Selasa, 24 September 2013

Refleksi Pendidikan




Pendidikan sebagai Makanan Pokok Manusia
Oleh: Nurul Hikmah Sofyan

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan mutlak dalam kehidupan manusia, hal ini dikarenakan pendidikan merupakan ujung tombak upaya untuk humenisering (memanusiakan manusia). Sebagaimana meminjam pernyataan negeri yang pertama kali mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Mesir, mengatakan bahwa “Pendidikan adalah hak setiap warga negara tanpa terkecuali seperti air dan udara”. Menilik pernyataan tersebut, sudah bisa dipastikan bahwa pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa sudah menjadi kesepakatan bersama negara-negara di dunia, termasuk di dalamnya Indonesia.
Dalam penerapan kegiatan pendidikan tentu setiap negara mempunyai sistem yang berbeda-beda, dimana hal ini direfleksikan dalam bentuk penerapan kurikuluk yang dirancang oleh pemerintah guna memajukan sekaligus mencerdaskan suatu bangsa. Letak perbedaan rancangan kurikulum dan sistem aplikasinya pada tiap-tiap negara di seluruh belahan dunia adalah di antara disesuaikan oleh telaah kondisi historis, sosial-budaya, kondisi lingkungan di dalam kelas maupun di luar kelas, dan lain sebagainya.
Betapa tak semudah membalikkan telapak tangan, para penyusun kurikulum harus mempelajari dan memahami segala aspek kehidupan suatu masyarakat untuk merancang kurikulum yang dapat mengubah manusia menjadi manusia yang paripurna (educated and civilized people).
Ironisnya, sistem pemerataan kurikulum di Indonesia justru menafikkan bahwa keadaan sosio-budaya dan geografis di Tanah air itu beraneka ragam. Seakan-akan rancangan kurikulum itu hanya diukur dari sekolah-sekolah yang terletak di kota, yang sudah  dihiasai dengan teknologi modern, kadang kala pemerintah mengabaikan hal-hal sepele yang sebenarnya urgen guna rancangan kurikulum. Lihatlah sekolah-sekolah yang letaknya jauh dari ibu kota, luar Jawa, kebanyakan kurikulum yang digunakan oleh sekolah-sekolah tersebut masih kurikulum ‘jaman dulu’, dalam artian tidak menggunakan kurikulum terbaru yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu, banyak buku-buku diktat yang masih menggunakan kurikulum CBSA, di sisi kanan dan kiri atas papan tulis pun masih terpampang foto presiden Susilo dan wakil presiden Jusuf Kalla.
Tentunya hal ini menyangkut kesenjangan kondisi geografis dan sosio-budaya yang begitu kontras antara sekolah yang letaknya di kota dan sekolah yang letaknya di pelosok-pelosok negeri. Minimnya sosialisasi ihwal perombakan kurikulum juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kesenjangan yang bisa dibilang cukup jauh ini.
Hemat penulis, inilah saatnya pemerintah perlu merancang kurikulum yang berkarakter namun juga fleksibel dapat dikembangkan oleh sekolah masing-masing yang tentunya juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi sosial budaya suatu masyarakat. Lantaran kurikulum merupakan alat untuk memenuhi makanan pokok manusia (pendidikan) guna tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri.
           

0 komentar:

Posting Komentar