Terjebak dalam Gelombang Informasi; Stagnasi Pembudayaan Manusia
Oleh: Nurul Hikmah Sofyan
Abad ke-21 merupakan abad elektronik di mana kebanyakan dari kita
telah menjelma menjadi manusia informasi. Kemanapun kita pergi, gadget selalu
tak pernah absen dari genggaman, mulai dari telepon genggam, komputer jinjing,
tablet PC serta perangkat-perangkat elektronik lainnya yang merupakan bagian
dari produk teknologi berbasis komponen-komponen mutakhir masa kini.
Menurut Alfathri Adlin dalam buku “Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop
dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”, menyebutkan bahwa “Pencapaian teknologi
sebagaimana yang ada saat ini sebenarnya telah menjalani suatu evolusi yang
sangat panjang. Teknologi merupakan akumulasi dari pembelajaran manusia pada
masa sebelumnya yang terus dicoba untuk disempurnakan. Perkembangan percepatan
teknologi tersebut secara umum dibagi ke dalam beberapa fase yaitu, fase
penggunaan otot (
1.000.000 tahun yang lalu, serta menghasilkan alat
bantu berupa batu, palu, tombak, busur, dan lain-lain); fase penggunaan
binatang, budak, air, angin (
3000 SM hingga 1700 M, serta menghasilkan alat
pembajak, gerobak, kincir, perahu layar, huruf dan percetakan); fase
penggunaan uap, pembakaran, listrik, atau Revolusi Industri (
1700 M hingga 1940 M, serta menghasilkan
listrik, mesin uap atau bakar, pesawat terbang, foto, dan film); fase
penggunaan nuklir, elektronik, matahari (
1940-an M hingga 2000 M, serta menghasilkan
pesawat ruang angkasa, televisi, nuklir, komputer); fase teknologi informasi
yang diperkirakan akan semakin berkembang pada abad ke-21 (misalnya tampak
pada gejala cyberspace yang dengan sangat cepat mengimbas kepada berbagai
aspek kehidupan manusia lainnya).
Terjebak Gelombang Informasi
Dalam pada itu, Alfin Toffler, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaluddin
Rahmat, masyarakat terbagi menjadi tiga bagian yakni masyarakat pertanian (agricultural
society), masyarakat industri (industrial society), masyarakat
informasi (informatics society).
Saat ini, kita memasuki masa yang disebut oleh futurolog Amerika ini sebagai masa
masyarakat informasi. Tentu saja suguhan banyaknya informasi akan membuat pola
hidup manusia juga kian berubah. Telah terjadi budaya baru
yang disebut
Toffler
industriality. Dalam budaya yang baru, yang memerintah bukan raja atau kepala
suku, tetapi teknologi, mengatur hidup dan mati manusia, sejak makan, minum,
sampai sehat dan sekarat. Disadari atau tidak hidup kita tengah diperbudak oleh
benda.
Terjebaknya manusia dalam gelombang informasi, menjadi hambatan
tersendiri pembudayaan manusia. Maksud dari pembudayaan dalam konteks ini
adalah proses, perbuatan, dan cara memajukan manusia melalui teknologi. Nomina pembudayaan
memiliki makna inheren ‘lebih aktif’ dan dinamis daripada nomina kebudayaan,
yang memiliki makna keadaan ‘apa adanya’ dan terdengar kurang dinamis
(Alwasilah: 2010). Terjadinya stagnasi pembudayaan manusia di sini lebih
inheren ketika teknologi berada di tangan orang yang secara mental dan
keyakinan agama belum siap. Penggunaan iptek modern yang demikian masih lebih
banyak dikendalikan oleh orang-orang yang secara moral kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Sikap hidup yang mengutamakan materi (materialistik),
memperturutkan kesenangan dan kelezatan syahwat (hedonistik), ingin menguasai
aspek kehidupan (totaliteristik), hanya percaya pada rumus-rumus pengetahuan
empiris saja, serta paham hidup positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal
pikiran manusia tampak lebih menguasai manusia yang memegang ilmu pengetahuan
dan teknologi (Nata: 2012). Intinya, sisi manfaat teknologi tergantung
pada pelaku yang memegangnya.
Sisi Ambiguitas Teknologi
Menurut M. Abdullah Badri dalam bukunya yang bertajuk “Kritik Tanpa
Solusi “, menyebutkan bahwa teknologi mempunyai semacam ambiguitas. Satu sisi,
teknologi mempermudah mobilisasi manusia. Di sisi lain, teknologi mencerabut subjektivitas
manusia sebagai unit kebudayaan utuh yang membentuk nilai-nilai kemanusiaan.
Teknologi dalam antropologi jelas tidak dapat dipisahkan dari secara dikotomis
dari humanitas. Argumen ini didukung oleh apa yang dikemukakan oleh sosiolog
Perancis, Jacques Ellul, yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi akan memberi
pengaruh sebagai berikut: pertama, semua kemajuan teknologi menuntut pengorbanan,
yakni dari satu sisi teknologi memberi nilai tambah, tapi di sisi lain dapat
mengurangi, kedua, efek negatif teknologi tidak dapat dipisahkan dari
efek positifnya. Teknologi tidak pernah netral. Efek negatif dan positif
terjadi serentak dan tidak dapat dipisahkan, ketiga, semua kemajuan
teknologi lebih banyak menimbulkan masalah ketimbang memecahkannya.”
Menurut Jalaluddin Rahmat, teknologi informasi dapat mempengaruhi
kita lewat dua cara: kehadirannya (physical presence) dan isinya (content).
Kehadiran produk-produk teknologi canggih bukan hanya meningkatkan status
sosial, tetapi juga membentuk jaringan interaksi sosial yang baru. Satu
kekhawatiran Jalaluddin Rhamat adalah efek kehadiran teknologi di kalangan
pemuda yang menggunakan teknologi sebagai ajang rekreasi dan bukan edukasi.
Kegiatan-kegiatan produktif
seperti
belajar, sosialisasi, pendalaman nilai-nilai tradisional yang luhur
akan dialihkan menjadi
kegiatan penggunaan teknologi informasi yang rekreatif.
Menerima tanpa Mengolah
Dampak negatif dari kecanduan teknologi ini diperparah dengan penerimaan
informasi dari cyberspace tanpa tindakan pengolahan data. Seolah-olah tindak
tanduk kita justru didekte oleh sampah-sampah informasi dunia maya. Pandangan
umum bahwa semakin banyak manusia memiliki informasi maka semakin tinggi pula
status sosialnya , membuat masyarakat berlomba-lomba mencari harta karun
informasi hingga tanpa sadar menimbunnya di dalam otak tanpa filter yang
proaktif sehingga menyebabkan informasi itu hanya mandek pada tataran mengetahui
tanpa menganalisis. Walhasil, informasi-informasi yang tersimpan dalam pikiran
itu menumpuk lalu membusuk, menghilang seiring kehadiran informasi yang datang
kemudian.
Potret semacam ini justru mendistorsi hakikat teknologi yang pada
niat awalnya diciptakan sebagai sarana memudahkan kelangsungan dan kenyamanan
hidup manusia. Benar jikalau dilihat dari tatanan praktis, kita terkesan dimudahkan
dan dibuat nyaman dengan tersedianya gudang informasi yang diunggah melalui
teknologi canggih, akan tetapi disadari atau tidak hal ini justru membuat hidup
kita tidak nyaman karena stagnasi kehidupan, seolah-olah manusia nyaman di zona
nyaman yang sebenarnya malah membunuhnya nyawa hidup itu sendiri. Singkatnya,
hari demi hari hidup jauh dari perubahan yang berarti. Kita akan disibukkan
berinteraksi dengan benda mati daripada bertatap muka dengan orang-orang di
dunia nyata. Manusia akan mengalami keadaan gagap interaksi sosial, di mana gaya
hidup cenderung menjadi individualis.
Kediaman masyarakat kita tanpa memilah informasi ini menunjukkan
lemahnya daya kritis di kalangan kita. Memang tak sepenuhnya salah ketika
mengambil informasi dari dunia maya, tapi alangkah lebih baiknya informasi
dalam bentuk cyber itu tak ditelan mentah-mentah. Intinya, jangan
terlalu berkiblat padanya.
Sebagaiman yang diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
dalam buku “Akhlak Tasawuf”, sikap bijak yang semestinya diambil oleh umat Islam
dalam menghadapi zaman millenium ini adalah dengan mengambil sikap pertengahan,
yakni suatu sikap yang di satu sisi menerima dan memanfaatkan kemajuan iptek,
sedangkan pada sisi lain kita berusaha menjaga agar iptek tidak disalahgunakan.
Hal ini dimaksudkan agar sisi keberkahan teknologi dapat memberikan dampak
positif guna pembudayaan manusia dalam mobilitas horizontal maupun vertikal,
bukan justru terjebak pada kungkungan benda mati yang menghalangi diri untuk
menjadi manusia yang berbudaya. Wallahu a’lam. (The Winner of Writing
Contest on The 8th Anniversary of of FUPK 2013 IAIN Walisongo
Semarang)
0 komentar:
Posting Komentar