Kasmaran
Menimba Ilmu di Negari Orang
Betapa
bahagianya ketika saya mendengar kabar gembira dari para alumni Madrasah Aliyah
di mana saya menimba ilmu dulu mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar
negeri, terlebih alumni yang mendapatkan full-fellowship dari universitasnya.
Semangat para alumni untuk belajar di luar negari itu ternyata juga menular ke
saya. Awal lulus dari MA sebenarnya ghirah saya untuk mencicipi
pengalaman belajar di negeri orang belum terlalu kentara, namun setelah kuliah,
keinginan saya untuk belajar ke negeri orang pun semakin meletup-letup. Untuk
satu tahun pertama kuliah, saya mukim di Ma’had bilingual milik Kampus
Hijau di mana saya menjalani Strata 1, karena menerapkan penggunaan dua bahasa,
bahasa Arab dan Inggris, tentu saja semua agenda dari mata terbuka sampai tidur
malam menggunakan dua bahasa internasional tersebut. Syukran hamdan lillah
saya pun menjalani rutinitas di ‘rumah kedua’ yang baru itu dengan enjoy,
karena sebelumnya saya juga pernah tinggal di asrama berbahasa sewaktu saya
duduk di bangku MA.
Nah,
suatu kali ustadz kuliah malam yang mengampu saya pelajaran Bahasa Arab di Ma’had
menawarkan saya untuk ikut seleksi beasiswa Al-Azhar, pastinya saya
menyambutnya dengan gembira. Saya pun cukup percaya diri untuk menerima tawaran
dari beliau, lantaran saya merasa pernah menggeluti  bahasa Arab walau kenyataannya kemampuan saya
tak seberapa, but I believe I can. Sesegera mungkin saya berkirim sms ke
bapak dan ibu untuk meminta ijin, tak lupa juga saya kabari kakak saya ihwal
keikutsertaan saya dalam test seleksi Mesir. Keputusan sepenuhnya terletak pada
bapak, sayang  seribu sayang beliau tidak
menyambut baik tawaran ustadz saya itu. Selain jauh, bentrok Mesir yang tengah
bergejolak antara Militer dan pendukung Presiden dari kubu Ikhwanul Muslimin
itu menjadi satu dari sekian banyak alibi bapak mengapa saya tidak diijinkan
untuk kuliah di Mesir. “Jangan nduk, kuliah di IAIN saja”,kurang lebih
begitu isi balasan pesan singkat dari beliau. 
Memang
sih, saya tidak terlalu ambil pusing ihwal keputusan bapak, toh saya
juga sudah menjalani 2 semester di IAIN Walisongo Semarang, rasanya eman-eman
saja kalau tiba-tiba putus di tengah jalan untuk memulai semuanya dari semester
awal untuk studi S1 di universitas tertua di dunia itu. Akan tetapi, barangkali
ini menjadi sebuah titik balik saya untuk terus menggenggam erat impian saya
untuk melanjutkan studi di luar negeri. Setelah peristiwa itu, saya jadi
berpikir ulang mengenai keinginan saya untuk melanjutkan studi di Mesir. Bapak
bilang kalau Ibu sampai muring-muring mendengar keinginan saya untuk
melanjutkan studi di Mesir, pikir saya memang kekhawatiran ibu  wajar-wajar sih, barangkali lantaran
saya seorang anak perempuan dan jarak geografis antara Mesir dan Indonesia
cukup jauh jadi Ibu tidak ridha kalau saya jauh-jauh dari rumah.
Kebetulan
cukup banyak alumni dari almamater saya dulu yang studi di Mesir termasuk
kawan-kawan satu angkatan dengan saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung
kroscek langsung ke salah satu kawan saya yang kuliah di Al-Azhar apakah
bentrok yang sedang bergejolak di negera yang mendapat julukan negeri Seribu
Menara itu berpengaruh pada civitas akademik di Al-Azhar atau tidak. Katanya
bentrok Mesir tidak mempengaruhi civitas akademika di sana, syukurlah. Namun
informasi yang saya terima dari Ustadz Bimo ketika kawan-kawan dan saya
bersilaturrahim di rumah beliau, semakin lama kondisi Mesir makin tak
terkendali sehingga berpengaruh pada perkuliahan di  Universitas-Universitas di Mesir, termasuk di
Universitas Al-Azhar, semua kegiatan perkuliahan di-off-kan sementara
dulu sampai batas waktu yang tidak jelas. Bahkan korban yang meninggal dunia
akibat serangan militer oposisi pendukung Presiden yang beberapa bulan yang
lalu dilengserkan secara paksa mencapai kurang lebih 4500 jiwa, tambah ustadz
yang kini sudah dikaruniai dua putra yang begitu menggemaskan. Beliau
mendapatkan informasi ini dari semacam LSM di Mesir. 
Cukup
kontras memang perbandingan jumlah korban yang dibandingkan pemberitaan dari
media massa. Ya, barangkali terselubungnya berita yang disajikan oleh televisi
ataupun media massa itu di bawah pengaruh tangan-tangan politik kenegaraan,
sehingga pemberitaan diatur sedemikian rupa agar kepentingan pemerintah tetap
‘tersimpan rapi’. Bentrok Mesir ini ternyata juga berdampak pada ditundanya
test seleksi Mesir di seluruh Indonesia, adik kelas almamater saya yang mendaftar
di sana  pun terpaksa harus menunda
impiannya untuk kuliah di Mesir dengan menjalani pilihan keduanya kuliah di
dalam negeri atau berhenti selama kurang lebih satu tahun menanti sampai
kondisi Mesir kembali normal.
Baru-baru
ini, saya dikejutkan lagi dengan kabar gembira, adik kelas angkatan pas di
bawah saya waktu di MA dulu mendapatkan beasiswa penuh dari Maybank
Foundation di ASEAN University of Women Bangladesh. Alhamdulillah
dari sekian banyak peserta seleksi, dengan kuota 2 orang saja yang diterima, ia
termasuk salah satu peserta yang berhasil lolos. Sekali lagi saya ucapkan alhamdulillah
dan congratulation pada adik kelas saya yang jatuh hati pada bahasa
Inggris itu. Tentu saja, semangat saya untuk belajar di luar negeri kembali
terbakar dan berkobar-kobar sampai-sampai jadi gosong, hhe... Di Bangladesh, ia
akan menjalani I’dad, semacam tahap persiapan dan kuliah selama 5 tahun.
Sampai-sampai dia nyeletuk “Maaf ya mbak aku nggak bisa dateng ke walimatul
arys nya antum”,candanya ketika kami berdua bersua di jejaring sosial. Yaelah
ini anak bikin saya kesal aja, hha, kesel tapi senang, wakaka.
Bagi
saya, khobar abyadh dari para alumni layaknya bensin untuk membakar
semangat belajar saya jika sewaktu-waktu luntur. Biasanya, jika malas
menyergap, saya akan berselancar di dunia maya untuk sekadar mengintip koleksi
album para alumni yang berpose di depan gedung bersejarah di luar negeri atau
pose narsis bersama bule. Jika tak sempat membuka akun sosial media saya akan
menyetel video nostalgia MA dulu, melihat lagi wajah-wajah polos kawan-kawan
diikuti aura semangat belajar ila yaumil qiyamah yang tiada henti, juga
tak lupa wajah-wajah bersahaja asatidz yang senantiasa memberikan
wejangan plus motivasi segar yang kagak ada basinya untuk menimba ilmu.
Seketika itu pula, lambat laun semangat belajar saya mulai tertata kembali pada
posisi good condition. Mereka layaknya sebagai energi ghirah
belajar saya, para alumni MAPK, baik kakak kelas sekelas Habiburrahman
El-Shirazy, kakak angkatan maupun kawan-kawan se-angkatan sampai adik kelas,
dan tentunya keluarga besar MAPK Bonoloyo, yang tanpa henti beramai-ramai mewarnai
dunia dengan mengobarkan semangat fastabiqul khoirat dalam menimba ilmu.
