Kamis, 17 Oktober 2013

Catatan Anak Kampus



Penghindaran yang Mengakibatkan Stress
Oleh: Nurul Hikmah Sofyan
Ah, rasanya semakin ke sini, semakin masygul saja diri ini, atau malah pura-pura sok sibuk ya? Hmm,yang jelas saya tak mau terlalu ambil pusing soal ini. Kini saya tengah menginjak semester 3, kompetensi di kelas semakin ketat, wawasan kawan-kawan saya semakin meluas, tingkat kualitas pertanyaan ketika sesi tanya jawab pada saat presentasi pun semakin meninggi, bukan pertanyaan ‘apa’, ‘dimana’, atau’ kapan’ seperti di bangku SMA, tapi pertanyaan tingkat tinggi ‘bagaimana’ atau ‘mengapa’. Senarai pertanyaan terlontar yang tak jarang membuat pusing tujuh keliling para penyaji makalah. Di semester inipun saya mulai berjumpa dengan profesor, sudah bisa ditebak, kualitas referensi guna pembuatan makalah juga musti ditingkatkan. Sang profesor pun menganjurkan mahasiswanya untuk tak segan membuka kitab syarh pada semester ini. Satu kalimat untuk penugasan mulia ini, pikiran dan raga musti siap bekerja lebih ekstra.
Justru ketika semestinya intensitas melahap buku ditingkatkan, saya malah tergoda dengan mainan baru, apa itu? Si fulan, ah bukan. Dunia sastra, ya di semester muda ini saya tengah tergila-gila dengan hal-hal yang berbau sastra. Waktu yang seharusnya dialokasikan untuk mengerjakan makalah, malah tak jarang saya pakai untuk membuka antologi cerpen, kumpulan puisi atau tulisan apapun tentang sastra.
Pun saya bisa berlama-lama memandangi bahasa sastra yang ianya saya rasa unik, apik bin ajaib. Misalnya, ketika membaca puisi atau cerpen, kedua kelopak mata ini mulai memburu kata-kata yang baru yang belum pernah saya temui. Hap! ketika satu kata tertangkap, sontak saya langsung meraih telepon genggam saya, berpikir sebentar untuk merangkai kalimat dari kata tadi. Aha, imajinasi saya mulai tertumpah-tumpah dan berputar-putar di kepala,melanglang buana ke sudut latar-latar yang menginspirasi, kalimat terangkai, mulailah dua ibu jari menekan tuts qwerty di hape, dan jadilah satu catatan harian yang tersimpan rapi di menu kalender.
Kebiasaan ini mulai menjadi bagian dari rutinitas wajib saya. Sejak pertama kali saya beli hape baru, tak satu haripun di hape saya yang tak berisi memo, bahkan suatu waktu saya bisa menulis memo sampai 50 kali dalam sehari. Rasanya tak habis-habis kejadian-kejadian sehari-hari yang menginspirasi untuk ditulis, saya bersyukur bisa menangkap ilham yang tercecer dimana-mana, tentu saja lebih dulu saya siapkan batin untuk siap menerima ilham yang bisa datang sewaktu-waktu. Harapan kelak catatan harian saya ini akan menjadi cikal bakal ide-ide tulisan yang akan saya bukukan suatu saat nanti, amien Ya Rabb. At least, bisa jadi museum kenangan dan pelipur lara bagi diri sendiri. Kadang kala saya sampai terkekeh sendiri ketika membaca ulang catatan harian yang terkadang terasa konyol itu, hehe.
Hmmm, rasanya curahan hati saya mulai meluber kemana-mana ya. Kembali ke edisi perkuliahan tadi ya. Nah, akibat godaan mainan baru ini. Persiapan kuliah jadi terbengkalai, masuk kelas khawatir, lantaran semalam tak baca materi, ketika dibuka sesi pertanyaan, saya diam tanpa kata, ketika mau menyanggah atau sekadar menambahi penjelasan ketika pemakalah tak bisa menjawab, saya cuma meringis, nengok kanan, nengok kiri, hehe. Shock rasanya ketika mendengar penjelasan dosen, huffet, saya mulai tersiksa dengan ini semua. Suasana hati jadi tak karuan. Stress jadinya. Stress lantaran sebuah penghindaran, penghindaran untuk membaca diktat kuliah, penghindaran dari mengerjakan tugas take home, sampai penghindaran menyusun makalah yang semestinya sesegera mungkin dirampungkan. Dan semua penghindaran itu saya bayar dengan kesenangan yang tidak terlalu penting bagi studi saya, khususnya bagi bidang keilmuan yang saya tekuni, ya dunia sastra, bisa jadi begitu.
 Hey Hikmah, usahlah kau berlagak sok tahu dengan mengatakan bahwa kegumulanmu di dunia sastra tak akan berguna bagi masa depanmu esok, siapa menduga esok kau akan jadi novelis besar, jadi pengamat budaya sekaligus penikmat sastra, siapa tahu  namamu akan mengangkasa di dunia kepenulisan sebagai praktisi pendidikan, dan bukumu dip-display di toko-toko buku. Allahu a’lam. Siapa duga yang terjadi hari esok?
Saya jadi teringat pesan kyai dan ustadz saya di Madrasah Aliyah dulu, belajar itu bukan mencari nilai, tapi niatkanlah belajarmu untuk mencari nilai dari nilai itu sendiri. Dan saya akhiri tulisan ‘geje’ ini dengan quote yang saya kutip dari buku karangan Coleen Armstrong yang berjudul: The Truth About Teaching; What I Wish the Veterans Had Told Me, yang saya pinjam dari perpustakaan institut kampus saya:
“Scores are too literal; scores do not represent the union of the intellectual and emotional. Scores have no soul.” (John Cutuly)

Semarang, 26 September 2013
Ketika listrik padam, dan saya stress tak bisa menyetrika baju-baju yang sudah menumpuk di atas kasur, satu penyebabnya, karena sebuah penghindaran dari rutinitas mencuci yang semestinya bisa saya kerjakan lebih awal. Huffet.



0 komentar:

Posting Komentar