Peleburan
Subjek dan Objek dalam Entitas Diri Manusia
Bagi
civitas akademik, penyajian makalah yang didalamya terdapat proses diskusi
interaktif merupakan makanan pokok sebagai penunjang dinamika intelektual. Tujuan
ideal sebuah diskusi akan tercapai manakala penyaji dapat menyampaikan
pemahaman akan materi dengan bahasanya sendiri, tanpa terpaku pada teks
makalah, pun diikuti oleh beragam feedback dari para audien. Kendati
demikian, tampaknya peribahasat tak ada gading yang tak retak senantiasa
melekat pada diri manusia sebagai entitas yang secara kodrati memiliki
kekurangan, di samping kelebihan.
Terkait
dengan kesiapan sebagai presentator, saya pernah merasa menguasai materi di
luar kepala - karena persiapan sebelumnya cukup matang berupa pengendapkan
pemahaman tanpa terpaku alur tulisan makalah hingga persiapan pertanyaan yang
kemungkianan muncul pada saat presentasi – tapi di waktu yang lain saya merasa begitu
gugup dan kewalahan ketika menyajikan makalah dan menjawab pertanyaan yang
terlontar dari penanya. Perbedaan kedua keadaan personal di atas setelah saya
pikir-pikir terletak pada asumsi kesatuan subjek-objek. Di saat saya mencari
jawaban atas pertanyaan yang terlontar dengan membuka literatur terlebih dahulu
justru di saat itu pula saya merasa sangat sempit dan terbelenggu. Alih-alih
bisa memahamkan penanya, justru saya sendiri yang mengalami kebingungan dengan
penjelasan berdasarkan teks. Lain halnya ketika saya lepas dari buku dalam
menjawab pertanyaan, saya mengalami keadaan nothing to loose, tanpa
beban. Kemudian saya dapati anggukan penanya sebagai tanda penjelasan yang saya
paparkan memahamkan.
Michaela
Özelsel,
seorang psikolog yang memublikasikan pengasingan diri-sufistiknya dalam buku 40
Hari Khalwat mengatakan bahwa kepuasaan dan rasa syukurnya setelah
berdzikir justru secara bertahap membuatnya frustasi. Rupanya di hari ke-6 khalwatnya
itu, ia masih memandang dzikir sebagai objek dan ia sendiri sebagai
subjek. Tepat di hari yang sama, pikirannya justru tercerabut dari dalam,
berpindah keluar, ia mulai memikirkan anak laki-lakinya. Di saat inilah, ia
merasa bahwa dzikir yang terbaca belum berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut
saya kondisi Michaela ini merupakan akibat dari asumsi pemisahan subjek dan
objek. Tidak adanya penyatuan antara dirinya dengan dzikir yang ia baca. Pantas
saja dalam tasawuf, seseorang tidak diperkenankan jatuh pada amal. Karena
kepuasan pada amal itulah yang membuat keterikatan dengan Allah tidak tercapai
secara paripurna. Beribadah bukan merupakan kebutuhan berkomunikasi dengan
Allah, melainkan sebatas pengguguran kewajiban semata. Nah, inilah yang
dinamakan tidak adanya peleburan antara subjek dan objek. Semuanya serba
terfragmentasi dan terdikotomi, bahkan bisa dikatakan setengah-setengah, tidak
totalitas.
Adapun
dampak dari memisahkan subjek-objek dalam rutunitas harian, terutama dalam
ritual beribadah akan berdampak tidak baik. Sebagaimana seorang Muslim yang
jatuh pada amal tadi – yang mengandalkan amal sebagai ukuran masuk surga - akan
gampang menganggap remeh orang yang tidak serajin dia dalam beramal. Hemat
penulis, alangkah baiknya jika manusia tak pernah memandang adanya dikotomi
antara subjek-objek, namun bagaimana caranya menyatukan dan mengendapkannya
dalam dasar jiwa hingga melahirkan perasaan jiwa yang bebas tanpa terbelenggu
oleh apa pun. Tentunya dalam konteks ini bebas terbatas yang berdasarkan wahyu
Allah. Wallahu a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar