This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 13 Maret 2015

Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (4)




Wali
            Ada hal menarik ihwal pelabelan wali Allah oleh khalayak Timur Tengah dan penduduk pribumi. Apabila di Timur Tengah, ulama yang berkhalwat dan berdzikir di suatu tempat yang sunyi sudah bisa  disebut wali. Namun, pelabelan wali di Tanah Air dinahbiskan pada ulama yang telah beliau berhasil menjembatani antara tiga kepentingan yakni, kepentingan Allah, pemimpin, dan rakyat.
            Jelas sekali perbedaan kedua pelabelan di dua kawasan tersebut. Wali di kawasan Timur Tengah menampilkan sosok yang sholeh secara personal, sedangkan penyebutan wali di Indonesia, khususnya label yang digaungkan oleh orang-orang lingkungan pesantren pada sosok kyai atau ulama, musti benar-benar teruji lapangan, berintegritas, dan mengayomi masyarakat. Sosok wali, di tanah Jawa khususnya, menampilkan sosok yang seimbang dan selaras antara keshalehan personal dan sosial.
Sebut saja tokoh par-excellence almarhum Gus Dur yang popular di kalangan lintas-agama, dimana tidak hanya agama Islam saja yang ia besarkan namun juga agama lain. Lihat saja bagaimana perjuangan beliau membela kaum minoritas Kong Hu Cu sampai-sampai beliau dijuluki Bapak Tionghoa Indonesia oleh sejumlah Tokoh Tionghoa Semarang yang pada waktu itu berkumpul di Kelenteng Tay Kek Sie pada tanggal 10 Maret 2004.

            Konsistensi keberpihakan Gus Dur dalam membela kaum minoritas menuai banyak penghargaan dari berbagai negara. Di antaranya gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai perguruan tinggi seperti Doktor Kehormatan Bidang Hukum dan Politik,Ilmu Ekonomi dan Manajemen dan Humaniora dari Pantheon Universitas Sorbone (Paris Perancis 2000).
Hemat penulis adalah betapa penyebutan wali di tanahn Jawa bukan sekadar label yang mudah disematkan pada sembarang orang melainkan disematkan pada ulama yang benar-benar memegang teguh dan mengamalkan adagium berbahasa Arab: “Khoiru al-Naasi anfa’uhum li an-naas”. Sosok yang mampu menyeimbangkan antara keshalehan personal dan sosial. Seorang pemimpin yang beranggapan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Wallahu a’lam bishshowab.



Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (3)



Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi

            Jamak diketahui bahwa manusia merupakan entitas dwi-dimensi yang terdiri dari unsur jasmani dan unsur rohani. Pemilikan manusia atas unsur rohani membuat manusia dapat mengalami pelbagai peristiwa suprarasional seperti menerima ilham, melakukan perenungan abstrak, berintuisi, dan lain sebagainya.
            Keistimewaan inilah yang menjadikan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jalaluddin ar-Rumi bahwa manusia dipandang sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dari penciptaan alam semesta. Manusia yang paripurnalah yang menjadi tujuan akhir penciptaan, dimana manifestasi konkretnya terwakili oleh Nabi Muhammad SAW.
            Dikatakan oleh Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya “Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia” bahwa manusia yang berstatus sebagai khalifah-Nya dikarunia dengan dua buah hadiah yang sangat istimewa, “kebebasan” dan “ilmu pengetahuan”. Karena roh manusia memiliki sumber ruhani, maka ia tidak sepenuhnya tunduk pada hukum yang berlaku di alam fisik. Maka dari itu Allah memberikan manusia kebebasan terbatas untuk memilih perbuatannya secara sadar. Tak heran Allah tak menghukumi tindakan manusia yang didasari atas paksaan yang berasal dari luar dirinya, contoh Muslim yang terpaksa menyatakan murtad secara lisan namun hatinya masih iman pada Allah karena jika tidak demikian maka nyawanya akan terancam (dibunuh).
            Manusia berstatus khalifah yang terkenal tidak hanya di bumi melainkan juga di langit inilah yang mengemban amanat dan tugas untuk mendampingi manusia yang belum sempurna sisi kemanusiaannya, seperti pemimpin yang suka berbuat dzalim pada rakyatnya, pejabat yang semena-mena memakan uang rakyat, dan manusia-manusia yang pada dirinya masih melekat sifat-sifat binatang. Hal ini didukung oleh argumen Ibnu al-‘Arabi yang mengemukakan bahwa dalam diri manusia terdapat tabiat-tabiat alamiah seperti sifat-sifat binatang pemangsa, binatang buas, setan, dan sifat-sifat malaikat. Masing-masing potensi tersebut dapat terbentuk dengan cara yang berbeda-beda. Sebagai entitas yang diberi kebebasan untuk ber-ikhtiar dan diberi keleluasaan untuk mencari ilmu pengetahuan, manusia dapat mengubah nasibnya atas kehendak Allah, akan tetap pada takdir Allah yang semula atau berpindah ke takdir lain yang bisa jadi lebih baik. Wallahu a’lam bishshowab.


Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (2)



Raja’, Khouf, dan Mahabbah: Titik Temu Pemikiran Robiah al-‘Adawiyah dan Hasan al-Basri

Mengapa musti mengintegrasikan kedua pemikiran sufi tersebut? tidak lain tidak bukan karena kedua pemikiran tokoh tersebut mempunyai sisi kelemahan dalam membentuk sebuah keseimbangan jiwa, disamping kelebihan tentunya. Adapun pemikiran inti Robiah adalah menapaki hidup tanpa pamrih pada Tuhan. Terbukti jamak diketahui dari pelbagai literatur bahwa Robi’ah adalah seorang sufi yang tak mengharapkan surga maupun takut pada neraka dalam penghambaannya pada Sang Pencipta. Lain pula dengan pemikiran Hasan al-Bashri yang menjadikan rasa optimis sebagai instrumen menjalani kehidupan sekalipun dalam keadaan baik maupun buruk.
Dari grand-idea yang ditawarkan oleh masing-masing tokoh di atas maka terbentuklah sebuah formula pamungkas untuk membentuk sebuah keseimbangan jiwa. Formula yang terdiri dari raja’, khouf, dan mahabbah. Agar seimbang, hidup manusia musti berputar dalam lingkup raja’, khouf, dan mahabbah. Raja’ berarti pengharapan. Khouf berarti cemas-cemas harap. Mahabbah adalah kecintaan pada Allah. Dalam kaitannya menghamba dengan Allah, manusia musti hidup dalam keoptimisan karena dapat  merasakan ikatan harmoni rasa antara harap dan cemas dalam kecintaan yang paripurna pada Allah adalah kebahagian sejati.

Titik Kerendahan Derajat Manusia
Ketika manusia tak intens berputar dalam lingkup segitiga sama sisi antara raja’, khouf, dan mahabbah, sebenarnya ia masuk dalam kubangan hawa dan syahwat atau bisa jadi justru turun dalam posisi tabiat manusia yakni al-nafsu al-ammarah bi al-suui. Karena pada hakikatnya manusia berada dalam dua tempat tersebut, hawa dan syahwat. Keadaan nikmat baik dalam bentuk angan-angan maupun tindakan riil. Tak heran sepasang kekasih atau dua anak manusia yang ketika berjumpa akan asyik masyuk bercakap-cakap dalam waktu yang lama bahkan ingin bercakap-cakap lebih lama. Syahwat manusia yang tak akan pernah puas untuk dituruti. Semakin naik ke level atas, maka akan semakin tergoda pula untuk mencicipi level berikutnya. Boleh saja ber-hawa dan ber-syahwat ria, asalkan disalurkan dalam bentuk yang sesuai dengan syariat, misalnya dengan segera mengakhiri masa selibat dengan menikah dengan dalih takut terjerumus pada jurang kenistaan yaitu zina. Pada akhirnya, keseimbangan hidup akan tercapai manakala menggunakan instrument pembentuknya secara proporsional tanpa melebihkan yang lain. Wallahu a’lam bishshowab.



Refleksi Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam (1)



Sai sebagai Simbol Keseimbangan Jiwa
Siapa tak kenal bukit Shofa dan Marwa. Dua bukit sebagai saksi bisu pencarian air zam-zam oleh Siti Hajar untuk minum anaknya, Nabi Ismail. Kedua tempat itu bukan semata nama tempat tanpa mengandung nilai yang filosofis, melainkan sebagai simbol pencapaian keseimbangan jiwa manusia sebagaimana tergambar pada salah satu implementasi praktik ritual ibadah haji maupun umrah yakni Sai.
Shofa itu jiwa yang putih, bersih dan jernih Sedangkan arti Marwa adalah martabat yang ideal, insan kamil. Shofa sebagai manifestasi dari sikap tawadlu’ manusia (posisi terendah). Sedangkan Marwa sebagai makam tertinggi manusia (manusia yang berkarakter). Guna membentuk keseimbangan jiwa, manusia musti mondar-mandir secara berkala dari kedua tanda tersebut. Jika sudah mencapai Shofa maka beranjaklah ke tingkat Marwa dan apabila sudah sampai Marwa maka berupayalah untuk kembali lagi ke Shofa dan begitu pun seterusnya.
Apa perasaan kita ketika melihat kawan sekelas terlalu ambisius dalam meraih prestasi sedangkan di satu sisi kawan-kawan sekelas yang lain berkemampuan di bawah rata-rata?, bisa dipastikan akan timbul semacam rasa jengkel pada orang tersebut. Bukan jengkel karena semangatnya belajarnya, tapi karena sikapnya yang melulu berlari kencang tanpa melihat dan memperlambat larinya (membantu kawan-kawan satu kelas yang berkemampuan di bawah rata-rata). Sungguh sikap tersebut akan menimbulkan sifat keakuan yang akut jika tak dibarengi dengan sikap rendah hati.

Manusia Hidup dalam Opini
Mustahil Allah akan mendzalimi hamba-Nya. Manusia sendirilah yang menciptakan penghayatan dalam hidupnya. Opini personal manusialah yang menentukan hidupnya akan berbahagia atau bersusah-susah. Maka dari itu, kerap terdengar ada orang cukup kaya tapi masih merasa susah karena ia belum merasa cukup akan hartanya yang dimiliknya. Sedangkan di sisi lain, cukup banyak keluarga yang tetap hidup dalam kepapaan – meski telah berikhtiar untuk bekerja keras - namun merasa bahagia lantaran sifat nrimo ing pandum-nya.
Kerelaan adalah kunci menciptakan kebahagian. Menerima keadaan yang digariskan pada kita adalah awal dari kebahagiaan. Sebagaimana salah satu syarat lahir keberhasilan transaksi jual beli adalah  adanya keridhaan antara penjual dan pembeli. Sebagaimana pula kebahagiaan anak akan paripurna jika kedua orang tua meridhai. Ridha yang mengundang ridha Allah.
Hemat penulis, karena hidup manusia dibentuk oleh sebuah opini, maka beropinilah sebaik mungkin (positive thinking) agar kebahagiaan hidup mudah tergapai.  Mari berucap: “Tiada satu manusia pun yang akan membuat hidup kita sengsara kecuali kita sendiri yang mengijinkannya.” Wallahu a’lam bishshowab.

Kamis, 12 Februari 2015

Artikel



Rekonstruksi Ontologi Tradisi Intelektual Islam
oleh:  Nurul Hikmah Sofyan


            Tulisan ini berangkat dari kegelisahan dilematis penulis yang mengendap semenjak mengikuti salah satu mata kuliah di FITK UIN Walisongo Semarang. Ada semacam protes atas penyajian materi oleh salah seorang dosen yang justru hampir seluruh pembahasan mata kuliah agama diambil dari literatur berperspektif Barat. Sudah sewajarnya, mahasiswa yang dituntut dan dibekali daya intelektual-kritis setidaknya mempertanyakan ke mana pembahasan materi berperspektif Islam sehingga timbul akibat logis yakni disorientasi dilematis antara menerima materi kuliah berperspektif Barat atau menolaknya. Sejauh pemahaman mahasiswa di wilayah Islam sendiri, penolakan ini disebabkan oleh adanya beberapa titik pembahasan materi di luar Islam yang tidak sesuai dengan kondisi dan pemahaman internal tradisi intelektual Islam. Bukan semata sebagai bentuk apologi, namun lebih kepada kemestian menggali pemahaman Islam dari akar Islam sendiri.
            Disorientasi ini semakin menjadi-jadi dengan adanya bukti realita praksis ketika para sarjana Muslim yang dalam upayanya mengembangkan dan memecahkan masalah keilmuan menggunakan teori murni Barat sebagaimana hemat Sachiko Murata dalam karyanya, The Tao of Islam, dikatakan bahwa sejatinya teori Barat merupakan antipati terhadap tradisi intelektual Islam. Sachiko Murata memiliki sebuah keyakinan dalam mencermati realita ini sebagai ‘ketimpangan’ yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memahami prinsip-prinsip peradaban asing. Jika pendekatan dan solusi Barat lazim digunakan masyarakat Islam sementara teori murni Barat bersifat antipati terhadap teori murni Islam – misal, antipatinya terhadap prinsip-prinsip hubungan gender yang dibangun berdasarkan tradisi intelektual Islam (Islam tradisional) – hal ini sama artinya dengan mengatakan bahwa saran-saran Barat berkenaan dengan reformasi Islam akan melibatkan perubahan prinsip-prinsip yang mendasari terbentuknya Islam. Islam harus “dibawa masuk ke dalam abad kedua puluh.”
            Murata juga memaparkan titik kelemahan pemikiran Barat yakni berpikir either/or (satu dari dua hal). Senyatanya, orang-orang Barat telah terdidik sejak dini untuk berpikir dikotomis, ciri berpikir yang terkesan terkotakk-kotakkan dan memandang persoalan dari sudut pandang tunggal. Dalam konteks budaya misalnya, berdasarkan penuturan Clifford Geetz, tradisi Barat memiliki pandangan lumrah ihwal dikotomi besar dalam membedakan antara kesenian “tinggi” dan “rendah”. Oleh dari itu, ketika menelaah aspek-aspek estetik di sebuah masyarakat Asia, mereka pun mengambil salah satu versi dikotomi besar tersebut. Kadangkala dikotomi besar tersebut dilakukan atas alasan-alasan objektivitas dan ketepatan ilmiah yang dinyatakan dalam “Tradisi Besar” dan “Tradisi Kecil”.
            Karakteristik mainstream peradaban modern yang dapat kita saksikan saat ini ialah bahwa manusia satu dengan lainnya sebagai entitas ego yang saling berkompetisi, bukan saling belajar dan melengkapi. Ada semacam relasi subjek-objek yang memandang satu lebih superior di atas lain yang inferior. Satu hal yang menyebabkan stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan Islam adalah adanya pikiran dikotomis-disparatis, satu diskursus keilmuan dan persolaan pelik di dunia akademisi yang tak berkesudahan untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Realita kontemporer ini bisa kita saksikan pada ironisme-historis pada kemandegan perkembangan keilmuan Islam masa lalu yang bercirikan memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang dianggap ‘profan’ dan peristiwa klimaks ditandai dengan runtuhnya Tiga Kerajaan Besar Islam (Turki Usmani, Safawi, dan Mughal). Entah disadari atau tidak, ternyata alam bawah sadar masyarakat Muslim, khususnya di lingkup akademisi, telah terkontruksi oleh pemikiran dikotomis khas Barat. Argumen di atas didukung oleh pernyataan Zainul Milal Bizawie yang mengatakan bahwa sifat keilmuan Barat itu hegemonik dan otoriter. Semacam ada dorongan maskulin untuk menguasai dunia secara liar dan beringas dan anggapan “diri” lebih superior dalam mendekati masyarakat-masyarakat non-Barat, demikian pemaparan Sachiko Murata, seorang Profesor Studi-Studi Agama yang memusatkan perhatiannya pada tradisi Timur Jauh dan Islam. Dan lebih ironis lagi, kemungkinan besar asumsi yang gencar digaungkan oleh masyarakat Barat ini juga diamini oleh kita, masyarakat Timur, yang telah terjajah mentalnya cukup lama oleh mereka. Keadaan inilah yang menjadi pendorong agar kita kembali membangun kepercayaan diri, menggali dan mengembangkan tradisi intelektual Islam berbasis pondasi Islam murni.
            Hemat penulis, supaya pengembangan tradisi intelektual Islam tidak terkesan kompulsif-pragmatis dengan mencari dalih atau jalan keluar dari teori murni Barat atas problematika dinamis yang muncul di wilayah Islam sendiri, maka ada baiknya kita berpikir ke dalam dan mencari solusi dari teori-teori berjiwa nilai-nilai Islam. Hal ini disebabkan oleh aspek ontologis Barat yang sangat beroposisi dengan aspek ontologis Islam yakni bentuk antipatinya terhadap nilai-nilai yang digaungkan oleh tradisi Timur yang bercirikan integral, komprehensif, harmonis dan melihat kebenaran dari multiperspektif. Namun yang perlu digarisbawahi dan akui bahwa masih ada sisi positif teori murni Barat yang dapat para sarjana Muslim pelajari guna mengembangkan tradisi intelektual Islam. Bahkan, jika ditinjau dari tercapainya aspek aksiologis, kedua peradaban ini dapat dikomparasikan guna kepentingan penelitian secara proporsional dan berimbang justru setelah ketiadaan relasi superior-interior antara kedua tradisi tersebut. Dalam konteks ke-Indonesiaan, semestinya para cendekiawan dalam menghadapi pelbagai persoalan diselesaikan dengan memadukan teks (teori) dengan tidak mengabaikan konteks (kearifan lokal). Wallahu ‘alam bishshawab