This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 29 November 2014

Refleksi Pemikiran

Jihad Sastrawan dalam Membangun Peradaban: Sebuah Refleksi Minor Pemikiran Ali Syari’ati


           
            Ketika mengikuti kuliah perkembangan pemikiran Islam, ada satu pemikiran cendekiawan Ali Syari’ati yang menyita perhatian saya, yakni sewaktu  salah satu teman yang bertugas sebagai presentator menjelaskan ihwal bagaimana  metodologi Ali Syari’ati Menentukan Sejarah Hari Esok (Tomorrow’s History).
            Apa yang ada dalam benak jika mendengar kata sejarah? Sebagian besar bisa dipastikan menjawab bahwa memperbincangkan sejarah pasti selalu dikaitkan dengan rentetan peristiwa masa lalu. Walau bagaimana pun, Ali Syari’ati tidak secara paripurna melepaskan konteks masa lalu dalam hubungannya menentukan sejarah hari esok. Menurut perspektifnya, sejarah merupakan sebuah pengulangan pelbagai pola peristiwa. Bukan peristiwa sejarah yang terulang sama persis melainkan nilai-nilainya akan terulang kembali. Maka tak heran, ada ungkapan sejarah bisa saja terulang. Sebagaimana jargon populis Bung Karno “JASMERAH” (Jangan Lupakan Sejarah). Begitu penting bukan pengetahuan dan pemahaman akan sejarah?
            Jika paradigma telah tertata sedemikian rupa bahwa senarai pola sejarah akan terulang di masa depan maka tak begitu sukarbagi kita untuk memprediksi kejadian di masa mendatang melalui pemahaman nilai-nilai inti-universal. Tentu saja kepentingan mengikat diri pada masa silam (baca: mempelajari sejarah) diniatkan agar manusia tidak terperosok pada jebakan-jebakan zaman serupa.
            Guna memudahkan menentukan sejarah hari esok, terlebih dahulu Ali Syari’ati mengklasifikasikan komponen masyarakat dalam andilnya mengkonstruksi peradaban menjadi tiga bagian yang ia gambarkan dalam bentuk kerucut. Kelompok pertama adalah masyarakat awam yang bermassa mayoritas, kelompok kedua ditempati oleh kaum terpelajar seperti sarjana, intelektual, pemikir, dan kelompok yang terakhir-yang menempati posisi teratas dari kedua kelompok sebelumnya- adalah kelompok sastrawan dan filosof yang pemikirannya banyak mendapatkan pertentangan dari kaum intelekual sezamannya. Perhatikan gambar di bawah ini.
Kerangka berpikir Ali Syari'ati

            Satu hal yang menarik bagi saya adalah pandangan kelompok paling minor-sastrawan dan filosof-yang justru cenderung berseberangan dengan kaum pelajar dan bahkan ditentang habis-habisan oleh masyarakat awam. Barangkali karena pandangan penyair, misalnya, kerap dianggap nyeleneh dan non-mainstream, entah memang beda atau sengaja membeda. Intinya, pandangan mereka tetap mendapatkan pertentangan dari pihak khalayak. Kendati faktanya demikian, justru kelompok filsuf dan penyair yang berjumlah minim inilah yang punya andil paling besar dalam membangun sebuah peradaban. Tak dinyana pemikiran filosof dan penyair, entah diam-diam atau terang-terangan diikuti oleh kaum pelajar di zaman berikutnya. Artinya, usai pergantian abad dan meninggalnya para filosof dan sastrawan, baru golongan kedua mengikuti alur pemikiran kaum tertinggi ini di zaman sebelumnya. Pola-pola tersebut akan berlaku di segala zaman, demikian kata Ali Syari’ati.
            Berbicara soal penyair, saya jadi teringat pernyataan KH. Fadlolan ketika memberikan sambutan bedah buku “Maha Cinta” karya Aguk Irawan di Ma’had al-Jami’ah Walisongo beberapa bulan silam, beliau mengatakan bahwa “Sastrawan lebih lihai dan peka dalam membaca dinamika lingkungan ketimbang ilmuwan.” Di awal mendengar pernyataan ini saya berpikir, bagaimana mungkin sastrawan bisa lebih peka daripada ilmuwan?. Semakin ke sini, sembari masih terus merenungkan pernyataan Kyai saya, pada akhirnya saya mengamini pernyataan beliau juga. Penyair lebih intens, jika enggan dikatakan terlalu asyik, membaca keadaan dibandingkan ilmuwan yang notabene-nya sekadar mengamati diskursus dan dinamika keilmuwan, tentu saja terlepas dari konteks ilmuwan yang mampu bersastra.
            Pada zaman Jahilyah  pun, penyair menduduki posisi yang membanggakan dan terhormat ketimbang komponen masyarakat lainnya. Sampai-sampai sastra dikeramatkan oleh kabilah-kabilah Arab meski kata-katanya tak mempunyai arti sama sekali. Pada zaman itu seorang penyair adalah tokoh yang paling ditaati, jauh melebihi agamawan maupun filosof, hingga turunlah al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad Saw. sebagai pesaing sastra Jahiliyah. Sekaligus kata Syauqi Dlaif dalam bukunya Fi Ashr al-Adab al-Jahiliyah adalah upaya penghargaan Tuhan kepada para sastrawan. Maka tak heran Nabi Muhammad Saw. juga berpuisi saat perang Khandaq dan sahabat Nabi, Hasan bin Tsabit, selalu membuat semangat Nabi dalam jihad membela hak muslimin dengan kaum kafir. (Aguk Irawan, 2013: 47).
            Jika menilik konteks ke-Indonesiaan, pada zaman orde baru betapa banyak sastrawan dipenjara hanya karena mengkritik pemerintah lewat terciptanya puisi-puisi sosial. Misalnya kematian misterius Wiji Tukul pada pemerintahan Soeharto yang kata salah seorang kawan saya yang lebih mafhum seluk-beluk sejarah. Betapa eksistensi sastrawan begitu memengaruhi stabilitas pemerintah yang tengah berkuasa pada saat itu. Barangkali, para sastrawan pada masa itu mengalami apa yang disebut Ahmad Thohari sebagai “hamil kegelisahan” yang maha dahsyat hingga melahirkan beragam puisi sebagai reaksi nurani menyikapi ketimpangan di sana-sini.
            Hemat saya, pemikiran Ali Syari’ati yang menempatkan penyair pada posisi teratas cukup representatif berkaitan dengan pengaruhnya yang cukup signifikan dalam membangun peradaban yang beradab. Sebagai umat Muslim, cobalah buka al-Qur’an surat ke-26 yaitu surat Assyuara’ yang berarti Para Penyair. Mustahil bukan jika Allah Swt. tak mengapresiasi para penyair sedangkan Dia mengabadikannya menjadi salah satu nama dalam Kitab Suci umat Islam?. Betapa kita telah diperlihatkan sebuah mu’jizat yang benar-bebanr nyata bahwa sejarah Nabi, puisi, dan penyair memiliki andil mayor dalam mengantarkan umat Islam dengan pasukan yang jauh lebih sedikit dibandingkan pasukan lawan meraih kemenangan. Subhanallah. Selagi mampu membaca ayat kauniyah, disamping ayat qauliyah, mari menerangi peradaban dengan pena (menulis) supaya kita tidak termasuk golongan yang mendustakan nikmat Gusti Allah. Siapa pula yang menciptakan dan merekam sejarah selain makhluk yang satu-satunya diberi kemampuan teristimewa, yaitu manusia itu sendiri, kita. Wallahu a’lam bishshowab.

                                                                        Menikmati malam minggu di ndalem Yai.
                                                                        Semarang, 30 November 2014, 02.00 a.m.

Senin, 13 Oktober 2014



Kami tak memiliki apapun kecuali kasih sayang orang-orang yang mencintai kami dan kasih sayang tak kenal pudar tak akan pernah terputus yang dimiliki satu-satunya entitas kekal, Gusti Allah.

