Sebuah
Refleksi: Allah sebagai Awal Berpijak juga Akhir Bermuara
Hari belum begitu
terlihat terang paripurna, matahari masih beristirahat di penjuru timur. Di
sebuah masjid kampus terdengar lantunan pembacaan Asmaul Husna setiap
pagi usai sholat subuh berjamah. Mengutip pernyataan Pak Ubaidillah Ahmad:
“Jadikan Asmaul Husna sebagai instrumen hidup.” Dari pembacaan 99 nama
Allah tersebut, ada hakikatnya core kehidupan manusia terletak pada
lafadz Basmalah. Dimana Allah sebagai peraduan, tempat
berangkat juga muara berpulang. Apabila mind-set seperti ini telah terinternalisasi dalam jiwa, maka manusia akan
mencapai ketergantungan yang totalitas terhadap Tuhan Yang Esa.
Semakin
tunduk pada Gusti Allah, maka semakin kuat pula ikatan rasa
manusia dengan Penciptanya. Sifat tanah liat yang tunduk dan pasrah, demikian
pendapat Ibnu al-‘Arabi. Jika manusia mempunyai sifat api layaknya iblis yang
sombong, maka kesombongan itu sangat dapat dirasakan secara dzahir maupun
batin oleh orang lain. Sifat api yang berseberangan dengan tanah. Melawan vs
tunduk. Entah dibenci, dicampakkan, ditekan, ditindas sampai dibanting oleh
situasi yang paling sulit sekali pun apabila jiwa telah memutuskan mutlak
berpasrah pada Yang Di Atas, maka jiwa
akan tetap seimbang selayaknya sedang tak dirundung persoalan-persoalan hidup
apapun.
Pun
kehadiran Allah bisa dirasakan ketika kita membaca firman-Nya. Membaca dalam
penghayatan dan peresapan sedalam-dalamnya. Sebuah pola yang jika diulang-ulang
akan memberikan ketenangan hidup yang luar biasa nikmat. Awalnya terpaksa
lambat laun, jika metode pendekatan pada Ilahi ini diterapkan selama 21 hari,
maka hal itu akan menjadi kebiasaan, tradisi, lalu menjadi karakter yang kokoh.
Gerak Makhluk:
Manifestasi Gerak Rahmani Allah
Segala
gerakan makhluk Allah, teristimewa manusia, adalah bentuk dzahir kasih
sayang Allah. Seluruh gerak kita adalah gerak rahmani Allah. Lalu bagaimana
kita merasakan gerak rahmani Allah? Pada saat terbaring di rumah sakit, maka akan
banyak keluarga, karib kerabat, atau teman sejawat yang membesuk. Nah, orang-orang
yang menjenguk kita yang sakit inilah sebagai bentuk dzahir kesugihan welas asih Allah.
Yang
perlu dicetak tebal bahwa Allah dan makhluk itu berbeda. Alam makhluqot dan
Khaliq berbeda. Allah berada di alam Khaliq yang tak terbatas
ruang dan waktu, sementara makhluk menempati ruang dan waktu yang terbatas, manusia
yang ketika masih hidup berada dalam alam makhluqot.
Dimensi
manusia terdiri dari dua entitas, jiwa dan jasad. Orang meninggal meninggalkan nama. Jasad menjadi
unsur yang tak berarti karena ia keluar dari alam makhluqot. Ruhnya tak
lagi terdeteksi, karena sudah keluar dari alam jangkauan manusia. Jiwa butuh
perkembangan, jasmani butuh pertumbuhan. Walhasil, konklusi terakhir
adalah alam makhluqot dapat dirasakan dan disimpulkan sedangkan alam ghaib
belum bisa dirasakan bagi kita yang masih diberi kesempatan bernafas di dunia. Wallahu
‘alam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar