Diskriminasi
Gender pada Pelajaran Penjaskes
Masih
ingat pelajaran Penjaskes di jenjang SD, SMP, atau SMA?
Seusai
memelototi koran yang lumayan kadaluwarsa, kira-kira terbit 5 hari yang lalu,
ting!, akhirnya saya dapat ilham, pencerahan untuk menulis, mengisi blog
pribadi saya yang cukup lama ‘mati suri’.
Kebetulan,
mata ini tertarik pada halaman koran berbau bola. Cukup menguras pikiran juga
ketika kedua mata ini sibuk membaca baris demi baris kegemaran laki-laki ini. Banyak
istilah-istilah bola yang asing di kepala, hingga tak jarang pemahaman saya
akan berita yang disajikan parsial. Beberapa kali saya membaca berita sepak
bola sebanyak itu pula saya sulit untuk mengingat nama-nama pemain sepak bola,
mentok pemain persepakbolaan yang saya tahu sebatas Lionel Messi, Neymar Junior,
Wayne Rooney, entahlah mereka dari klub apa saya tak tahu-menahu.
Kadang
kala, saya sampai terheran-heran ketika pertandingan bola berlangsung, bukan
saja di stasiun televisi, di akun sosial media pun demam bola menyeruak di hati
pemirsa, khususnya laki-laki. Barangkali kebiasaan yang satu ini juga sulit
saya pahami, menonton bola sampai larut malam, sampai pagi pula. Lingkaran
lawan jenis inilah yang sampai saat ini sulit saya pahami. Jikalau saya analogikan,
ketidakpahaman saya akan kebiasaan lawan jenis ini sama seperti sulitnya laki-laki
memahami mengapa perempuan selalu menghabiskan waktu berlama-lama untuk
berbelanja, berputar-putar mengelilingi hampir seantero mall, betah
berlama-lama menimbang harga produk satu dengan produk yang lain, padahal harga
cuma beda tipis.
Tampaknya
pembahasan kali ini mulai melenceng dari pertanyaan awal. Kembali ke jalan yang
benar, mari! Setelah merenung sejenak, pikiran saya pergi menjelajah masa lalu,
menembus ruang waktu, menghampiri masa-masa sephia putih abu-abu, dan sampailah
pada suasana ujian ketika para siswi mengerjakan soal Penjaskes, termasuk di
dalamnya saya sebagai lakon utama,, he,,he,,. Jujur, ada semacam kekhawatiran
kecil dalam benak saya ketika menghadapi soal-soal seputar olahraga, khususnya
yang menyangkut olahraga sepakbola, volli, tenis meja, basket., mulai dari
tendangan bebas, gaya mendrible, ukuran lapangan, pokoknya itulah.
Penegasan:
tulisan ini lahir dari sudut pandang pribadi saya sebagai perempuan, jadi
tulisan ini benar-benar sangat subjektif. Secara personal, saya merasa ada semacam, kalau
boleh dikata dengan bahasa kasar, semacam diskriminasi perempuan pada soal Penjaskes,
kami yang tak akrab dan jarang berkecimpung di dunia olahraga yang didominasi
dan dikuasai laki-laki, justru malah dituntut untuk mengerjakan soal-soal yang
membuat kepala pusing tujuh keliling. Okelah, sehari sebelum atau paling tidak
malam harinya kami sudah mempersiapkan semua materi, menghafalkan taktik dan
strategi bermain bola hingga aturan-aturan permainan yang jarang kami
aplikasikan, sungguh menghapal sesuatu yang jarang atau bahkan tak sekalipun
kita praktekkan dalam rutinitas sehari-hari membutuhkan daya memeras otak yang
lebih dibanding laki-laki yang memiliki kecenderungan menyukai dan mahir dalam
berolahraga. Penyamarataan yang tak proporsional. Semestinya, soal Penjaskes
antara siswa dan siswi dibedakan, tentu hal ini tergatung bagaimana kepekaan guru
mapel mengemas Pelajaran Penjaskes agar tak menjadi momok bagi para siswi.
Oke,
saya tegaskan kembali, tulisan ini adalah bagian dari suara hati yang terdalam, berkisah tentang kegelisahan
masa putih abu-abu yang baru kali ini berani saya ungkapkan. At least but
not last, saya tetap mengapresiasi penuh atas pengadaan pelajaran Penjaskes
agar badan tetap bugar dan kebutuhan jasmani kami terpenuhi. Sempat terlintas dalam
pikiran, pelajaran Penjaskes diganti menjadi pelajaran tata boga atau materi
pengembangan diri: seperti kursus menjahit, merajut, membuat kue, menghias baju
dengan mote, dan lain-lain. Asyik deh kayaknya. J
Kota
Lumpia, 17 November 2013
Kata
Hati seorang perempuan.
Nurul
Hikmah Sofyan
0 komentar:
Posting Komentar