Semarang, 14 Oktober 2014

Selasa, 25 Februari 2014

Sajak Rindu



Rindu Berbatas Aksara

Bukan sesiapa aku tanpa kata
Sebatas aksara ungkapan rindu terucap
Tak kenal alpa khusyuk kurapalkan doa-doa
Agar Tuhan meridhai kata hati, perempuan ini
Hingga kau mampu sadari, membaca isyarat hati
Lalu harapku, kau tafsiri senyapnya rasaku

Wahai lelaki bayangan
Sampai detik ini, yang kumampu hanya memenjarakan rindu dalam diam dan kata
Tanpa kata dalam bait-bait bernyawa
Di sudut manakah aku akan bersembunyi lagi,
bersama rindu keredam sedalam-dalamnya padamu?
Sungguh jarak telah membingkai rinduku berlipat
Kejauhan telah menghembuskan rasa dahaga akan rindu, mencekik raga serta jiwa
Semoga lewat kata,
Jauhmu  mendekat
Pulanglah pada peraduan segera
Karena rasaku pun selalu berpulang pada kejauhan,
Padamu yang telah kutitipkan segenap rasa sukma

Tak luput tanya dalam hati, adakah sama rasa kita?

Semarang, 24 Februari 2014


Rabu, 22 Januari 2014

Resensi Buku



Judul Resensi              : Neomodernisme Islam: Paradigma Integralistik Pendidikan Islam dengan Modernitas
Judul Buku                  : Pendidikan Neomodernisme Islam (Telaah Pemikiran Fazlur Rahman)
Penulis                         : M. Rikza Chamami, MSI
Penerbit                       : Walisongo Press
Tahun Terbit                : 2010
Tebal Halaman            : xvi + 224 halaman
Resensator                   : Nurul Hikmah Sofyan (PAI-3D/ 123111128)


“Pendidikan Neomodernisme Islam” merupakan buku karya M. Rikza Chamami yang berisi telaah pemikiran Fazlur Rahman, buah pikir intelektualitas seorang pemikir Islam yang menjembatani antara dunia Islam dengan modernitas.
Telaah gagasan tajdid Bapak Neomodernisme ini berawal dari kegelisahan menyaksikan keterpurukan sepak terjang dunia Islam yang belum open-minded terhadap perubahan zaman. Umat Islam yang diidentikan dengan Dunia Timur terklaim stigma negatif yang beranggapan bahwa umat Muslim itu kaum terbelakang, primitif, kuno, tradisional, klenik, mistis, dan stereotip sejenis lainnya. Pemikir kelahiran Hazara ini telah membuktikan bahwa umat Islam mempunyai alternative solution dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas yang tidak melulu mengekor pada Dunia Barat dan menawarkannya sebagai pemecah problematika dunia Islam.
Melalui disusunnya karya ilmiah ini, penulis mencoba mengetengahkan pemikiran Fazlur Rahman ihwal neomodernisme yang kemudian concern yang dibidik  oleh penulis dalam buku ini yakni mengenai pemikiran Fazlur Rahman mengenai pembaharuan dunia Islam dalam ranah pendidikan.
Neomodernisme Islam adalah gerakan keempat yang dicetuskan oleh Fazlur Rahman guna menjembatani akar tradisi Islam dengan modernisasi. Konsep neomodernisme yang digaungkan oleh Fazlur Rahman ini dijelaskan secara cukup lugas oleh penulis, pun dengan implementasinya dalam dunia pendidikan Islam.
Pendidikan sebagai lapangan yang efektif dalam memantapkan pembudayaan manusia dijadikan core gagasan dalam buku ini. Konten buku ini memetakan ihwal metodologi pemikiran neomodernisme di bidang pendidikan yang berangkat dari intelektual Islam. Benang merahnya adalah menata pola pikir dan tingkah laku umat Muslim melalui pendidikan yang diejawantahkan dalam sebuah kurikulum.
Ruh pendidikan yang berangkat dari pemahaman teks-teks suci agama Islam baik Al-Qur’an maupun Sunnah diharapkan mampu menegaskan peran konkrit umat Muslim dalam menjawab tuntunan sekaligus tantangan zaman. Tentu saja bukan hanya sekadar paham akan teks luarnya saja, namun juga memahami lebih dalam ihwal asbabun nuzul beserta asbabul wurud agar implementasi pendidikan benar-benar mencerminkan risalah historis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Melalui perpaduan antara pemahaman komprehensif mengenai kedua sumber hukum Islam tersebut yang diimbangi dengan pengetahuan modernisasi, penulis berharap akan ada perubahan progresif pendidikan Islam yang disadari atau tidak cenderung masih menutup mata akan gerbang globalisasi. Atau justru terkadang menelan mentah-mentah nilai-nilai budaya Barat tanpa filtrasi.
Penulis juga memaparkan pendidikan ala neomodernisme Islam diajarkan dengan model pedagogik yang disesuaikan secara proporsionAl dengan kebutuhan zaman di samping menjaga nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Model pembelajaran ini merupakan perpaduan antara sistem student-centered dan teacher-centered. Walhasil, interaksi guru dan murid sama-sama saling memberi feedback, sama-sama berperan aktif dalam mengkondisikan suasana belajar yang efektif, aktif, dan kondusif.
Penegasan konsep dan metodologis neomodernisme pendidikan Islam menjadi faktor x sendiri yang menjadikan buku ini patut untuk dibaca dan dipahami betul oleh kalangan akademisi khususnya para pengajar.
            Menurut resensator, kekurangan dari buku ini adalah penyusunan buku yang meliputi cover buku yang kurang menarik minat pembaca dan ketidaksesuaiannya gambar sampul dengan judul buku, pun menyangkut tata letak yang masih perlu diperbaiki. Namun, adagium tak ada gading yang tak retak musti kita ingat bahwa manusia selalu mempunyai kekurangan disamping kelebihan dalam menyetak sejarahnya sendiri melalui budaya literasi yang telah dilakukan oleh bapak M. Rikza Chamami, MSI yang telah menyusun buku pemikiran ini, hal ini sebagai tanda bukti peneguhan eksistensi belaiu sebagai akademisi.


Artikel Koran



Penghayatan Lagu-Lagu Nasional: Menggugah Semangat Kreativitas Anak Bangsa dalam Mewarnai Pendidikan Indonesia

