Pendidikan
sebagai Makanan Pokok Manusia
Oleh:
Nurul Hikmah Sofyan
Pendidikan
merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan
pendidikan merupakan ujung tombak upaya untuk humenisering (memanusiakan
manusia). Sebagaimana meminjam pernyataan negeri yang pertama kali mengakui
kedaulatan Republik Indonesia, Mesir, mengatakan bahwa “Pendidikan adalah hak
setiap warga negara tanpa terkecuali seperti air dan udara”. Menilik pernyataan
tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa
sudah menjadi kesepakatan bersama negara-negara di dunia, termasuk di dalamnya
Indonesia.
Dalam
penerapan kegiatan pendidikan tentu setiap negara mempunyai sistem yang berbeda-beda,
dimana hal ini direfleksikan dalam bentuk penerapan kurikuluk yang dirancang
oleh pemerintah guna memajukan sekaligus mencerdaskan suatu bangsa. Letak
perbedaan rancangan kurikulum dan sistem aplikasinya pada tiap-tiap negara di
seluruh belahan dunia adalah di antara disesuaikan oleh telaah kondisi historis,
sosial-budaya, kondisi lingkungan di dalam kelas maupun di luar kelas, dan lain
sebagainya.
Betapa
tak semudah membalikkan telapak tangan, para penyusun kurikulum harus
mempelajari dan memahami segala aspek kehidupan suatu masyarakat untuk
merancang kurikulum yang dapat mengubah manusia menjadi manusia yang paripurna
(educated and civilized people).
Ironisnya,
sistem pemerataan kurikulum di Indonesia justru menafikkan bahwa keadaan
sosio-budaya dan geografis di Tanah air itu beraneka ragam. Seakan-akan rancangan
kurikulum itu hanya diukur dari sekolah-sekolah yang terletak di kota, yang
sudah dihiasai dengan teknologi modern,
kadang kala pemerintah mengabaikan hal-hal sepele yang sebenarnya urgen guna
rancangan kurikulum. Lihatlah sekolah-sekolah yang letaknya jauh dari ibu kota,
luar Jawa, kebanyakan kurikulum yang digunakan oleh sekolah-sekolah tersebut
masih kurikulum ‘jaman dulu’, dalam artian tidak menggunakan kurikulum terbaru
yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu, banyak buku-buku diktat yang
masih menggunakan kurikulum CBSA, di sisi kanan dan kiri atas papan tulis pun
masih terpampang foto presiden Susilo dan wakil presiden Jusuf Kalla.
Tentunya
hal ini menyangkut kesenjangan kondisi geografis dan sosio-budaya yang begitu
kontras antara sekolah yang letaknya di kota dan sekolah yang letaknya di
pelosok-pelosok negeri. Minimnya sosialisasi ihwal perombakan kurikulum juga
menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan yang bisa dibilang cukup
jauh ini.
Hemat
penulis, inilah saatnya pemerintah perlu merancang kurikulum yang berkarakter
namun juga fleksibel dapat dikembangkan oleh sekolah masing-masing yang
tentunya juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial budaya suatu
masyarakat. Lantaran kurikulum merupakan alat untuk memenuhi makanan pokok
manusia (pendidikan) guna tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar