Jihad Sastrawan dalam
Membangun Peradaban: Sebuah Refleksi Minor Pemikiran Ali Syari’ati
Ketika mengikuti kuliah perkembangan
pemikiran Islam, ada satu pemikiran cendekiawan Ali Syari’ati yang menyita
perhatian saya, yakni sewaktu salah satu
teman yang bertugas sebagai presentator menjelaskan ihwal bagaimana metodologi Ali Syari’ati Menentukan Sejarah
Hari Esok (Tomorrow’s History).
Apa yang ada dalam benak jika
mendengar kata sejarah? Sebagian besar bisa dipastikan menjawab bahwa
memperbincangkan sejarah pasti selalu dikaitkan dengan rentetan peristiwa masa
lalu. Walau bagaimana pun, Ali Syari’ati tidak secara paripurna melepaskan konteks
masa lalu dalam hubungannya menentukan sejarah hari esok. Menurut
perspektifnya, sejarah merupakan sebuah pengulangan pelbagai pola peristiwa.
Bukan peristiwa sejarah yang terulang sama persis melainkan nilai-nilainya akan
terulang kembali. Maka tak heran, ada ungkapan sejarah bisa saja terulang.
Sebagaimana jargon populis Bung Karno “JASMERAH” (Jangan Lupakan Sejarah). Begitu
penting bukan pengetahuan dan pemahaman akan sejarah?
Jika paradigma telah tertata sedemikian
rupa bahwa senarai pola sejarah akan terulang di masa depan maka tak begitu
sukarbagi kita untuk memprediksi kejadian di masa mendatang melalui pemahaman
nilai-nilai inti-universal. Tentu saja kepentingan mengikat diri pada masa
silam (baca: mempelajari sejarah) diniatkan agar manusia tidak terperosok pada
jebakan-jebakan zaman serupa.
Guna memudahkan menentukan sejarah
hari esok, terlebih dahulu Ali Syari’ati mengklasifikasikan komponen masyarakat
dalam andilnya mengkonstruksi peradaban menjadi tiga bagian yang ia gambarkan
dalam bentuk kerucut. Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang bermassa
mayoritas, kelompok kedua ditempati oleh kaum terpelajar seperti
sarjana, intelektual, pemikir, dan kelompok yang terakhir-yang menempati posisi
teratas dari kedua kelompok sebelumnya- adalah kelompok sastrawan dan filosof
yang pemikirannya banyak mendapatkan pertentangan dari kaum intelekual
sezamannya. Perhatikan gambar di bawah ini.
Satu hal yang menarik bagi saya
adalah pandangan kelompok paling minor-sastrawan dan filosof-yang justru
cenderung berseberangan dengan kaum pelajar dan bahkan ditentang habis-habisan
oleh masyarakat awam. Barangkali karena pandangan penyair, misalnya, kerap
dianggap nyeleneh dan non-mainstream, entah memang beda atau sengaja
membeda. Intinya, pandangan mereka tetap mendapatkan pertentangan dari pihak khalayak.
Kendati faktanya demikian, justru kelompok filsuf dan penyair yang berjumlah
minim inilah yang punya andil paling besar dalam membangun sebuah peradaban. Tak
dinyana pemikiran filosof dan penyair, entah diam-diam atau terang-terangan
diikuti oleh kaum pelajar di zaman berikutnya. Artinya, usai pergantian abad
dan meninggalnya para filosof dan sastrawan, baru golongan kedua mengikuti alur
pemikiran kaum tertinggi ini di zaman sebelumnya. Pola-pola tersebut akan
berlaku di segala zaman, demikian kata Ali Syari’ati.
Berbicara soal penyair, saya jadi
teringat pernyataan KH. Fadlolan ketika memberikan sambutan bedah buku “Maha
Cinta” karya Aguk Irawan di Ma’had al-Jami’ah Walisongo beberapa bulan silam,
beliau mengatakan bahwa “Sastrawan lebih lihai dan peka dalam membaca dinamika
lingkungan ketimbang ilmuwan.” Di awal mendengar pernyataan ini saya berpikir,
bagaimana mungkin sastrawan bisa lebih peka daripada ilmuwan?. Semakin ke sini,
sembari masih terus merenungkan pernyataan Kyai saya, pada akhirnya saya
mengamini pernyataan beliau juga. Penyair lebih intens, jika enggan dikatakan
terlalu asyik, membaca keadaan dibandingkan ilmuwan yang notabene-nya
sekadar mengamati diskursus dan dinamika keilmuwan, tentu saja terlepas dari
konteks ilmuwan yang mampu bersastra.
Pada zaman Jahilyah pun, penyair menduduki posisi yang membanggakan
dan terhormat ketimbang komponen masyarakat lainnya. Sampai-sampai sastra
dikeramatkan oleh kabilah-kabilah Arab meski kata-katanya tak mempunyai arti
sama sekali. Pada zaman itu seorang penyair adalah tokoh yang paling ditaati,
jauh melebihi agamawan maupun filosof, hingga turunlah al-Qur’an sebagai
mu’jizat Nabi Muhammad Saw. sebagai pesaing sastra Jahiliyah. Sekaligus kata
Syauqi Dlaif dalam bukunya Fi Ashr al-Adab al-Jahiliyah adalah upaya
penghargaan Tuhan kepada para sastrawan. Maka tak heran Nabi Muhammad Saw. juga
berpuisi saat perang Khandaq dan sahabat Nabi, Hasan bin Tsabit, selalu membuat
semangat Nabi dalam jihad membela hak muslimin dengan kaum kafir. (Aguk Irawan,
2013: 47).
Jika menilik konteks ke-Indonesiaan,
pada zaman orde baru betapa banyak sastrawan dipenjara hanya karena mengkritik
pemerintah lewat terciptanya puisi-puisi sosial. Misalnya kematian misterius
Wiji Tukul pada pemerintahan Soeharto yang kata salah seorang kawan saya yang
lebih mafhum seluk-beluk sejarah. Betapa eksistensi sastrawan begitu memengaruhi
stabilitas pemerintah yang tengah berkuasa pada saat itu. Barangkali, para
sastrawan pada masa itu mengalami apa yang disebut Ahmad Thohari sebagai “hamil
kegelisahan” yang maha dahsyat hingga melahirkan beragam puisi sebagai reaksi nurani
menyikapi ketimpangan di sana-sini.
Hemat saya, pemikiran Ali Syari’ati
yang menempatkan penyair pada posisi teratas cukup representatif berkaitan
dengan pengaruhnya yang cukup signifikan dalam membangun peradaban yang beradab.
Sebagai umat Muslim, cobalah buka al-Qur’an surat ke-26 yaitu surat Assyuara’
yang berarti Para Penyair. Mustahil bukan jika Allah Swt. tak mengapresiasi
para penyair sedangkan Dia mengabadikannya menjadi salah satu nama dalam Kitab
Suci umat Islam?. Betapa kita telah diperlihatkan sebuah mu’jizat yang benar-bebanr
nyata bahwa sejarah Nabi, puisi, dan penyair memiliki andil mayor dalam
mengantarkan umat Islam dengan pasukan yang jauh lebih sedikit dibandingkan
pasukan lawan meraih kemenangan. Subhanallah. Selagi mampu membaca ayat kauniyah,
disamping ayat qauliyah, mari menerangi peradaban dengan pena
(menulis) supaya kita tidak termasuk golongan yang mendustakan nikmat Gusti
Allah. Siapa pula yang menciptakan dan merekam sejarah selain makhluk yang
satu-satunya diberi kemampuan teristimewa, yaitu manusia itu sendiri, kita. Wallahu
a’lam bishshowab.
Menikmati
malam minggu di ndalem Yai.
Semarang,
30 November 2014, 02.00 a.m.
hampir semua filosof (muslim) itu penyair. salahsatunya as Syafi'i.
BalasHapusاصبر على مر الجفا من معلم * فإن رسوب العلم في نفراته
ومن لم يذق مر التعلم ساعة * تجرع ذل الجهل طول حياته
ومن فاته التعليم وقت شبابه * فكبر عليه أربعا لوفاته
وذات الفتى والله بالعلم والتقى * إذا لم يكونا لاعتبار لذاته
Kitab Diwan Imam Syafi'i
sip. tulisanya bagus sekali.
BalasHapuswww.m-sabiq.com