Semakin ke sini rasanya semakin jarang pula kita menyanyikan lagu-lagu Nasional. Terlebih bagi akademisi tingkat teratas layaknya mahasiswa yang bisa dibilang sudah jarang mengadakan upacara rutin hari Senin yang di dalamnya dilantunkan lagu Indonesia Raya, Himne Guru, atau Terimakasihku. Paling banter hanya menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya ketika mengadakan acara seminar kampus. Kini lagu-lagu Nasional sudah langka terdengar di telinga, bahkan nyaris tidak pernah dinyanyikan lagi.
Masih untung bisa mengingat satu, dua atau tiga baris bait lagu-lagu Nasional tersebut, justru ada yang lebih parah seperti lupa akan lagu-lagu Nasional seiring bertambahnya usia, bukan tanpa sebab sengaja melupakan, semoga, barangkali karena tergesernya popularitas lagu-lagu kebangsaan dengan lagu-lagu pop yang bermunculan belakangan. Bait-bait 45 lagu Nasional yang sarat akan nilai-nilai luhur terkadang justru terabaikan pesan-pesan kebangsaannya. Semestinya melalui penghayatan akan lagu-lagu Nasional, warga Indonesia bisa mengambil nilai-nilai kearifan lokal ke-Indonesia-an yang nantinya bisa diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penghayatan akan pesan moralis yang tertuang dalam lirik demi lirik lagu-lagu Nasional sepatutnya dapat menjadi bahan refleksi bangsa kita untuk mengobarkan semangat nasionalisme dan pengabdian totalitas pada Bumi Pertiwi. Marilah kita simak sejenak salah satu lagu Nasional yakni “Bagimu Negeri” ciptaan R. Kusbini yang menyentuh jiwa dengan penghayatan yang dalam.
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
            Melalui renungan yang mengarah ke dalam semakin ke dalam, mafhumlah kita bahwa dedikasi terhadap bangsa dan negara musti direalisasikan secara total jiwa dan raga. Salah satu lakon yang berperan dalam memajukan bangsa adalah para tunas muda, khususnya dari kalangan akademisi yang mempunyai andil untuk menyukseskan bangsa lewat pendidikan, dalam konteks ini adalah peran mahasiswa atas partisipasinya sebagai generasi ujung tombak penerus bangsa.
Sebagaimana yang dipaparkan dalam buku kompilasi pengalaman mengajar anak bangsa “Mengabdi di Negeri Pelangi” terbitan Kompas, termaktub bahwa para Pengajar Muda Indonesia Mengajar yang merupakan para sarjana berprestasi dari berbagai universitas terbaik Indonesia ditempatkan di daerah terpencil selama satu tahun penuh. Selama mengabdi di tingkat sekolah dasar, mereka menjadi bagian dari saksi mata yang menyaksikan potret pendidikan pedesaan yang keadaannya sangat kontras dengan pendidikan di perkotaan. Mulai dari masalah paling klise yakni kemiskinan, minimnya kesadaran akan pendidikan, sarana prasarana yang kurang memadai sampai parahnya infrastruktur, dan trauma pascakonflik.
Dedikasi nyata dalam bentuk kegiatan mengajar di pedesaan yang terpencil bisa menjadi manifestasi alternatif pembelaan terhadap negara bagi muda-mudi untuk menyukseskan bangsa, setidaknya melalui tangan-tangan para Pengajar Muda Indonesia, kesenjangan pendidikan dapat tersentuh dan tercerahkan akan dunia luar oleh mereka yang peduli disamping berkompeten dan profesional. Salah seorang Pengajar Muda angkatan pertama berbagi kisah ihwal pengalamannya ketika ia ditugaskan setahun lamanya di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, sebut saja namanya Yunita Fransisca, seorang Sarjana Psikologi dari Universitas Indonesia. Selama di Paser, ia bermukim di Desa Suatang Baru, sekitar 17 km dari Tanah Grogot, ibu kota Kabupaten Paser. Memakan waktu yang cukup lama untuk mencapai desa itu, yakni sekitar empat jam perjalanan dari Balikpapan.
Alangkah mulia dan tulus niat baik para pengajar muda yang memiliki tekad untuk memberi warna yang lebih kentara di permukaan pendidikan Indonesia melalui pengorbanan tenaga, pikiran dan waktu untuk terjun langsung ke pelosok pedesaan baik dari Sabang sampai Merauke. Senyampang masih muda, selagi pikiran masih dapat terfokus untuk secara total memikirkan orang banyak, pun tenaga yang masih bisa diandalkan, berangkat dari penghayatan akan nilai-nilai luhur dalam senarai lagu-lagu Nasional, marilah kita bangkitkan semangat cinta dan dedikasi terhadap Tanah Air dengan memberantas kebodohan sebagaimana yang telah dilakukan oleh para Pengajar Muda Indonesia Mengajar. Sebagaimana amanat yang disampaikan dalam lagu Nasional “Bangun Pemuda-Pemudi” karangan Alfred Simanjuntak sebagai berikut:
Bangun pemudi pemuda Indonesia
Tangan bajumu singsingkan untuk negara
Masa yang akan datang kewajibanmu lah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas
Tak usah banyak bicara trus kerja keras
Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih
Bertingkah laku halus hai putra negri
Bertingkah laku halus hai putra negri

(Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Ujian Akhir Semester 3 Mata Kuliah Karya Tulis Ilmiah,Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, MSI, Nama Mahasiswi: Nurul Hikmah Sofyan, NIM: 123111128, Kelas: PAI-3D FITK IAIN Walisongo Semarang)