Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (8)



Wahyu, Nubuwwah, dan Akal sebagai Pra-syarat Berpikir Islam
Aksi berpikir seorang Muslim dalam koridor dinul Islam mau tidak mau musti melewati 3 pertemuan yang konvergen, yakni Wahyu, Nubuwwah, dan Akal. Berpikir Islam bukanlah berpikir selibat yang mengandalkan wahyu semata, namun juga bagaimana mengawal peradaban atas dasar nilai-nilai nubuwwah serta mendayagunakan rasio secara optimal. Islam bukan melulu terlihat di permukaan namun yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai Islam terinternalisasi dalam kehidupan keberagamaan umat hingga akhir hayat.
Menyoal ihwal wahyu, menyoal pula tentang ajaran Islam dalam tataran normatif yang tak akan mengalami perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Lain pula menyoal tentang pemahaman, penghayatan, dan pengamalan teks-teks suci yang akan senantiasa mengalami dinamika dan kontekstualisasi. Aktivitas berpikir ini merupakan bagian dari memahami firman Allah, karena para 25 Nabi dan Rasul, teristimewa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang paling loyal dan berintegritas dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Allah, maka beruswah pada pada Nabi adalah sebuah keharusan dan keniscayaan nurani karena segala tindak tanduk Rasulullah adalah manifestasi dari al-Qur’an.
Ulama sebagai Penerus Nilai-Nilai Nubuwwah
Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah surat al-Anbiya’(21): 107), Nabi Muhmmad SAW adalah utusan pembawa rahmat. Hal ini terlihat dari dhamir kamu untuk Nabi Muhammad seorang, tanpa beliau maka tidak akan ada penjelas rahmat bagi umat manusia. Karena Nabi Muhammad digariskan menjadi Nabi terakhir, maka mustahil akan turun Nabi yang berikutnya. Kendati demikian, welas asih Allah tetap menerangi kehidupan umat manusia. Gusti Allah mboten sare, demikian kata orang Jawa, Allah tidak memperdiarkan nasib umat manusia setelah ditinggal Nabi Muhammad dengan menghadirkan ulama-ulama sebagai perwaris perjuangan Nabi dan penggema nilai-nilai nubuwwah.
Di belahan bumi manapun, ulama senantiasa diunggulkan menjadi problem-solver problematika umat. Para bestari yang memiliki rasa takut pada Maha Pencipta ini menjadi cahaya bagi lingkungan sekitarnya karena luas dan dalamnya pengetahuan, di samping luhur budi pekerti lantaran keseimbangan jiwanya.
Keseimbangan Jiwa Melahirkan Kebahagian Hakiki
Kerap kali kita dapati begitu banyak orang-orang yang ringan berdzikir begitu pula keadaan sebaliknya. Keadaan yang senantiasa enteng berdzikir menyebut asma Allah merupakan manifestasi dari keseimbangan jiwa seorang Muslim, terlebih seorang cendekiawan Muslim terkait dengan aktivitas olah pikir. Sesibuk apapun ia dengan urusan dunia, seberat apapun ujian demi ujian yang ditimpanya di dunia, jika hidup berangkat dari keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Segalanya, Tuhan yang memegang kendali kun-fayakun. Tuhan yang memungkinkan terwujud dan terpenuhi segala apa terkira oleh manusia tak mungkin diwujudkan sekalipun.
Dalam menjalani kehidupan, Islam dapat dipandang dari dua arah. Islam dalam ranah normatif sebagai ajaran, dan Islam sebagai metode menjalani kehidupan beragama. Terkait dengan aksi berpikir tadi, dengan berkiblat pada wahyu yang dihidupkan dengan nila-nilai nubuwwah, disamping optimalisasi akal, maka aktivitas berpikir dalam rangka memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam akan menuai kebahagiaan ruhani yang tiada dapat tergantikan oleh seisi dunia sekalipun. Wallahu a’lam bishshowab.


0 komentar:

Posting Komentar