebih maju untuk berani bertindak. Keadaan ini diperparah dengan pemahaman literasi dari jenjang pendidikan yang hanya menekankan pada kemampuan untuk membaca, sehingga kemampuan menulis terabaikan. Adalah dangkalnya penguasaan fondasi-fondasi literasi yang menjadi sebab-musabab kelesuan intelektual di kalangan output (lulusan) pendidikan Indonesia.
Secara historis dan tradisi, bangsa Indonesia ini adalah bangsa lisan. Semua kisah legenda ataupun mitos dilisankan. Pada zaman kolonial Belanda, budaya baca sebetulnya sudah dibangun, baik secara perseorangan ataupun dihimpun dalam Balai Pustaka. Tapi, pada tahun 1962, saat Ganefo (Games Nations Emerging Forces), Bung Karno mendirikan TVRI. Masyarakat Indonesia mulai memasuki tradisi tonton, tradisi bacanya baru seumur jagung.[4] Apa boleh buat, apalagi sekarang sudah ada belasan stasiun televisi baik nasional maupun lokal yang mengudara di bumi Indonesia. Dan masyarakat Indonesia pun dikenal sebagai ‘pembaca pasif’ yang duduk dengan tenang mengamini semua yang disajikan oleh televisi, sehingga persepsi yang ditumbuh di masyarakat adalah persepsi yang dikemukakan oleh televisi. Budaya yang disebut kelisanan sekunder (secondary orality) oleh Ignas Kleden ini menunjukkan bahwa keingintahuan mendapatkan informasi di kalangan kita seakan-akan ‘emoh’ membaca sendiri namun ingin ‘dibacakan’ melalui penuturan orang lain baik melalui televisi, radio, maupun alat elektronik lainnya.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, budaya literasi sangat erat kaitannya dengan       keberadaan potret Masyarakat Madani yang kemudian membentuk Good Citizen. Namun jika melihat pada realita yang ada, terus terang saja kecerdasan literasi di kalangan warga Indonesia bisa dikatakan masih lemah. Ya, Indonesia mengalami kelesuan intelektual, tentu tanpa menampikkan para pemikir Indonesia seperti Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, M. Dawam Rahardjo dan para pemikir lainnya. Sudah barang tentu persaingan tak hanya diukur di dalam kandang sendiri, tetapi juga membandingkan persaingan budaya literasi di kancah Internasional. Karena jika berbicara ihwal intelektul, ini juga menyangkut persaingan global antarnegara di seantero dunia.
 Mantan wakil perdana menteri Malaysia, Anwar Ibrahim menyebutkan definisi negatif dengan melukiskan keadaan manusia yang bertentangan dengan ciri-ciri Masyarakat Madani. Lebih lanjut ia mengatakan:
Kemelut yang diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui dan tidak tasamuh ; kemiskinan dan kemelaratan ; ketidakadilan dan kebejatan sosial. Kejahilan, kelesuan intelektual serta kemuflisan budaya adalah manifestasi kritis Masyarakat Madani. Kemelut ini kita saksikan di kalangan masyarakat Islam, baik Asia maupun Afrika, seolah-olah umat terjerumus kepada suatu kezaliman; kezaliman akibat kediktatoran atau kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik peminggiran rakyat dari proses politik.[5]
Dalam skema kajian Islam, Islam di Indonesia bersama dengan Islam di Asia Tenggara, sering ditempatkan sebagai Islam yang berada di wilayah pinggiran (periphery). Robert W. Hefner, seperti dikutip Giora Eliraz (2004), menulis sebagai berikut: “Western and Middle Eastern scholars alike have tended to place Southeast Asia at the intellectual periphery of the Islamic world”. Dengan posisi di pinggiran tersebut, Islam di Indonesia sering pula dinilai bukan sebagai “Islam yang sebenarnya” (Azyumardi Azra, 1999), dan sebagai entitas Islam yang kurang memberikan peran menentukan terhadap Islam di kawasan dunia. Padahal secara numerik, jika dibandingkan dengan Islam yang ada di kawasan pusat (center) sekalipun, seperti Saudi Arabia sebagai tempat lahirnya Islam, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah yang terbesar. Tetapi indikator statistik ternyata belum dipandang cukup untuk menjelaskan keunggulan komparatif Islam di Indonesia dibandingkan dengan Islam di kawasan lainnya. Islam di Indonesia dinilai oleh pihak luar memiliki banyak titik lemah. Salah satu titik lemah yang banyak mendapat sorotan adalah tradisi intelektual atau pemikiran Islam. Letak geografis yang di pinggiran, ditambah dengan kedatangan Islam yang lebih belakangan, perlu dimasukkan sebagai penyebab kelemahan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid coba bersikap jujur dengan fakta historis tersebut. Ketika memberikan pengantar buku C.A. Qadir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Filsafat Ilmu Pengetahuan dalam Islam (1989), memberikan ilustrasi menarik seperti kutipan di bawah ini:   

Cobalah kita renungkan apa makna dari kenyataan sejarah sederhana ini: Ketika al-Ghazali yang berasal dari kota Thus di Persia itu sibuk menulis karya-karya polemisnya yang ditujukan kepada para filsuf (khususnya Ibn Sina), Indonesia, dalam hal ini tanah Jawa, menyaksikan kekuasaan Kerajaan Dhaha atau Kediri dengan Jayabaya sebagai rajanya. Al-Ghazali dan Jayabaya memang hidup dalam satu kurun, yaitu abad 12 Masehi. Dan sebagaimana al-Ghazali meninggalkan warisan berbagai karya tulis seperti, misalnya kitab Ihya Ulum al-Din, Jayabaya pun meninggalkan sebuah karya tulis, yaitu buku “Jangka Jayabaya”.

Pada paragraf berikutnya, Madjid melanjutkan ilustrasinya dengan rangkaian kalimat yang tidak kalah menarik:

Tanpa bermaksud mengurangi nilai warisan nenek moyang sendiri, namun jelas, dari sudut penilaian yang tidak apriori memihak, terdapat perbedaan kualitatif antara isi karya warisan kedua tokoh itu. Yang pertama, al-Ghazali mewariskan suatu karaya yang bersifat polemis; sedangkan yang kedua, Jayabaya mewariskan suatu karya yang oleh banyak orang, lebih-lebih di zaman modern ini, dipandang sebagai hasil sebuah kreativitas imaginatif, jika bukan khayalan dan reka-reka belaka.

Kontras antara tradisi yang diwariskan oleh al-Ghazali dengan tradisi yang diwariskan oleh Jayabaya yang berpengaruh terhadap tradisi intelektual umat Islam di Indonesia, dalam pandangan Madjid ada kaitannya dengan sejarah Islamisasi di Indonesia yang relatif lebih baru. Kita kutip kembali pernyataan Madjid:
Sebagai umat Islam yang relatif muda itu, maka kaum Muslim Indonesia hanya memiliki tradisi intelektual dari isi kepustakaan kita. Sementara itu, di anak benua Indo-Pakistan, misalnya, disebabkan oleh pengalaman mereka memiliki sejarah keislaman yang panjang dengan kekuasaan politik Islam yang menjadi masa lampau gemilang anak benua itu, kita dapati kepustakaan mereka penuh dengan warisan karya-karya klasiknya oleh anak negeri sendiri, yang memperoleh pengakuan dunia. Dan karena adanya beberapa kesenjangan kultural antara kaum Muslim Indonesia dengan dunia Islam pada umumnya, seperti kesenjangan kebahasaan (tidak cukup banyak orang Muslim Indonesia yang mengetahui bahasa Arab, apalagi Parsia, misalnya), maka tradisi intelektual yang terjadi di luar hanya sedikit saja, jika memang terjadi, mempunyai gaung di Tanah Air. Dengan mengesampingkan sejumlah kecil tokoh perkecualian seperti Hamzah Fansuri, Nurudin Raniri, Syeikh Nawawi Bantani, Kyai Ihsan Muhammad Dahlan Kediri dan Hamka, maka kita dapat mengatakan bahwa pada umumnya tradisi intelektual Islam masih menghasilkan karya-karya yang terbatas pada hal-hal elementer, bukan pemikiran dan perenungan mendalam.
Kendati dari sisi tradisi intelektual belum bisa dikatakan maju, tidak berarti Islam di Indonesia tidak mengalamai dinamika. Dan tidak bisa dipungkiri, Madjid sendiri, merupakan salah seorang tokoh penting yang patut diberi apresiasi berkat kegigihannya dalam merintis dinamika Islam di Indonesia dari sisi intelektual. Pada 3 Januari 1970, misalnya, di hadapan keluarga besar empat organisasi kepemudaan Islam, Persami, HMI, GPI, dan PII, Madjid menyampaikan pidato yang kelak menyulut kontroversi, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sengaja Madjid mengambil topik tersebut dengan maksud menemukan kembali apa yang disebut dengan psychological striking force dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Bagi Madjid, pembaruan pemikiran Islam merupakan sebuah imperatif kendati di sisi lain berpotensi menimbulkan ancaman terhadap integrasi umat Islam. Demikianlah setelah pidato tesebut, Madjid disebut sebagai lokomotif pembaruan Islam di era kontemporer. [6]
Demikian dinamika perkembangan budaya literasi di Indonesia melalui kiprah para pemikirnya. Namun apabila kita melihat realita kekinian dimana budaya literasi di bumi Indonesia masih lemah, hal ini menandakan bahwa keinginan untuk mewujudkan Good Citizen atau masyarakat madani melalui kecerdasan literasi hanya menjadi angan-angan belaka. Karena kelesuan intelektual menandakan demokratisasi di kalangan kita masih di bawah standar. Tentu hal ini menarik untuk dikaji lebih dalam, maka dari itu, penulis mencoba mengulas secara gamblang ihwal pembentukan Good Citizen melalui kecerdasan literasi.

III.             PEMBAHASAN
A.    Wahyu Pertama Islam Ihwal Perintah untuk Membaca
Sudah jamak diketahui bahwa firman Allah SWT. yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah  perintah untuk membaca yang tercantum dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Sudah barang tentu perintah membaca di sini mempunyai titik penekanan yang urgen agar umat manusia senantiasa untuk membaca. Membaca dalam dalam arti luas, yakni membaca ayat-ayat-Nya baik qauliyah maupun kauniyah.
Perintah iqra dalam surat al-‘Alaq terulang sebanyak dua kali. Menurut Imam al-Karmani, perintah iqra yang pertama adalah perintah untuk membaca al-Qur’an, sedangkan perintah iqra kedua adalah perintah untuk membaca semua buku-buku ilmu pengetahuan.[7] Kemudian muncul pertanyaan, mengapa perintah Allah yang pertama kali adalah untuk membaca? Tidak lain tidak bukan karena ia merupakan pintu awal kesuksesan seseorang dalam dunia intelektual.
Isi kelima ayat dari Surat al-‘Alaq sungguh memiliki substansi yang sangat transformatif. Ayat pertama yang berisi perintah untuk membaca, yang mewakili proses pendidikan dan pedagogik. Dengan membaca, manusia akan memperoleh pengetahuan dan pelbagai informasi yang dibutuhkan untuk refleksi sosial. Hal ini juga membantu untuk menyediakan pondasi yang kuat, pikiran yang aktif, dan sikap yang progresif.
Ayat yang ketiga yakni mengenai menulis dimana Allah telah mengkolerasikannya secara gamblang yaitu menulis dengan pena. Berangkat dari pemahaman umum kita, menulis adalah hal pokok untuk transformasi sosial. Melalui kegiatan menulis, sebagai warisan tertinggi dari etnis manusia yang diformulasikan dalam ilmu pengetahuan, yang selanjutnya akan disebarkan pada generasi mendatang dan lebih jauh akan dikembangkan sebagai konsumsi dan wacana lintas dunia. Contoh konkrit adalah al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an merupakan dokumentasi yang penting ihwal ilmu pengetahuan dan dapat dipakai oleh orang yang masih awam atau yang tidak memperhatikan budaya dan iman.
Ayat yang kelima adalah membicarakan ihwal pengetahuan. Manusia harus mengejar ilmu dalam naungan petunjuk Allah. Jadi, al-Qur’an yang berupa kalam Allah merupakan simbolisasi dari ilmu pengetahuan, maka dari itu Muslim harus mengaktualisasikaanya pada masyarakat. Ini adalah waktu yang tepat bagi manusia untuk menyerap spirit dari turunnya al-Qur’an untuk mencari transformasi sosial dan rekonstruksi untuk pengembangan masyarakat.
Manusia seharusnya diberi kuasa dan didorong untuk unggul dalam ranah pendidikan, literasi, kritik sosial, dan pedagogik publik. Tanpa kepemilikan kompetensi dalam ranah tersebut, suatu komunitas akan jatuh pada jebakan marginalisasi proses perkembangan globalisasi. Ini adalah fakta yang populis dimana budaya membaca di kalangan Muslim masih rendah, terlebih dalam ranah literasi kritis. Kegagalan untuk meminun budaya membaca akan mengantarkan Muslim pada isolasi arena informasi dan begitu juga penghalang-penghalang partisipasi di semua aspek. Pelbagai buku dan literatur yang tersedia bagi publik seharusnya juga bebas dari dominasi pandangan satu arah, khususnya apabila didominasi oleh golongan elit yang mempunyai kepentingan tetap pada area sosial maupun ekonomi. Kebebasan untuk menyebarkan pengetahuan diharapkan akan membangkitkan peningkatan standar moral dan intelektual di masyarakat.[8]
Dalam kajian filsafat diketahui bahwa manusia mempunyai dua kepribadian. Pertama, intelektual (‘aqilat), suatu kepribadian menalar, meneliti, mengkritik, membuat pemecahan-pemecahan, mengubah pendapat yang kemarin diyakininya, dan mengorek apa yang kemarin dibangunnya. Kedua, syari’at (hati nurani), kepribadian merasa, merasakan kebahagiaan, penderitaan, kegembiraan, kesedihan, keinginan, keterbatasan, ketakutan, dan keyakinan tanpa kritik.[9]
Berangkat dari pendekatan tersebut, sudah semestinya manusia mengembangkan dan mengasah potensi intelektualnya secara kontinyu. Karena potensi tak akan berguna dan berfungsi jika hanya didiamkan dan tidak diberdayakan. Sungguh mengembangkan potensi intelektual yang dikarunia oleh Tuhan merupakan bentuk rasa syukur manusia terhadap anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Pun banyak ulama-ulama Muslim yang mencapai puncak kesuksesan melalui magnum opus-nya yang masih terus menyejarah dan digunakan oleh generasi-genarasi sesudahnya hingga masa sekarang. Para ulama tersebut mengisi usianya dengan menorehkan banyak karya dan mengukir sejarahnya sendiri melalui budaya literasi. Tak tanggung-tanggung, bahkan hasil torehan tinta emasnya dapat melebihi usianya.
Syekh Ali Thantawi membaca 100-200 halaman setiap harinya. Bila kita kalkulasikan dengan umurnya yang hanya berumur 70 tahun. Beliau telah membaca sebanyak 5.040.000 halaman buku. Baik buku yang besar maupun kecil.[10] Kemudian ada lagi, Syekh Yusuf al-Qardhawi, siapa yang tak mengenal dengan ulama tenar dunia saat ini. Ya, nama beliau sudah dikenal sebagai ulama terkemuka dunia. Beliau adalah ulama terproduktif saat ini. Ratusan buku tentang fatwa-fatwa kontemporer telah beliau hasilkan.
Meskipun beliau sibuk dalam berdakwah ke berbagai negara, menjabat mufti agung di Qatar, namun beliau tetap produktif berkarya. Tercatat buku-buku beliau sudah beredar tidak kurang dari 100 judul dari 14 bidang pembahasan ilmu. Perlu diketahui juga bahwa beliau juga tidak pernah menyia-nyiakan waktunya hanya sekadar duduk menikmati perjalanan antara negara. Dalam satu kali penerbangan, beliau mampu menghasilkan satu judul buku. Sungguh luar biasa![11]
Apabila ditarik ke dalam ranah ke-PKN-an, hidupnya budaya literasi merupakan indikator dari bernyawanya demokratisasi di suatu negara, terlebih di negara kita yang menganut sistem demokrasi. Sudah barang tentu, budaya literasi ada kaitannya dengan kebebasan mengemukakan pendapat yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar pasal 28E ayat 3 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”[12] Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ini merupakan suatu bentuk sumbangsih yang dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia dalam memainkan perannya sebagai warga negara yang cinta dan bela Tanah Air.

B.     Pembentukan Good Citizen melalui Kecerdasan Literasi
Sebelum berbicara panjang lebar ihwal pembentukan Good Citizen melalui kecerdasan literasi. Adalah perlu untuk mengetahui dan memahami apa itu Good Citizen yang tercermin pada pembentukan Masyarakat Madani (Civil Society) dan bagaimana karakteristiknya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari Masyarakat Madani adalah masyarakat kota; masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, hukum yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban.[13]
Nilai, norma, hukum, dan iman adalah potensi-potensi psikologis yang inheren dalam setiap masyarakat dan relatif statis dibandingkan dengan ilmu, teknologi dan peradaban. Dengan kata lain, ‘bermadani’ selalu menyaratkan pemertahanan nilai-nilai tradisional dan pada waktu yang bersamaan disalinghadapkan dengan ilmu dan teknologi yang tak sabar untuk berlari tanpa henti. Berperadaban adalah proses belajar secara kolektif dan sepanjang sejarah sehingga mencapai derajat cultured, yakni masyarakat yang berpendidikan, yang indikatornya mencakup kemampuan membaca dan menulis. Dua kegiatan ini adalah media transformasi dari tahap ke tahap peradaban manusia sepanjang sejarah. Lewat kaji ulang tulis-menulis kita dapat mengungkap kesejarahan peradaban manusia.[14]
Literasi madani merupakan niscaya untuk membangun Masyarakat Madani, yang merupakan ajang partisipasi warga negara sebagai bagian dari menghidupkan lahan demokrasi. Hal ini bisa diwujudkan melalui aktivitas warga yang dapat berpikir kritis dengan membaca keadaan (baca: analisis) ihwal dinamika problematika bangsa dan negara yang tiada habisnya kemudian menuangkannya pada hasil konkrit kecerdasan literasinya berupa artikel, opini, kolom, memo, buletin, surat pengaduan dan lain sebagainya.
Menilik realita budaya literasi konteks keindonesiaan yang masih tertinggal dengan negara-negara lain di belahan bumi ini, maka salah satu cara untuk membangkitakan budaya literasi adalah melalui pengubahan mind-set anak bangsa melalui pendidikan. Karena problematika kelesuan intelektual ini menyangkut salah satu masalah pendidikan yang tak pernah selesai (unfinished agenda). Melalui pendidikan siswa dapat dilatih untuk mengembangkan nalar kritis terhadap fenomena alam yang terjadi di sekitarnya, di dalam kelas maupun di luar kelas, bukan hanya mengedepankan hafalan materi pelajaran tetapi juga menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran.
 Sebagaimana yang dikatakan oleh Bill Beattie: “ The aim of education should be to teach us rather how to think, than what to think rather to improve our minds, so as to enable us to think for ourselves, than to load the memory with thoughts of other men”.[15]
Pengembangan nalar kritis pada anak didik, yang ianya termanifestasi melalui budaya literasi, merupakan tugas para pendidik jabatan (guru) untuk menumbuhkan, melakukan pembiasaan, dan senantiasa memberikan motivasi terhadap anak didik, baik motivasi ektrinsik berupa reward maupun motivasi instrinsik dimana ditandai dengan terciptanya mind-set peserta didik akan pentingnya budaya literasi bagi kehidupan dalam jangka panjang.

C.    Realita Budaya Literasi di Jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi
Dari sekian banyak persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini, yang paling menonjol adalah isu maraknya korupsi rendahnya literasi, lemahnya daya saing, dan rusaknya manajemen layanan publik. Berbagai pengamat sosial asing menengarai situasi ini sebagai akibat dari sistem pendidikan dan politik kebudayaan Orde Baru yang telah menciptakan iklim budaya anti-intelektual. Dari telaahnya terhadap buku-buku teks IPS tingkat SD sampai dengan SMU, Niels Mulder dalam Indonesian Images: The Culture of the Public World (2000) secara kritis menyatakan sebagai berikut:
...intellectuals are new to Indonesia, that there is hardly a tradition of critical thought, that is all just in the making. Besides, the development of a critical discourse is thwarted by censorship, ideological manipulation, and mediocre academic standards… and so ideological hegemony, conceptual confusion and ethical inclination combine in a distinctly anti-intellectual cultural climate (2000: 108).
Dengan demikian, buku-buku teks IPS khususnya selama rezim Orba berperan bukan sebagai media pencerdasan bangsa, melainkan sebagai media propaganda politik yang dikemas dalam materi ajar. Dengan kata lain, buku teks adalah cerminan wacana publik, yakni bagaimana publik direkayasa oleh negara untuk berpikir, bersikap, dan bertindak dalam merespon berbagai isu sosial.  Selama kurang lebih 30 tahun informasi dalam buku teks tersebut telah dijejalkan kepada sekian juta anak bangsa, sehingga memunculkan sebuah generasi lembek yang kurang tajam nalarnya, yang dalam istilah Mulder disebut “born to be meek” (2000: 221). Bila lulusan pendidikan dasar dan menengah lemah, maka input PT pun pasti tidak unggul, jauh tertinggal, misalnya, oleh generasi 1928. Tidaklah mengherankan jika Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamim mengakui hanya 40 % saja dari sekitar 4 juta PNS di Indonesia yang profesional, produktif, berkualitas (Pikiran Rakyat, 25-09-2002).[16]
Lemahnya daya kritis-kreatif (maha) siswa Indonesia selama ini terpulang kepada dua hal, yakni kultur tradisional dan sistem serta praktik pendidikan. Mayoritas responden (mahasiswa Indonesia di AS) menyatakan bahwa pendidikan yang diperolehnya di Indonesia tidak membekali mereka kemampuan berpikir kritis dan menyadari bahwa menulis akademik dan presentasi di depan kelas merupakan tugas akademik yang paling sulit bagi mereka. Kesulitan serupa dialami juga oleh mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia. Di Australia mereka merasa beruntung dilatih mengembangkan kemampuan berpikir kritis ketika membaca teks-sesuatu yang tidak diajarkan di Indonesia. Survei lain (Alwasilah: 2004) dengan responden mahasiswa S2 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI mengungkap sejumlah temuan sebagai berikut. Siswa SD sampai SMU bahkan mahasiswa S1 di Indonesia kurang kritis karena tiga hal: pengaruh budaya tradisional, guru dan dosen tidak tahu cara mengajarkan berpikir kritis, dan rendahnya kualitas dosen dan mahasiswa. Bahkan secara keseluruhan masyarakat Indonesia dinilai kurang kritis karena tiga hal: warisan budaya tradisional, rendahnya kadar demokrasi dalam pemerintahan Indonesia, dan rendahnya populasi yang berpendidikan.[17]
Demikian potret kelesuan berpikir kritis anak bangsa Indonesia, sebagai dampak yang berkepanjangan atas pengebirian intelektual di masa Orde Baru yang mengakibatkan bungkamnya anak bangsa yang diwujudkan dengan berpikir kritis dan ketajaman nalar sebagai respon ihwal isu-isu dan problematiaka sosial. Hal ini diperparah dengan terjangkitinya bangsa Indonesia mental colonization sebagai efek negatif dari terjajahnya bangsa Indonesia selama 3,5 abad oleh Belanda. Hal ini menimbulkan minimnya rasa percaya diri untuk tampil beda, kebanyakan tatanan kehidupan bangsa ini cenderung hanya lebih mengikuti apa yang diwariskan oleh para pendahulu dan terkesan pesimis hingga berjalan di tempat. Ditambah lagi budaya pakewuh dalam tradisi Jawa yang membuat mental berpikir kritis sulit untuk dikembangkan.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Dr. Frans Tshai, seorang warga Indonesia yang begitu gigih membela nilai-nilai Indonesia, meski ia memiliki pengalaman yang kaya ketika belajar lama di luar negeri, beliau berujar: “Sistem pendidikan kita menganut sistem bebek dan ngamuk”. Akibatnya, tak ada nilai kompetisi di dalamnya dan lebih banyak berekor seperti kasta bebek (bandwagon effect) kata Presiden Soekarno.[18]

D.    Urgensi Pendidikan Kritis Guna Membangun Kecerdasan Literasi
Sejak dahulu manusia telah dideskripsi sebagai hewan berpikir. Kemampuan berpikir kritis (KBK) inilah yang membedakannya dengan makhluk lain. Tidak mengherankan jika Rene Descartes (1596-1650) dari kesangsiannya terhadap segala kebenaran itu memunculkan diktum yang terkenal, “cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada. Persoalannya, apakah berpikir itu menjadi itu menjadi kualitas yang inheren pada setiap manusia atau lebih sebagai kualitas yang diperoleh lewat upaya tersengaja. Tampaknya, yang disebut terakhirlah yang mendekati kebenaran. Buktinya, tujuan pendidikan telah mengeksplisitkan pentingnya kualitas kecerdasan, sebagaimana tertuang dalam Bab II, Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
            Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
            Artinya sistem Pendidikan Nasional dinawaitukan untuk mengembangkan potensi kecerdasan bangsa, dan tanpa pendidikan potensi itu tidak mungkin berkembang secara maksimal. Ini pun berarti bahwa tingkat kecerdasan seseorang, masyarakat, dan bangsa akan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam kutipan di atas ada tiga kunci yang akan banyak disebut dalam perbincangan pendidikan berpikir kritis, yaitu “kecerdasan”, “kreatif”, dan “demokratis”.[19]
            Untuk sukses membentuk generasi yang mempunyai nalar kritis yang tinggi di sekolah, ada baiknya budaya berpikir kritis ini dimulai dari lingkup keluarga. Dimana orang tua sebagai pendidik kodrati si anak, baiknya membiasakan reading-habit dengan menyediakan home-library bagi anak. Mau tidak mau, reading-habit mesti dimulai dari lingkungan keluarga sebelum si anak memasuki wilayah di dunia luar rumah. Namun tak sampai di situ saja, orang tua juga sebaiknya menjadi teladan bagi si anak untuk mencintai budaya membaca.

