Wahyu,
Nubuwwah, dan Akal sebagai Pra-syarat Berpikir Islam
Aksi berpikir seorang
Muslim dalam koridor dinul Islam mau tidak mau musti melewati 3
pertemuan yang konvergen, yakni Wahyu, Nubuwwah, dan Akal. Berpikir Islam bukanlah
berpikir selibat yang mengandalkan wahyu semata, namun juga bagaimana mengawal
peradaban atas dasar nilai-nilai nubuwwah serta mendayagunakan rasio secara
optimal. Islam bukan melulu terlihat di permukaan namun yang terpenting adalah
bagaimana nilai-nilai Islam terinternalisasi dalam kehidupan keberagamaan umat hingga
akhir hayat.
Menyoal ihwal
wahyu, menyoal pula tentang ajaran Islam dalam tataran normatif yang tak akan
mengalami perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Lain pula menyoal tentang
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan teks-teks suci yang akan senantiasa
mengalami dinamika dan kontekstualisasi. Aktivitas berpikir ini merupakan
bagian dari memahami firman Allah, karena para 25 Nabi dan Rasul, teristimewa
Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling loyal dan berintegritas dalam memahami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Allah, maka beruswah pada pada Nabi adalah
sebuah keharusan dan keniscayaan nurani karena segala tindak tanduk Rasulullah
adalah manifestasi dari al-Qur’an.
Ulama sebagai
Penerus Nilai-Nilai Nubuwwah
Sebagaimana
yang termaktub dalam firman Allah surat al-Anbiya’(21): 107), Nabi
Muhmmad SAW adalah utusan pembawa rahmat. Hal ini terlihat dari dhamir
kamu untuk Nabi Muhammad seorang, tanpa beliau maka tidak akan ada penjelas
rahmat bagi umat manusia. Karena Nabi Muhammad digariskan menjadi Nabi
terakhir, maka mustahil akan turun Nabi yang berikutnya. Kendati demikian, welas
asih Allah tetap menerangi kehidupan umat manusia. Gusti Allah mboten sare,
demikian kata orang Jawa, Allah tidak memperdiarkan nasib umat manusia setelah
ditinggal Nabi Muhammad dengan menghadirkan ulama-ulama sebagai perwaris
perjuangan Nabi dan penggema nilai-nilai nubuwwah.
Di belahan bumi
manapun, ulama senantiasa diunggulkan menjadi problem-solver problematika
umat. Para bestari yang memiliki rasa takut pada Maha Pencipta ini menjadi cahaya
bagi lingkungan sekitarnya karena luas dan dalamnya pengetahuan, di samping
luhur budi pekerti lantaran keseimbangan jiwanya.
Keseimbangan
Jiwa Melahirkan Kebahagian Hakiki
Kerap kali
kita dapati begitu banyak orang-orang yang ringan berdzikir begitu pula keadaan
sebaliknya. Keadaan yang senantiasa enteng berdzikir menyebut asma Allah
merupakan manifestasi dari keseimbangan jiwa seorang Muslim, terlebih seorang
cendekiawan Muslim terkait dengan aktivitas olah pikir. Sesibuk apapun ia
dengan urusan dunia, seberat apapun ujian demi ujian yang ditimpanya di dunia,
jika hidup berangkat dari keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Segalanya, Tuhan
yang memegang kendali kun-fayakun. Tuhan yang memungkinkan terwujud dan
terpenuhi segala apa terkira oleh manusia tak mungkin diwujudkan sekalipun.
Dalam menjalani
kehidupan, Islam dapat dipandang dari dua arah. Islam dalam ranah normatif sebagai
ajaran, dan Islam sebagai metode menjalani kehidupan beragama. Terkait dengan
aksi berpikir tadi, dengan berkiblat pada wahyu yang dihidupkan dengan
nila-nilai nubuwwah, disamping optimalisasi akal, maka aktivitas berpikir dalam
rangka memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam akan menuai
kebahagiaan ruhani yang tiada dapat tergantikan oleh seisi dunia sekalipun. Wallahu
a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar