Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (6)



Peleburan Subjek dan Objek dalam Entitas Diri Manusia

            Bagi civitas akademik, penyajian makalah yang didalamya terdapat proses diskusi interaktif merupakan makanan pokok sebagai penunjang dinamika intelektual. Tujuan ideal sebuah diskusi akan tercapai manakala penyaji dapat menyampaikan pemahaman akan materi dengan bahasanya sendiri, tanpa terpaku pada teks makalah, pun diikuti oleh beragam feedback dari para audien. Kendati demikian, tampaknya peribahasat tak ada gading yang tak retak senantiasa melekat pada diri manusia sebagai entitas yang secara kodrati memiliki kekurangan, di samping kelebihan.
            Terkait dengan kesiapan sebagai presentator, saya pernah merasa menguasai materi di luar kepala - karena persiapan sebelumnya cukup matang berupa pengendapkan pemahaman tanpa terpaku alur tulisan makalah hingga persiapan pertanyaan yang kemungkianan muncul pada saat presentasi – tapi di waktu yang lain saya merasa begitu gugup dan kewalahan ketika menyajikan makalah dan menjawab pertanyaan yang terlontar dari penanya. Perbedaan kedua keadaan personal di atas setelah saya pikir-pikir terletak pada asumsi kesatuan subjek-objek. Di saat saya mencari jawaban atas pertanyaan yang terlontar dengan membuka literatur terlebih dahulu justru di saat itu pula saya merasa sangat sempit dan terbelenggu. Alih-alih bisa memahamkan penanya, justru saya sendiri yang mengalami kebingungan dengan penjelasan berdasarkan teks. Lain halnya ketika saya lepas dari buku dalam menjawab pertanyaan, saya mengalami keadaan nothing to loose, tanpa beban. Kemudian saya dapati anggukan penanya sebagai tanda penjelasan yang saya paparkan memahamkan.
            Michaela Özelsel, seorang psikolog yang memublikasikan pengasingan diri-sufistiknya dalam buku 40 Hari Khalwat mengatakan bahwa kepuasaan dan rasa syukurnya setelah berdzikir justru secara bertahap membuatnya frustasi. Rupanya di hari ke-6 khalwatnya itu, ia masih memandang dzikir sebagai objek dan ia sendiri sebagai subjek. Tepat di hari yang sama, pikirannya justru tercerabut dari dalam, berpindah keluar, ia mulai memikirkan anak laki-lakinya. Di saat inilah, ia merasa bahwa dzikir yang terbaca belum berfungsi sebagaimana mestinya. Menurut saya kondisi Michaela ini merupakan akibat dari asumsi pemisahan subjek dan objek. Tidak adanya penyatuan antara dirinya dengan dzikir yang ia baca. Pantas saja dalam tasawuf, seseorang tidak diperkenankan jatuh pada amal. Karena kepuasan pada amal itulah yang membuat keterikatan dengan Allah tidak tercapai secara paripurna. Beribadah bukan merupakan kebutuhan berkomunikasi dengan Allah, melainkan sebatas pengguguran kewajiban semata. Nah, inilah yang dinamakan tidak adanya peleburan antara subjek dan objek. Semuanya serba terfragmentasi dan terdikotomi, bahkan bisa dikatakan setengah-setengah, tidak totalitas.
            Adapun dampak dari memisahkan subjek-objek dalam rutunitas harian, terutama dalam ritual beribadah akan berdampak tidak baik. Sebagaimana seorang Muslim yang jatuh pada amal tadi – yang mengandalkan amal sebagai ukuran masuk surga - akan gampang menganggap remeh orang yang tidak serajin dia dalam beramal. Hemat penulis, alangkah baiknya jika manusia tak pernah memandang adanya dikotomi antara subjek-objek, namun bagaimana caranya menyatukan dan mengendapkannya dalam dasar jiwa hingga melahirkan perasaan jiwa yang bebas tanpa terbelenggu oleh apa pun. Tentunya dalam konteks ini bebas terbatas yang berdasarkan wahyu Allah. Wallahu a’lam bishshowab.

0 komentar:

Posting Komentar