E.     Mengembangkan Dasar-Dasar Literasi Melalui Pendidikan
Pendidikan dibangun diniati untuk mengubah bangunan pemikiran anak bangsa. Dan media yang berperan sebagai dasar untuk merealisasikan tujuan pendidikan adalah kurikulum pendidikan itu sendiri. namun yang salah dipahami atau banyak dilupakan adalah bagaimana mengubah mind-set pendidik terlebih dahulu sebelum mengajarkan peserta didik untuk mengubah mind-set-nya. Adalah nonsense apabila kurikulum berganti berkali-kali, namun mind-set pengajar begitu melulu. Begitu kompleknya jika kita membahas ihwal pendidikan, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan hal yang tidak dapat terpisah dengan kehidupan anak Adam, karena pendidikan merupakan tombak pengubah manusia menjadi manusia yang lebih baik, yakni menjadi manusia yang paripurna.
Kembali pada pembentukan sikap kritis melalui kegiatan literasi, pertanyaan yang selanjutnya mencuat ke permukaan adalah bagaimana kurikulum beraksi untuk menghidupkan budaya literasi di kalangan peserta didik?
Solusi yang dapat penulis tawarkan adalah bagaimana mengembangkan sikap kritis melalui kecerdasan literasi yang dikemas melalui penggabungan teori konstruktivis dan pendidikan karakter yang sarat akan nilai-nilai Islam. Penulis meyakini bahwa semua teori pendidikan mempunyai kelebihan dan di satu sisi terdapat kekurangan di sana sini.  Satu dari sekian teori yang sangat berpengaruh pada kurikulum pendidikan adalah teori konstruksivis, teori ini berakar pada sebilangan disiplin seperti linguistik, psikologi, sejarah, sains, sosiologi dan filsafat. Pendidikan dalam paradigma ini lebih berfokus pada proses pemahaman dibandingkan fokus pada materi ajar.
Ada lima dalil konstruktivis seperti digagas Brooks dan Brooks dalam The Case for Constructivist Classsroom (1999) sebagai berikut:
1)      Guru mencari dan menghargai pandangan siswa yang berbagai-bagai. Siswa dirangsang untuk berani bahkan ‘nekad’ berbeda pendapat dengan siswa dan bahkan dengan guru sekalipun. Perbedaan justru anugerah kurikular demi pencerdasan dan kepekaan sosial. Berdasar perbedaan inilah pelajaran berikutnya dibangun. Tes objektif dengan demikian membanting pintu kebebasan untuk berbeda pendapat.
2)      Kegiatan kelas dicetak biru untuk menantang segala pra-anggapan siswa. Segala siswa, apapun latar belakangnya, hadir di kelas dengan pengalaman hidup yang membangun pra-anggapan dan mungkin keyakinannya ihwal kebenaran.
3)      Guru sengaja membuat topik atau masalah menjadi relevan. Keterkaitan, kebermaknaan, dan keberminatan tidak ada otomatis ada pada setiap materi, tetapi muncul dari siswa. Siswa adalah pemeran utama, sedang guru hanya membangun suasana kelas agar siswa menemukan sendiri relevansi, makna, dan minat pada setiap sajian materi ajar. Belajar bukanlah menemukan banyak hal melainkan menafsirkan fenomena melalui skema dan struktur yang berbagai-bagai.
4)      Guru membangun pelajaran dengan merujuk pada tema pokok. Seringkali kurikulum menyajikan materi bagian per bagian secara terpisah tanpa merujuk pada tema pokok tadi. Guru pengikut madzhab rekonstruktivis berupaya memberdayakan siswa untuk ‘meronta-ronta’ memahami tema pokok tadi, dan secara bertahap dengan bantuan guru memahami hal-hal atau bagian-bagian kecil.
5)      Penilaian bukanlah hal yang luar biasa, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan kelas sehari-hari. Selama ini penilaian dengan istilah evaluasi, tes, ulangan, atau ujian berkesan seram dan mengerikan bagi siswa. Guru pun merasa diri seolah hakim agung yang menetukan vonis salah atau benar. Dalam paradigma konstruktivis, guru harus mengubah citra tes sebagai peristiwa yang menegangkan menjadi rutinitas keseharian yang biasa-biasa saja.[20]
Penulis meyakini bahwa setiap teori pendidikan sudah pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan, tak ada salahnya apabila kita memilih dan memilah teori pendidikan Barat yang notabennya berpaham sekular. Tentu tak sepenuhnya berkiblat pada teori konstruktivis di atas, tapi juga mengedepankan pendidikan yang berbasis karakter. Satu titik kelemahan sistem pendidikan Barat adalah metode pembelajaran yang digunakan adalah teaching center learning, dimana guru hanya sebagai fasilitator, di sini guru kurang mentransfer nilai-nilai pemandu kehidupan berkarakter, yang semestinya dibutuhkan oleh peserta didik agar mempunyai akhlak yang mulia.
Agar ideologi pendidikan Islam yang akan diformulasikan tidak terjebak pada kelemahan-kelemahan yang tidak semestinya, maka yang dijadikan paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu ajaran “Humanisme-Teosentris”. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan karena hakekatnya ajaran Islam (agama Fitrah) memang untuk kebutuhan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Akan tetapi martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia mampu mendekati Tuhan karena ia berasal dari Tuhan sebagai Zat Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi.[21]
Intinya, paradigma ideologi yang dikembangkan oleh Prof. Dr. H. Achmadi ini berpondasi pada aspek Tauhidi dan Insaniyah, dimana tujuan untuk pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik agar dapat berhubungan dengan Tuhannya dan di sisi lain dapat menjalin hubungan baik dengan sesama manusia. Perlu diketahu juga bahwa paradigma ideologi pendidikan ini secara normatif tidak akan mengalami perubahan, karena diyakini mengandung kebenaran yang mutlak dan universal. Namun, untuk menyesuaikan relevansinya dengan perkembangan zaman, maka perlu dilakukan sebuah interpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam paradigma tersebut dan reinterpretasi ihwal pemahaman masa lalu, sehingga menghasilkan formulasi strategi pendidikan yang transformatif.
Ideologi paradigma yang telah diulas sebelumnya yakni mengenai paradigma Humanisme-Teosentris yang dijadikan asumsi dasar pemikiran untuk merembug problematika yang muncul dalam ranah pendidikan. Mengingat Indonesia terdiri dari multi-agama, untuk menyiasatinya, dengan paradigma ini, Islam hendaknya menjadi garam yang mengasini semua agama agar nilai-nilai Islam dapat diserap oleh mereka. Walaupun Indonesia didominasi oleh masyarakat Muslim, tak berarti pemerintah dapat bebas dominan mencanangkan dan membuat sebuah kurikulum yang hanya berbasis agama Islam.
Tatkala kita merancang kurikulum pendidikan, yang terbayang dalam pikiran kita adalah apa indikator manusia yang baik itu. Berdasarkan semua agama, semua pandangan filsafat, semua orang, manusia yang baik itu ialah manusia yang:
1)      akhlaknya baik; akhlak yang baik itu haruslah akhlak yang berdasarkan iman yang kuat,
2)      memiliki pengetahuan yang benar, atau keterampilan kerja yang kompetitif,
3)      menghargai keindahan.
Tiga pilar inilah isi semua kurikulum: akhlak, ilmu atau keterampilan, seni. Akhlak (iman) menjadi core. Jika seseorang telah memiliki yang tiga itu, maka orang itu dijamin menjadi orang yang baik. Itulah kurikulum pendidikan baik dalam arti minimal maupun maksimal.[22]
Perdebatan yang mungkin belum dan tidak akan pernah berhenti di kalangan kita tentang seputar peranan pendidikan agama bagi pembentukan karakter. Negara kita berlandaskan Pancasila dimana sila pertama adalah menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Intinya adalah negara kita bukan atheis tapi negara yang religius yang menjadikan sila pertama dari Pancasila tersebut sebagai core/ inti dari keempat sila lainnya.
Mantan Presiden RI pertama, Soekarno, berulang-ulang menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building” (Sumahamijaya dkk. 2003:45). Hal ini diperkuat dengan pendapat Sumahamijaya itu sendiri yang mengatakan bahwa karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang, keropos sehingga tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, fundamen atau landasan dari pendidikan karakter itu tidak lain haruslah agama.[23]
Kembali lagi pada pembentukan budaya literasi melalui pendidikan. Perlu ditekankan kembali bahwa pendidik perlu menggabungkan antara teori konstruktivis yang mengharuskan peserta didik untuk berpikir kritis dan penanaman pendidikan karakter yang sarat akan nilai-nilai pemandu kehidupan agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa pendidikan betujuan untuk memenusiakan manusia (humanisering).
Yang paling berharga dalam proses belajar adalah pemberdayaan siswa untuk memaknai sendiri fenomena sosial (mulai dari dalam kelas sampai keluar kelas), misalnya melalui proses menulis, matematika berbasis problem, sains investigatif, dan studi sosial berdasarkan pengalaman. Tugas adalah menciptakan suasana belajar agar siswa merevisi kembali pemaknaan (pemahaman) itu dengan sejumlah teknik, seperti mengajukan kontradiksi, informasi baru, pertanyaan, atau saran penelitian. Intinya adalah menantang dan mempertanyakan kebenaran konsep sementara yang diyakini siswa.[24]
Ada sejumlah saran yang dapat ditempuh untuk menciptakan kondisi terbiasanya berpikir di lingkungan lembaga pendidikan, antara lain sebagai berikut:
v  Tersedianya materi baca ihwal berpikir dan pengajaran berpikir.
v  Adanya kajian interdisipliner ihwal berpikir kritis dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi.
v  Penyelenggaraan in-service training bagi guru, kepala sekolah, dan lain sebagainya dalam pengajaran berpikir kritis.
v  Pengembangan materi pengajaran berpikir melalui komputer dan audio-visual.
v  Penyelenggaraan seminar-seminar ihwal berpikir kritis.
v  Adanya clearing-house untuk mendesiminasikan penelitian dan informasi tentang berpikir kritis.
v  Adanya mata kuliah critical thinking pada program-program tertentu seperti pendidikan bahasa dan sastra.[25]
Sudah seyogyanya pendidikan dimulai dari pendidikan di dalam rumah. Hal ini berkenaan dengan peran orang tua sebagai pendidik kodrati anak. Artinya, bagaimanapun keadaannya orang tua harus menempatkan posisinya sebagai pendidik pertama dan utama. Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua dari anak yang dilahirkan. Pun dalam hal menanamkan budaya literasi, selain menfasilitasi anak berupa penyediaan home-library, orang tua juga sebaiknya memberi contoh untuk membudayakan gemar membaca di rumah.
Sehubungan dengan tugas serta tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam rumah tangga. Pengetahuan ini sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun, rambu-rambu bagi orang tua dalam menjalankan tugasnya. Tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya, yaitu jasmani, akal, dan ruhani. Tujuan lain adalah membantu sekolah atau lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak didiknya.[26]
Melalui pembiasaan ihwal budaya literasi yang dimulai dari pendidikan, terutama di lingkungan keluarga, diharapkan anak bangsa dapat memainkan peran aktifnya sebagai Good and Smart Citizen untuk merenungi berbagai fenomena bangsa kemudian menyuguhkannya solusi-solusi alternatif untuk mengatasi problematika yang tiada hentinya bermunculan melalui kontribusinya berupa output literasi yakni artikel, opini, kolom, wacana, surat pengaduan, dan lain sebagainya. Hidupnya budaya literasi menunjukkan bahwa demokratisasi benar-benar mengudara dan dampak positif dalam jangka panjang ialah terpelihara dan terekamnya jejak sejarah bangsa sebagai salah satu kekayaan warisan peradaban.

IV.             KESIMPULAN
Sudah jamak diketahui bahwa wahyu pertama (Surat al-‘Alaq: 1-5) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah mengenai perintah membaca. Bukan hanya sebatas membaca dalam arti yang sebenarnya (kegiatan membaca teks), namun juga membaca ayat-ayat kauniyah-Nya. Pun banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menghendaki agar Muslim menggunakan potensi yang diberikan oleh Sang Khalik berupa akal untuk membaca (baca: analisis) fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta dan kehidupan manusia itu sendiri.
Pembentukan Good and Smart Citizen melalui kecerdasan literasi merupakan hal yang tak bisa dipungkiri ditengah persaingan global yang semakin menggila ini. Karena melalui budaya literasi, masyarakat akan dapat memberikan sumbangsihnya terhadap keeksistensian demokratisasi dalam suatu negara, terutama di Indonesia. Namun ironisnya, budaya literasi di Indonesia tak sesubur budaya literasi di negara-negara tetangga. Lemahnya budaya literasi ini menunjukkan bahwa nalar kritis dan demokratisasi di Indonesia masih lemah. Ya, Indonesia mengalami kelesuan intelektual. Sebab-musabab dari lemahnya budaya kritis ini adalah karena pendidikan di Indonesia tidak menuntut atau membiasakan siswanya untuk berpikir kritis. Hal ini juga disebabkan karena warisan budaya tradisional, rendahnya kadar demokrasi di Indonesia dan rendahnya kualitas populasi manusia Indonesia yang berpendidikan.
Untuk mengatasi problematika ini, lembaga yang pertama dibidik untuk mengembangkan nalar kritis anak bangsa adalah melalui pendidikan yang berbasis karakter yang berwawasan dan mempunyai daya intelektual yang tajam. Ideologi Humanisme-Teosentris pun menjadi sebuah paradigma untuk merembug problematika pendidikan yang silih berganti muncul. Penulis juga menawarkan sebuah penggabungan teori konstruktivis dengan pengemasan pendidikan yang berbasis karakter yang mempunyai ruh islami. Hemat penulis, melalui kurikulum pendidikan yang mengedepankan karakter juga daya nalar kritis, diharapkan outcome (lulusan) lembaga pendidikan dapat menjadi generasi kritis dan dapat memainkan perannya sebagai warga negara yang aktif yang kemudian menjadi Good Citizen melalui hidupnya budaya literasi. Tentu tidak menafikan peranan orang tua sebagai pendidik kodrati anak, untuk membiasakan budaya membaca di rumah sebelum memasuki wilayah di luar rumah.









