Penghindaran
yang Mengakibatkan Stress
Oleh:
Nurul Hikmah Sofyan
Ah,
rasanya semakin ke sini, semakin masygul saja diri ini, atau malah
pura-pura sok sibuk ya? Hmm,yang jelas saya tak mau terlalu ambil pusing soal
ini. Kini saya tengah menginjak semester 3, kompetensi di kelas semakin ketat, wawasan
kawan-kawan saya semakin meluas, tingkat kualitas pertanyaan ketika sesi tanya
jawab pada saat presentasi pun semakin meninggi, bukan pertanyaan ‘apa’, ‘dimana’,
atau’ kapan’ seperti di bangku SMA, tapi pertanyaan tingkat tinggi ‘bagaimana’
atau ‘mengapa’. Senarai pertanyaan terlontar yang tak jarang membuat pusing
tujuh keliling para penyaji makalah. Di semester inipun saya mulai berjumpa
dengan profesor, sudah bisa ditebak, kualitas referensi guna pembuatan makalah
juga musti ditingkatkan. Sang profesor pun menganjurkan mahasiswanya untuk tak
segan membuka kitab syarh pada semester ini. Satu kalimat untuk penugasan
mulia ini, pikiran dan raga musti siap bekerja lebih ekstra.
Justru
ketika semestinya intensitas melahap buku ditingkatkan, saya malah tergoda
dengan mainan baru, apa itu? Si fulan, ah bukan. Dunia sastra, ya di semester
muda ini saya tengah tergila-gila dengan hal-hal yang berbau sastra. Waktu yang
seharusnya dialokasikan untuk mengerjakan makalah, malah tak jarang saya pakai
untuk membuka antologi cerpen, kumpulan puisi atau tulisan apapun tentang
sastra.
Pun
saya bisa berlama-lama memandangi bahasa sastra yang ianya saya rasa unik, apik
bin ajaib. Misalnya, ketika membaca puisi atau cerpen, kedua kelopak mata ini
mulai memburu kata-kata yang baru yang belum pernah saya temui. Hap! ketika
satu kata tertangkap, sontak saya langsung meraih telepon genggam saya,
berpikir sebentar untuk merangkai kalimat dari kata tadi. Aha, imajinasi saya mulai
tertumpah-tumpah dan berputar-putar di kepala,melanglang buana ke sudut
latar-latar yang menginspirasi, kalimat terangkai, mulailah dua ibu jari
menekan tuts qwerty di hape, dan jadilah satu catatan harian yang tersimpan
rapi di menu kalender.
Kebiasaan
ini mulai menjadi bagian dari rutinitas wajib saya. Sejak pertama kali saya
beli hape baru, tak satu haripun di hape saya yang tak berisi memo, bahkan
suatu waktu saya bisa menulis memo sampai 50 kali dalam sehari. Rasanya tak
habis-habis kejadian-kejadian sehari-hari yang menginspirasi untuk ditulis,
saya bersyukur bisa menangkap ilham yang tercecer dimana-mana, tentu saja lebih
dulu saya siapkan batin untuk siap menerima ilham yang bisa datang sewaktu-waktu.
Harapan kelak catatan harian saya ini akan menjadi cikal bakal ide-ide tulisan
yang akan saya bukukan suatu saat nanti, amien Ya Rabb. At least, bisa
jadi museum kenangan dan pelipur lara bagi diri sendiri. Kadang kala saya
sampai terkekeh sendiri ketika membaca ulang catatan harian yang terkadang
terasa konyol itu, hehe.
Hmmm,
rasanya curahan hati saya mulai meluber kemana-mana ya. Kembali ke edisi
perkuliahan tadi ya. Nah, akibat godaan mainan baru ini. Persiapan kuliah jadi
terbengkalai, masuk kelas khawatir, lantaran semalam tak baca materi, ketika
dibuka sesi pertanyaan, saya diam tanpa kata, ketika mau menyanggah atau
sekadar menambahi penjelasan ketika pemakalah tak bisa menjawab, saya cuma
meringis, nengok kanan, nengok kiri, hehe. Shock rasanya ketika
mendengar penjelasan dosen, huffet, saya mulai tersiksa dengan ini semua. Suasana
hati jadi tak karuan. Stress jadinya. Stress lantaran sebuah penghindaran,
penghindaran untuk membaca diktat kuliah, penghindaran dari mengerjakan tugas take
home, sampai penghindaran menyusun makalah yang semestinya sesegera mungkin
dirampungkan. Dan semua penghindaran itu saya bayar dengan kesenangan yang
tidak terlalu penting bagi studi saya, khususnya bagi bidang keilmuan yang saya
tekuni, ya dunia sastra, bisa jadi begitu.
Hey Hikmah, usahlah kau berlagak sok tahu
dengan mengatakan bahwa kegumulanmu di dunia sastra tak akan berguna bagi masa
depanmu esok, siapa menduga esok kau akan jadi novelis besar, jadi pengamat
budaya sekaligus penikmat sastra, siapa tahu
namamu akan mengangkasa di dunia kepenulisan sebagai praktisi
pendidikan, dan bukumu dip-display di toko-toko buku. Allahu a’lam.
Siapa duga yang terjadi hari esok?
Saya
jadi teringat pesan kyai dan ustadz saya di Madrasah Aliyah dulu, belajar itu
bukan mencari nilai, tapi niatkanlah belajarmu untuk mencari nilai dari nilai
itu sendiri. Dan saya akhiri tulisan ‘geje’ ini dengan quote yang saya
kutip dari buku karangan Coleen Armstrong yang berjudul: The Truth About
Teaching; What I Wish the Veterans Had Told Me, yang saya pinjam dari
perpustakaan institut kampus saya:
“Scores
are too literal; scores do not represent the union of the intellectual and
emotional. Scores have no soul.” (John Cutuly)
Semarang,
26 September 2013
Ketika
listrik padam, dan saya stress tak bisa menyetrika baju-baju yang sudah
menumpuk di atas kasur, satu penyebabnya, karena sebuah penghindaran dari
rutinitas mencuci yang semestinya bisa saya kerjakan lebih awal. Huffet.
0 komentar:
Posting Komentar