Jumat, 18 Oktober 2013

Catatan Anak Kampus



Kasmaran Menimba Ilmu di Negari Orang

Betapa bahagianya ketika saya mendengar kabar gembira dari para alumni Madrasah Aliyah di mana saya menimba ilmu dulu mendapatkan kesempatan untuk belajar di luar negeri, terlebih alumni yang mendapatkan full-fellowship dari universitasnya. Semangat para alumni untuk belajar di luar negari itu ternyata juga menular ke saya. Awal lulus dari MA sebenarnya ghirah saya untuk mencicipi pengalaman belajar di negeri orang belum terlalu kentara, namun setelah kuliah, keinginan saya untuk belajar ke negeri orang pun semakin meletup-letup. Untuk satu tahun pertama kuliah, saya mukim di Ma’had bilingual milik Kampus Hijau di mana saya menjalani Strata 1, karena menerapkan penggunaan dua bahasa, bahasa Arab dan Inggris, tentu saja semua agenda dari mata terbuka sampai tidur malam menggunakan dua bahasa internasional tersebut. Syukran hamdan lillah saya pun menjalani rutinitas di ‘rumah kedua’ yang baru itu dengan enjoy, karena sebelumnya saya juga pernah tinggal di asrama berbahasa sewaktu saya duduk di bangku MA.
Nah, suatu kali ustadz kuliah malam yang mengampu saya pelajaran Bahasa Arab di Ma’had menawarkan saya untuk ikut seleksi beasiswa Al-Azhar, pastinya saya menyambutnya dengan gembira. Saya pun cukup percaya diri untuk menerima tawaran dari beliau, lantaran saya merasa pernah menggeluti  bahasa Arab walau kenyataannya kemampuan saya tak seberapa, but I believe I can. Sesegera mungkin saya berkirim sms ke bapak dan ibu untuk meminta ijin, tak lupa juga saya kabari kakak saya ihwal keikutsertaan saya dalam test seleksi Mesir. Keputusan sepenuhnya terletak pada bapak, sayang  seribu sayang beliau tidak menyambut baik tawaran ustadz saya itu. Selain jauh, bentrok Mesir yang tengah bergejolak antara Militer dan pendukung Presiden dari kubu Ikhwanul Muslimin itu menjadi satu dari sekian banyak alibi bapak mengapa saya tidak diijinkan untuk kuliah di Mesir. “Jangan nduk, kuliah di IAIN saja”,kurang lebih begitu isi balasan pesan singkat dari beliau.
Memang sih, saya tidak terlalu ambil pusing ihwal keputusan bapak, toh saya juga sudah menjalani 2 semester di IAIN Walisongo Semarang, rasanya eman-eman saja kalau tiba-tiba putus di tengah jalan untuk memulai semuanya dari semester awal untuk studi S1 di universitas tertua di dunia itu. Akan tetapi, barangkali ini menjadi sebuah titik balik saya untuk terus menggenggam erat impian saya untuk melanjutkan studi di luar negeri. Setelah peristiwa itu, saya jadi berpikir ulang mengenai keinginan saya untuk melanjutkan studi di Mesir. Bapak bilang kalau Ibu sampai muring-muring mendengar keinginan saya untuk melanjutkan studi di Mesir, pikir saya memang kekhawatiran ibu  wajar-wajar sih, barangkali lantaran saya seorang anak perempuan dan jarak geografis antara Mesir dan Indonesia cukup jauh jadi Ibu tidak ridha kalau saya jauh-jauh dari rumah.
Kebetulan cukup banyak alumni dari almamater saya dulu yang studi di Mesir termasuk kawan-kawan satu angkatan dengan saya. Tanpa pikir panjang, saya langsung kroscek langsung ke salah satu kawan saya yang kuliah di Al-Azhar apakah bentrok yang sedang bergejolak di negera yang mendapat julukan negeri Seribu Menara itu berpengaruh pada civitas akademik di Al-Azhar atau tidak. Katanya bentrok Mesir tidak mempengaruhi civitas akademika di sana, syukurlah. Namun informasi yang saya terima dari Ustadz Bimo ketika kawan-kawan dan saya bersilaturrahim di rumah beliau, semakin lama kondisi Mesir makin tak terkendali sehingga berpengaruh pada perkuliahan di  Universitas-Universitas di Mesir, termasuk di Universitas Al-Azhar, semua kegiatan perkuliahan di-off-kan sementara dulu sampai batas waktu yang tidak jelas. Bahkan korban yang meninggal dunia akibat serangan militer oposisi pendukung Presiden yang beberapa bulan yang lalu dilengserkan secara paksa mencapai kurang lebih 4500 jiwa, tambah ustadz yang kini sudah dikaruniai dua putra yang begitu menggemaskan. Beliau mendapatkan informasi ini dari semacam LSM di Mesir.
Cukup kontras memang perbandingan jumlah korban yang dibandingkan pemberitaan dari media massa. Ya, barangkali terselubungnya berita yang disajikan oleh televisi ataupun media massa itu di bawah pengaruh tangan-tangan politik kenegaraan, sehingga pemberitaan diatur sedemikian rupa agar kepentingan pemerintah tetap ‘tersimpan rapi’. Bentrok Mesir ini ternyata juga berdampak pada ditundanya test seleksi Mesir di seluruh Indonesia, adik kelas almamater saya yang mendaftar di sana  pun terpaksa harus menunda impiannya untuk kuliah di Mesir dengan menjalani pilihan keduanya kuliah di dalam negeri atau berhenti selama kurang lebih satu tahun menanti sampai kondisi Mesir kembali normal.
Baru-baru ini, saya dikejutkan lagi dengan kabar gembira, adik kelas angkatan pas di bawah saya waktu di MA dulu mendapatkan beasiswa penuh dari Maybank Foundation di ASEAN University of Women Bangladesh. Alhamdulillah dari sekian banyak peserta seleksi, dengan kuota 2 orang saja yang diterima, ia termasuk salah satu peserta yang berhasil lolos. Sekali lagi saya ucapkan alhamdulillah dan congratulation pada adik kelas saya yang jatuh hati pada bahasa Inggris itu. Tentu saja, semangat saya untuk belajar di luar negeri kembali terbakar dan berkobar-kobar sampai-sampai jadi gosong, hhe... Di Bangladesh, ia akan menjalani I’dad, semacam tahap persiapan dan kuliah selama 5 tahun. Sampai-sampai dia nyeletuk “Maaf ya mbak aku nggak bisa dateng ke walimatul arys nya antum”,candanya ketika kami berdua bersua di jejaring sosial. Yaelah ini anak bikin saya kesal aja, hha, kesel tapi senang, wakaka.
Bagi saya, khobar abyadh dari para alumni layaknya bensin untuk membakar semangat belajar saya jika sewaktu-waktu luntur. Biasanya, jika malas menyergap, saya akan berselancar di dunia maya untuk sekadar mengintip koleksi album para alumni yang berpose di depan gedung bersejarah di luar negeri atau pose narsis bersama bule. Jika tak sempat membuka akun sosial media saya akan menyetel video nostalgia MA dulu, melihat lagi wajah-wajah polos kawan-kawan diikuti aura semangat belajar ila yaumil qiyamah yang tiada henti, juga tak lupa wajah-wajah bersahaja asatidz yang senantiasa memberikan wejangan plus motivasi segar yang kagak ada basinya untuk menimba ilmu. Seketika itu pula, lambat laun semangat belajar saya mulai tertata kembali pada posisi good condition. Mereka layaknya sebagai energi ghirah belajar saya, para alumni MAPK, baik kakak kelas sekelas Habiburrahman El-Shirazy, kakak angkatan maupun kawan-kawan se-angkatan sampai adik kelas, dan tentunya keluarga besar MAPK Bonoloyo, yang tanpa henti beramai-ramai mewarnai dunia dengan mengobarkan semangat fastabiqul khoirat dalam menimba ilmu.
Ngomong-ngomong sekolah di abroad, mengingatkan saya pada sepotong syair karya Imam Syafi’i:
Orang yang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang       
Berlelah-lelah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam bertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak kan keruh menggenang
 Nah, suatu hari saya singgah di perpustakaan fakultas, di rak paling pojok saya menemukan satu buku yang isinya mengenai seputar informasi kuliah di negara-negara Muslim, mulai dari asal muasal negara, keadaan dan kondisi sosio-kultur penduduk setempat, keadaan geografis, gambaran singkat tentang sistem perkuliahan, biaya living cost sampai informasi mengenai cara mendapatkan beasiswa belajar di negara-negara Muslim, mulai semua uneg-uneg dari universitas di Makkah, Sudan, Mesir, sampai universitas di India. Ketika melihat isinya, seketika itu pula mata saya terbelalak, saya langsung jatuh hati padanya,, hhe. Tanpa basa-basi, saya langsung meminjam ‘buku ajaib’ itu dan saya lahap isinya di Ma’had. Bahkan saya sampai membuat semacam catatan kecil di telpon genggam saya yang berisi kata-kata asing yang berbau luar negeri agar saya bisa membacanya setiap saat, Goes to Abroad, begitulah cara unik saya dalam mengikat makna dan menanamkan sebuah impian agar tertancap benar di dasar hati. Pilihan universitas yang saya pilih untuk melanjutkan S2 di luar negeri jatuh pada salah satu universitas Islam di negeri jiran, ya Malaysia. Alasan saya memilih negara tersebut lantaran letak geografis antara negara Malaysia dan Indonesia yang tidak terlampau jauh, pun dalam hal bahasa dan budaya, Malaysia masih terhitung serumpun dengan Indonesia. Jadi pikir saya, saya tidak begitu repot untuk beradapatasi dan saya tidak terlalu mengalami shock culture ketika belajar di sana.
Bismillah,,,demi Agama, demi Indonesia, demi Almamater Tercinta, saya akan memulai untuk memelihara impian-impian besar ini dan pelan tapi pasti akan merealisasikannya. Mulai detik ini, saya bertekad untuk terus menjaga stabilitas mimpi saya guna studi abroad dan menanamkan mimpi saya itu di dasar relung hati yang paling dalam. Saya mulai mencari kenalan orang Malaysia dari kawan-kawan saya melalui akun Facebook, dan alhamdulillah kini saya sudah mengantongi nama facebook seorang berkewarganegaraan Malaysia dan seorang Ustadz kawan anyar saya di akun facebook yang melanjutkan kuliah S2 di Universitas Kebangsaan Malaysia. Dan mulai saat ini saya bertekad untuk  membangun relasi seluas-luasnya untuk memperlancar studi saya kelak di sana, mudah-mudahan lancar dan tak ada hambatan, istajib Ya Rabb. Karena saya mulai sadar bahwa keluasan relasi ataupun kedekatan emosional dengan seseorang atau pun suatu komunitas menentukan porsi keberhasilan sepak terjang kita dalam menghadapi ujian hidup. Intinya, kenali setiap orang, karena kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan membantu kita hari esok. Oh, indahnya sebuah ikatan ukhuwah.

Semarang, 17 Agustus 2013 dalam suasana gegap gempita ulang tahun Republik Indonesia ke-68.

Teruntuk Tanah Airku Indonesia, kupersembahkan sepotong cerita sebagai hadiah kemerdekaan yang tak seberapa ini sekaligus sebagai bentuk ungkapan suara hati seorang perempuan yang telah lama memendam rasa cinta padamu, Padamu Negeri. Jayalah selalu Indonesia Raya, sekali merdeka tetap merdeka.

0 komentar:

Posting Komentar