Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (7)



Sebuah Refleksi: Allah sebagai Awal Berpijak juga Akhir Bermuara

Hari belum begitu terlihat terang paripurna, matahari masih beristirahat di penjuru timur. Di sebuah masjid kampus terdengar lantunan pembacaan Asmaul Husna setiap pagi usai sholat subuh berjamah. Mengutip pernyataan Pak Ubaidillah Ahmad: “Jadikan Asmaul Husna sebagai instrumen hidup.” Dari pembacaan 99 nama Allah tersebut, ada hakikatnya core kehidupan manusia terletak pada lafadz Basmalah. Dimana Allah sebagai peraduan, tempat berangkat juga  muara berpulang. Apabila mind-set seperti ini telah terinternalisasi dalam jiwa, maka manusia akan mencapai ketergantungan yang totalitas terhadap Tuhan Yang Esa.
 Semakin tunduk pada Gusti Allah, maka semakin kuat pula ikatan rasa manusia dengan Penciptanya. Sifat tanah liat yang tunduk dan pasrah, demikian pendapat Ibnu al-‘Arabi. Jika manusia mempunyai sifat api layaknya iblis yang sombong, maka kesombongan itu sangat dapat dirasakan secara dzahir maupun batin oleh orang lain. Sifat api yang berseberangan dengan tanah. Melawan vs tunduk. Entah dibenci, dicampakkan, ditekan, ditindas sampai dibanting oleh situasi yang paling sulit sekali pun apabila jiwa telah memutuskan mutlak berpasrah  pada Yang Di Atas, maka jiwa akan tetap seimbang selayaknya sedang tak dirundung persoalan-persoalan hidup apapun.
Pun kehadiran Allah bisa dirasakan ketika kita membaca firman-Nya. Membaca dalam penghayatan dan peresapan sedalam-dalamnya. Sebuah pola yang jika diulang-ulang akan memberikan ketenangan hidup yang luar biasa nikmat. Awalnya terpaksa lambat laun, jika metode pendekatan pada Ilahi ini diterapkan selama 21 hari, maka hal itu akan menjadi kebiasaan, tradisi, lalu menjadi karakter yang kokoh.

Gerak Makhluk: Manifestasi Gerak Rahmani Allah
Segala gerakan makhluk Allah, teristimewa manusia, adalah bentuk dzahir kasih sayang Allah. Seluruh gerak kita adalah gerak rahmani Allah. Lalu bagaimana kita merasakan gerak rahmani Allah? Pada saat terbaring di rumah sakit, maka akan banyak keluarga, karib kerabat, atau teman sejawat yang membesuk. Nah, orang-orang yang menjenguk kita yang sakit inilah sebagai bentuk dzahir kesugihan  welas asih Allah.
Yang perlu dicetak tebal bahwa Allah dan makhluk itu berbeda. Alam makhluqot dan Khaliq berbeda. Allah berada di alam Khaliq yang tak terbatas ruang dan waktu, sementara makhluk menempati ruang dan waktu yang terbatas, manusia yang ketika masih hidup berada dalam alam makhluqot.
Dimensi manusia terdiri dari dua entitas, jiwa dan jasad. Orang  meninggal meninggalkan nama. Jasad menjadi unsur yang tak berarti karena ia keluar dari alam makhluqot. Ruhnya tak lagi terdeteksi, karena sudah keluar dari alam jangkauan manusia. Jiwa butuh perkembangan, jasmani butuh pertumbuhan. Walhasil, konklusi terakhir adalah alam makhluqot dapat dirasakan dan disimpulkan sedangkan alam ghaib belum bisa dirasakan bagi kita yang masih diberi kesempatan bernafas di dunia. Wallahu ‘alam bisshowab.


0 komentar:

Posting Komentar