Kamis, 12 Februari 2015

Artikel



Rekonstruksi Ontologi Tradisi Intelektual Islam
oleh:  Nurul Hikmah Sofyan


            Tulisan ini berangkat dari kegelisahan dilematis penulis yang mengendap semenjak mengikuti salah satu mata kuliah di FITK UIN Walisongo Semarang. Ada semacam protes atas penyajian materi oleh salah seorang dosen yang justru hampir seluruh pembahasan mata kuliah agama diambil dari literatur berperspektif Barat. Sudah sewajarnya, mahasiswa yang dituntut dan dibekali daya intelektual-kritis setidaknya mempertanyakan ke mana pembahasan materi berperspektif Islam sehingga timbul akibat logis yakni disorientasi dilematis antara menerima materi kuliah berperspektif Barat atau menolaknya. Sejauh pemahaman mahasiswa di wilayah Islam sendiri, penolakan ini disebabkan oleh adanya beberapa titik pembahasan materi di luar Islam yang tidak sesuai dengan kondisi dan pemahaman internal tradisi intelektual Islam. Bukan semata sebagai bentuk apologi, namun lebih kepada kemestian menggali pemahaman Islam dari akar Islam sendiri.
            Disorientasi ini semakin menjadi-jadi dengan adanya bukti realita praksis ketika para sarjana Muslim yang dalam upayanya mengembangkan dan memecahkan masalah keilmuan menggunakan teori murni Barat sebagaimana hemat Sachiko Murata dalam karyanya, The Tao of Islam, dikatakan bahwa sejatinya teori Barat merupakan antipati terhadap tradisi intelektual Islam. Sachiko Murata memiliki sebuah keyakinan dalam mencermati realita ini sebagai ‘ketimpangan’ yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memahami prinsip-prinsip peradaban asing. Jika pendekatan dan solusi Barat lazim digunakan masyarakat Islam sementara teori murni Barat bersifat antipati terhadap teori murni Islam – misal, antipatinya terhadap prinsip-prinsip hubungan gender yang dibangun berdasarkan tradisi intelektual Islam (Islam tradisional) – hal ini sama artinya dengan mengatakan bahwa saran-saran Barat berkenaan dengan reformasi Islam akan melibatkan perubahan prinsip-prinsip yang mendasari terbentuknya Islam. Islam harus “dibawa masuk ke dalam abad kedua puluh.”
            Murata juga memaparkan titik kelemahan pemikiran Barat yakni berpikir either/or (satu dari dua hal). Senyatanya, orang-orang Barat telah terdidik sejak dini untuk berpikir dikotomis, ciri berpikir yang terkesan terkotakk-kotakkan dan memandang persoalan dari sudut pandang tunggal. Dalam konteks budaya misalnya, berdasarkan penuturan Clifford Geetz, tradisi Barat memiliki pandangan lumrah ihwal dikotomi besar dalam membedakan antara kesenian “tinggi” dan “rendah”. Oleh dari itu, ketika menelaah aspek-aspek estetik di sebuah masyarakat Asia, mereka pun mengambil salah satu versi dikotomi besar tersebut. Kadangkala dikotomi besar tersebut dilakukan atas alasan-alasan objektivitas dan ketepatan ilmiah yang dinyatakan dalam “Tradisi Besar” dan “Tradisi Kecil”.
            Karakteristik mainstream peradaban modern yang dapat kita saksikan saat ini ialah bahwa manusia satu dengan lainnya sebagai entitas ego yang saling berkompetisi, bukan saling belajar dan melengkapi. Ada semacam relasi subjek-objek yang memandang satu lebih superior di atas lain yang inferior. Satu hal yang menyebabkan stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan Islam adalah adanya pikiran dikotomis-disparatis, satu diskursus keilmuan dan persolaan pelik di dunia akademisi yang tak berkesudahan untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Realita kontemporer ini bisa kita saksikan pada ironisme-historis pada kemandegan perkembangan keilmuan Islam masa lalu yang bercirikan memisahkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu yang dianggap ‘profan’ dan peristiwa klimaks ditandai dengan runtuhnya Tiga Kerajaan Besar Islam (Turki Usmani, Safawi, dan Mughal). Entah disadari atau tidak, ternyata alam bawah sadar masyarakat Muslim, khususnya di lingkup akademisi, telah terkontruksi oleh pemikiran dikotomis khas Barat. Argumen di atas didukung oleh pernyataan Zainul Milal Bizawie yang mengatakan bahwa sifat keilmuan Barat itu hegemonik dan otoriter. Semacam ada dorongan maskulin untuk menguasai dunia secara liar dan beringas dan anggapan “diri” lebih superior dalam mendekati masyarakat-masyarakat non-Barat, demikian pemaparan Sachiko Murata, seorang Profesor Studi-Studi Agama yang memusatkan perhatiannya pada tradisi Timur Jauh dan Islam. Dan lebih ironis lagi, kemungkinan besar asumsi yang gencar digaungkan oleh masyarakat Barat ini juga diamini oleh kita, masyarakat Timur, yang telah terjajah mentalnya cukup lama oleh mereka. Keadaan inilah yang menjadi pendorong agar kita kembali membangun kepercayaan diri, menggali dan mengembangkan tradisi intelektual Islam berbasis pondasi Islam murni.
            Hemat penulis, supaya pengembangan tradisi intelektual Islam tidak terkesan kompulsif-pragmatis dengan mencari dalih atau jalan keluar dari teori murni Barat atas problematika dinamis yang muncul di wilayah Islam sendiri, maka ada baiknya kita berpikir ke dalam dan mencari solusi dari teori-teori berjiwa nilai-nilai Islam. Hal ini disebabkan oleh aspek ontologis Barat yang sangat beroposisi dengan aspek ontologis Islam yakni bentuk antipatinya terhadap nilai-nilai yang digaungkan oleh tradisi Timur yang bercirikan integral, komprehensif, harmonis dan melihat kebenaran dari multiperspektif. Namun yang perlu digarisbawahi dan akui bahwa masih ada sisi positif teori murni Barat yang dapat para sarjana Muslim pelajari guna mengembangkan tradisi intelektual Islam. Bahkan, jika ditinjau dari tercapainya aspek aksiologis, kedua peradaban ini dapat dikomparasikan guna kepentingan penelitian secara proporsional dan berimbang justru setelah ketiadaan relasi superior-interior antara kedua tradisi tersebut. Dalam konteks ke-Indonesiaan, semestinya para cendekiawan dalam menghadapi pelbagai persoalan diselesaikan dengan memadukan teks (teori) dengan tidak mengabaikan konteks (kearifan lokal). Wallahu ‘alam bishshawab

1 komentar:

  1. Sega - Titsanium Games Wiki
    Japanese trekz titanium headphones video game name: Sega (Japanese: ピンライーズ, エイングズ, Sōgi titanium legs Tūmāga (城?) System: titanium nitride gun coating Sega Mega Drive (Japanese: バンライーズ). Genre: Action. Language: Japanese. Release nano titanium by babyliss pro date: August 19, Composer(s): Satoshi titanium watch band SakaimuraWriter(s): Satoshi SakaimuraMode(s): Single-player, ‎multiplayer‎

    BalasHapus