Sai sebagai
Simbol Keseimbangan Jiwa
Siapa tak
kenal bukit Shofa dan Marwa. Dua bukit sebagai saksi bisu pencarian air zam-zam
oleh Siti Hajar untuk minum anaknya, Nabi Ismail. Kedua tempat itu bukan semata
nama tempat tanpa mengandung nilai yang filosofis, melainkan sebagai simbol
pencapaian keseimbangan jiwa manusia sebagaimana tergambar pada salah satu
implementasi praktik ritual ibadah haji maupun umrah yakni Sai.
Shofa itu jiwa
yang putih, bersih dan jernih Sedangkan arti Marwa adalah martabat yang ideal, insan
kamil. Shofa sebagai manifestasi dari sikap tawadlu’ manusia (posisi
terendah). Sedangkan Marwa sebagai makam tertinggi manusia (manusia yang
berkarakter). Guna membentuk keseimbangan jiwa, manusia musti mondar-mandir
secara berkala dari kedua tanda tersebut. Jika sudah mencapai Shofa maka
beranjaklah ke tingkat Marwa dan apabila sudah sampai Marwa maka berupayalah
untuk kembali lagi ke Shofa dan begitu pun seterusnya.
Apa perasaan
kita ketika melihat kawan sekelas terlalu ambisius dalam meraih prestasi
sedangkan di satu sisi kawan-kawan sekelas yang lain berkemampuan di bawah rata-rata?,
bisa dipastikan akan timbul semacam rasa jengkel pada orang tersebut. Bukan
jengkel karena semangatnya belajarnya, tapi karena sikapnya yang melulu berlari
kencang tanpa melihat dan memperlambat larinya (membantu kawan-kawan satu kelas
yang berkemampuan di bawah rata-rata). Sungguh sikap tersebut akan menimbulkan
sifat keakuan yang akut jika tak dibarengi dengan sikap rendah hati.
Manusia Hidup
dalam Opini
Mustahil Allah
akan mendzalimi hamba-Nya. Manusia sendirilah yang menciptakan penghayatan
dalam hidupnya. Opini personal manusialah yang menentukan hidupnya akan
berbahagia atau bersusah-susah. Maka dari itu, kerap terdengar ada orang cukup
kaya tapi masih merasa susah karena ia belum merasa cukup akan hartanya yang
dimiliknya. Sedangkan di sisi lain, cukup banyak keluarga yang tetap hidup
dalam kepapaan – meski telah berikhtiar untuk bekerja keras - namun merasa bahagia
lantaran sifat nrimo ing pandum-nya.
Kerelaan
adalah kunci menciptakan kebahagian. Menerima keadaan yang digariskan pada kita
adalah awal dari kebahagiaan. Sebagaimana salah satu syarat lahir keberhasilan
transaksi jual beli adalah adanya
keridhaan antara penjual dan pembeli. Sebagaimana pula kebahagiaan anak akan
paripurna jika kedua orang tua meridhai. Ridha yang mengundang ridha Allah.
Hemat penulis,
karena hidup manusia dibentuk oleh sebuah opini, maka beropinilah sebaik
mungkin (positive thinking) agar kebahagiaan hidup mudah tergapai. Mari berucap: “Tiada satu manusia pun yang
akan membuat hidup kita sengsara kecuali kita sendiri yang mengijinkannya.” Wallahu
a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar