Rekonstruksi Ontologi
Tradisi Intelektual Islam
oleh: Nurul Hikmah Sofyan
Tulisan
ini berangkat dari kegelisahan dilematis penulis yang mengendap semenjak
mengikuti salah satu mata kuliah di FITK UIN Walisongo Semarang. Ada semacam
protes atas penyajian materi oleh salah seorang dosen yang justru hampir
seluruh pembahasan mata kuliah agama diambil dari literatur berperspektif
Barat. Sudah sewajarnya, mahasiswa yang dituntut dan dibekali daya
intelektual-kritis setidaknya mempertanyakan ke mana pembahasan materi
berperspektif Islam sehingga timbul akibat logis yakni disorientasi dilematis
antara menerima materi kuliah berperspektif Barat atau menolaknya. Sejauh pemahaman
mahasiswa di wilayah Islam sendiri, penolakan ini disebabkan oleh adanya
beberapa titik pembahasan materi di luar Islam yang tidak sesuai dengan kondisi
dan pemahaman internal tradisi intelektual Islam. Bukan semata sebagai bentuk
apologi, namun lebih kepada kemestian menggali pemahaman Islam dari akar Islam
sendiri.
Disorientasi
ini semakin menjadi-jadi dengan adanya bukti realita praksis ketika para
sarjana Muslim yang dalam upayanya mengembangkan dan memecahkan masalah
keilmuan menggunakan teori murni Barat sebagaimana hemat Sachiko Murata dalam
karyanya, The Tao of Islam, dikatakan bahwa sejatinya teori Barat
merupakan antipati terhadap tradisi intelektual Islam. Sachiko Murata memiliki
sebuah keyakinan dalam mencermati realita ini sebagai ‘ketimpangan’ yang
disebabkan oleh ketidakmampuan untuk memahami prinsip-prinsip peradaban asing.
Jika pendekatan dan solusi Barat lazim digunakan masyarakat Islam sementara teori
murni Barat bersifat antipati terhadap teori murni Islam – misal, antipatinya
terhadap prinsip-prinsip hubungan gender yang dibangun berdasarkan tradisi
intelektual Islam (Islam tradisional) – hal ini sama artinya dengan mengatakan
bahwa saran-saran Barat berkenaan dengan reformasi Islam akan melibatkan
perubahan prinsip-prinsip yang mendasari terbentuknya Islam. Islam harus
“dibawa masuk ke dalam abad kedua puluh.”
Murata
juga memaparkan titik kelemahan pemikiran Barat yakni berpikir either/or (satu
dari dua hal). Senyatanya, orang-orang Barat telah terdidik sejak dini untuk
berpikir dikotomis, ciri berpikir yang terkesan terkotakk-kotakkan dan memandang
persoalan dari sudut pandang tunggal. Dalam konteks budaya misalnya,
berdasarkan penuturan Clifford Geetz, tradisi Barat memiliki pandangan lumrah ihwal
dikotomi besar dalam membedakan antara kesenian “tinggi” dan “rendah”. Oleh
dari itu, ketika menelaah aspek-aspek estetik di sebuah masyarakat Asia, mereka
pun mengambil salah satu versi dikotomi besar tersebut. Kadangkala dikotomi besar
tersebut dilakukan atas alasan-alasan objektivitas dan ketepatan ilmiah yang
dinyatakan dalam “Tradisi Besar” dan “Tradisi Kecil”.
Karakteristik
mainstream peradaban modern yang dapat kita saksikan saat ini ialah
bahwa manusia satu dengan lainnya sebagai entitas ego yang saling berkompetisi,
bukan saling belajar dan melengkapi. Ada semacam relasi subjek-objek yang
memandang satu lebih superior di atas lain yang inferior. Satu hal yang menyebabkan
stagnasi perkembangan ilmu pengetahuan Islam adalah adanya pikiran
dikotomis-disparatis, satu diskursus keilmuan dan persolaan pelik di dunia
akademisi yang tak berkesudahan untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Realita
kontemporer ini bisa kita saksikan pada ironisme-historis pada kemandegan
perkembangan keilmuan Islam masa lalu yang bercirikan memisahkan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu yang dianggap ‘profan’ dan peristiwa klimaks ditandai dengan
runtuhnya Tiga Kerajaan Besar Islam (Turki Usmani, Safawi, dan Mughal). Entah
disadari atau tidak, ternyata alam bawah sadar masyarakat Muslim, khususnya di
lingkup akademisi, telah terkontruksi oleh pemikiran dikotomis khas Barat. Argumen
di atas didukung oleh pernyataan Zainul Milal Bizawie yang mengatakan bahwa
sifat keilmuan Barat itu hegemonik dan otoriter. Semacam ada dorongan maskulin untuk
menguasai dunia secara liar dan beringas dan anggapan “diri” lebih superior
dalam mendekati masyarakat-masyarakat non-Barat, demikian pemaparan Sachiko
Murata, seorang Profesor Studi-Studi Agama yang memusatkan perhatiannya pada
tradisi Timur Jauh dan Islam. Dan lebih ironis lagi, kemungkinan besar asumsi
yang gencar digaungkan oleh masyarakat Barat ini juga diamini oleh kita,
masyarakat Timur, yang telah terjajah mentalnya cukup lama oleh mereka. Keadaan
inilah yang menjadi pendorong agar kita kembali membangun kepercayaan diri, menggali
dan mengembangkan tradisi intelektual Islam berbasis pondasi Islam murni.
Hemat
penulis, supaya pengembangan tradisi intelektual Islam tidak terkesan
kompulsif-pragmatis dengan mencari dalih atau jalan keluar dari teori murni Barat
atas problematika dinamis yang muncul di wilayah Islam sendiri, maka ada baiknya
kita berpikir ke dalam dan mencari solusi dari teori-teori berjiwa nilai-nilai
Islam. Hal ini disebabkan oleh aspek ontologis Barat yang sangat beroposisi
dengan aspek ontologis Islam yakni bentuk antipatinya terhadap nilai-nilai yang
digaungkan oleh tradisi Timur yang bercirikan integral, komprehensif, harmonis
dan melihat kebenaran dari multiperspektif. Namun yang perlu digarisbawahi dan
akui bahwa masih ada sisi positif teori murni Barat yang dapat para sarjana
Muslim pelajari guna mengembangkan tradisi intelektual Islam. Bahkan, jika ditinjau
dari tercapainya aspek aksiologis, kedua peradaban ini dapat dikomparasikan
guna kepentingan penelitian secara proporsional dan berimbang justru setelah
ketiadaan relasi superior-interior antara kedua tradisi tersebut. Dalam konteks
ke-Indonesiaan, semestinya para cendekiawan dalam menghadapi pelbagai persoalan
diselesaikan dengan memadukan teks (teori) dengan tidak mengabaikan konteks
(kearifan lokal). Wallahu ‘alam bishshawab
Sega - Titsanium Games Wiki
BalasHapusJapanese trekz titanium headphones video game name: Sega (Japanese: ピンライーズ, エイングズ, Sōgi titanium legs Tūmāga (城?) System: titanium nitride gun coating Sega Mega Drive (Japanese: バンライーズ). Genre: Action. Language: Japanese. Release nano titanium by babyliss pro date: August 19, Composer(s): Satoshi titanium watch band SakaimuraWriter(s): Satoshi SakaimuraMode(s): Single-player, multiplayer