DAFTAR PUSTAKA

________Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2009. Surakarta: CV. ITA
Achmadi. 2008. Ideologi Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alim, Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Alwasilah, A Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Arifin, Syamsul. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer. Malang: UMM Press
Armstrong, Coleen. 2012. The Truth About Teaching. Amerika: Jossey Bass
El-Banjary, Miftahur Rahman. 2011. Dahsyatnya Potensi Ahsanu Taqwim. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Gong, Gola. 2006. Menggenggam Dunia; Bukuku Hatiku. Bandung: DAR! Mizan
Kamah, Iwan Satyanegara, et.all. 2013. Frans Tshai: Quo Vadis Indonesia?. Yogyakarta: Bahari Press
Majid, Abdul, et.all., 2012. Pendidikan Karakter Perpektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Rozak, Abdul, et.all. 2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tafsir, Ahmad. 2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Taib, Mohamed Irwan. Read, Write, and Pursue Knowledge: Transformative Reflections from Surat Al-Alaq.pdf
Tim Penyusun Kamus Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


[1] A Chaedar Alwasilah. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2010). Cet. Kedua. Hlm. 16
[2] Gola Gong. Menggenggam Dunia; Bukuku Hatiku. (Bandung: DAR! Mizan. 2006). Cetakan pertama. Hlm. 33
[3] Miftahur Rahman el-Banjary. Dahsyatnya Potensi Ahsanu Taqwim. (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2011) Hlm. 69
[4] Gola Gong. Op. Cit.,  Hlm. 62
[5] Abdul Rozak, et.all., Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah. 2007). Hlm. 303
[6] Syamsul Arifin. Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-Isu Kontemporer. (Malang: UMM Press. 2009). Cet. Ke-1. Hlm. 129-131
[7] Miftahur Rahman el-Banjary. Op.Cit., Hlm. 67
[8] Mohamed Irwan Taib. Read, Write, and Pursue Knowledge: Transformative Reflections from Surat Al-Alaq. Pdf. Hlm. 2-3
[9] Muhammad Alim. Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2006) Cetakan  ke-1. Hlm. 225
[10] Miftahur Rahman el-Banjary. Op.Cit., Hlm. 41
[11] Ibid., Hlm. 42
[12] _______Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.(Surakarta: CV. Ita Surakara. 2009) Hlm. 20
[13] Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka. 2005). Cet. Ketiga. Hlm. 721
[14] A Chaedar Alwasilah. Op.Cit., Hlm. 74
[15] Coleen Armstrong. The Truth About Teaching. (Amerika: Jossey Bass.) Cetakan pertama. Hlm. 132
[16] A Chaedar Alwasilah. Op. Cit., Hlm. 173-174
[17] Ibid., Hlm. 145
[18] Iwan Satyanegara Kamah, et.all. Frans Tshai: Quo Vadis Indonesia?. (Yogyakarta: Bahari Press. 2013). Cet. Ke-1. Hlm. 23
[19] A Chaedar Alwasilah. Op. Cit., Hlm. 140-141
[20] Ibid., Hlm. 117-118
[21] Achmadi. Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008) Cetakan ke-2. Hlm. 11
[22] Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2008). Cetakan ke-3. Hlm. 101
[23] Abdul Majid, dkk. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2012). Cetakan Kedua. Hlm. 61
[24] A Chaedar Alwasilah. Op.Cit., Hlm. 171
[25] Ibid., Hlm. 177-178
[26] Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Islam. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.2012). Cetakan pertama. Hlm. 240

0 komentar:

Posting Komentar