Ngomong-ngomong
sekolah di abroad, mengingatkan saya pada sepotong syair karya Imam
Syafi’i:
Orang
yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan
negerimu dan merantaulah ke negeri orang        
Berlelah-lelah,
manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku
melihat air menjadi rusak karena diam bertahan 
Jika
mengalir menjadi jernih, jika tidak kan keruh menggenang
 Nah, suatu hari saya singgah di perpustakaan
fakultas, di rak paling pojok saya menemukan satu buku yang isinya mengenai
seputar informasi kuliah di negara-negara Muslim, mulai dari asal muasal negara,
keadaan dan kondisi sosio-kultur penduduk setempat, keadaan geografis, gambaran
singkat tentang sistem perkuliahan, biaya living cost sampai informasi
mengenai cara mendapatkan beasiswa belajar di negara-negara Muslim, mulai semua
uneg-uneg dari universitas di Makkah, Sudan, Mesir, sampai
universitas di India. Ketika melihat isinya, seketika itu pula mata saya
terbelalak, saya langsung jatuh hati padanya,, hhe. Tanpa basa-basi, saya
langsung meminjam ‘buku ajaib’ itu dan saya lahap isinya di Ma’had. Bahkan saya
sampai membuat semacam catatan kecil di telpon genggam saya yang berisi
kata-kata asing yang berbau luar negeri agar saya bisa membacanya setiap saat, Goes
to Abroad, begitulah cara unik saya dalam mengikat makna dan menanamkan
sebuah impian agar tertancap benar di dasar hati. Pilihan universitas yang saya
pilih untuk melanjutkan S2 di luar negeri jatuh pada salah satu universitas
Islam di negeri jiran, ya Malaysia. Alasan saya memilih negara tersebut
lantaran letak geografis antara negara Malaysia dan Indonesia yang tidak
terlampau jauh, pun dalam hal bahasa dan budaya, Malaysia masih terhitung
serumpun dengan Indonesia. Jadi pikir saya, saya tidak begitu repot untuk
beradapatasi dan saya tidak terlalu mengalami shock culture ketika belajar
di sana. 
Bismillah,,,demi
Agama, demi Indonesia, demi Almamater Tercinta, saya akan memulai untuk
memelihara impian-impian besar ini dan pelan tapi pasti akan merealisasikannya.
Mulai detik ini, saya bertekad untuk terus menjaga stabilitas mimpi saya guna
studi abroad dan menanamkan mimpi saya itu di dasar relung hati yang
paling dalam. Saya mulai mencari kenalan orang Malaysia dari kawan-kawan saya
melalui akun Facebook, dan alhamdulillah kini saya sudah mengantongi
nama facebook seorang berkewarganegaraan Malaysia dan seorang Ustadz kawan anyar
saya di akun facebook yang melanjutkan kuliah S2 di Universitas Kebangsaan
Malaysia. Dan mulai saat ini saya bertekad untuk  membangun relasi seluas-luasnya untuk
memperlancar studi saya kelak di sana, mudah-mudahan lancar dan tak ada hambatan,
istajib Ya Rabb. Karena saya mulai sadar bahwa keluasan relasi ataupun
kedekatan emosional dengan seseorang atau pun suatu komunitas menentukan porsi
keberhasilan sepak terjang kita dalam menghadapi ujian hidup. Intinya, kenali
setiap orang, karena kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan membantu kita
hari esok. Oh, indahnya sebuah ikatan ukhuwah.
Semarang,
17 Agustus 2013 dalam suasana gegap gempita ulang tahun Republik Indonesia
ke-68.
Teruntuk
Tanah Airku Indonesia, kupersembahkan sepotong cerita sebagai hadiah
kemerdekaan yang tak seberapa ini sekaligus sebagai bentuk ungkapan suara hati
seorang perempuan yang telah lama memendam rasa cinta padamu, Padamu Negeri.
Jayalah selalu Indonesia Raya, sekali merdeka tetap merdeka.








0 komentar:
Posting Komentar