MEMBANGUN GOOD CITIZEN MELALUI KECERDASAN LITERASI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir
Semester
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu: Syamsul
Ma’arif, M. Ag
                                                                                    
Disusun oleh:
Nurul Hikmah Sofyan          
(123111128)
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2013
I.                  
ABSTRAK
Tidak jarang banyak orang yang lupa bahwa sukses dalam segala
bidang adalah bermula dari budaya literasi yang sama porsinya sering diabaikan
oleh kebanyakan orang. Penulis sendiri pun dihadapkan pada keraguan ketika
mengajukan judul paper ini kepada dosen pengampu. Tidak ada mendung, tidak ada
badai, tiba-tiba penulis ingin membahas ihwal pembentukan Good Citizen
melalui kecerdasan literasi (menulis dan membaca). Apakah benar ada semacam
relevansi antara kecerdasan literasi dengan pembentukan Good Citizen ?
Apakah dengan memegang kuat budaya literasi, masyarakat dapat memainkan peranan
aktifnya sebagai warga negara yang cinta dan bela Tanah Air?. 
Sudah barang tentu, hal ini memerlukan ulasan yang lebih mendalam
ihwal pembentukan Good Citizen melalui kecerdasan literasi. Dan untuk
memulai budaya literasi ini, hal yang pertama dibidik untuk menumbuhkan budaya
literasi adalah melalui pendidikan. Serangkaian perjalanan pendidikan formal
pada jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT) mempunyai peran
yang sangat strategis untuk membentuk budaya literasi ini, walau tetap tak
mengesampingkan peran orang tua sebagai pendidik kodrati yang mula-mula mengajarkan
basic education pada anak. 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Dr. A. Chaedar Alwasilah
dalam bukunya Filsafat Bahasa dan Pendidikan: “Disadari atau tidak,
keistimewaan pendidikan bahasa dalam pendidikan adalah bahwa sukses dalam
penguasaan bidang studi sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan
tulis atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi mesti menggunakan
medium bahasa. Dengan demikian, pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing)
mesti ditangani secara profesional demi suksesnya pendidikan nasional.” 
Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad pun berisi
perintah untuk membaca. Dalam arti tidak hanya anjuran untuk membaca ayat-ayat qauliyah
saja namun juga dianjurkan untuk dapat membaca ayat-ayat kauniyah-Nya
yang berupa fenomena-fenomena alam yang terjadi silih berganti di sekitar kita,
yang selanjutnya direnungi untuk menjadi bahan pelajaran bagi kehidupan.
Namun, ironisnya budaya literasi dalam dunia pendidikan di
Indonesia masih sangat kurang. Justru budaya literasi ini lebih banyak
diterapkan di negara-negara non-muslim yang tidak mengimani al-Qur’an.
Lihatlah  Jepang, salah satu rahasia
kebangkitan ranah keilmuan Jepang adalah aktivitas membacanya yang tinggi, di
manapun berada, warganya pasti selalu memegang buku (baca: membaca). 
Tingginya budaya tulis orang-orang Jepang karena learning
society (masyarakat senang belajar) dan well-informed (terbuka
dengan segala informasi) yang sudah terbangun sama tingginya dengan budaya baca
dan tulis (literate society). Apa pun yang kelihatannya remah temeh
selalu mampu menggerakkan mereka untuk menuliskannya. Hasilnya, 65.000 judul
buku diterbitkan setiap tahunnya. Sementara Indonesia pernah mengalami book
starvation (kemarau buku) pada tahun 1973. Alhamdulillah, penerbitan
untuk saat ini mencapai sudah 10.000 judul buku per tahunnya, walaupun masih
kalah jauh dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 judul buku per tahunnya. 
Prihatin adalah satu kata yang dapat menggambarkan budaya membaca
di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia. Kesadaran akan urgensi membaca
masih sangat kurang, bahkan bisa dikatakan nol. Bahkan tidak jarang ada yang
malu atau takut dianggap sombong oleh orang-orang di sekitarnya jika membaca di
tempat umum. 
Seorang penyair terkenal Indonesia, Taufik Ismail bahkan pernah
mengadakan sebuah penelitian tentang minat baca siswa ketika beliau mengajar
sastra di berbagai negara.
Hasilnya, di SMA-SMA Singapura para guru menugaskan para siswanya
untuk membaca novel sastra sebanyak 6 judul, Brunei 7 judul, Thailand 5 judul,
Jepang 15 judul, Jerman 22 judul, Amerika 32 judul, Kanada 13 judul, Prancis 20
judul, Belanda 30 judul, dan terakhir Indonesia, masya Allah… 0 (nol)
judul! 
Melalui budaya literasi, peradaban manusia akan selalu terjaga
melalui terjaganya arsip-arsip dan dokumentasi sejarah bangsa. Sampai-sampai Presiden
pertama Indonesia, Soekarno, mengatakan JASMERAH ( Jangan sekali-kali melupakan
sejarah). Ungkapan populis yang dilontarkan oleh Presiden Soekarno tersebut
menunjukkan betapa urgennya mengenang dan mengingat sejarah bangsa. Karena
sejarah memegang peranan penting agar sebuah bangsa dapat mengambil pelajaran
dari peristiwa masa lalu untuk menjadi refleksi kehidupan masa kini dan masa
depan. Karena bangsa yang berhasil membangun peradabannya adalah bangsa yang
menghormati sejarahnya sendiri. 
Perlu diketahui juga bahwa penulis sengaja menampilkan fakta budaya
literasi negara lain seperti Jepang dan secara langsung membandingkan wajah
budaya literasi kita yang cukup kontras dengan Jepang, bukan tanpa maksud,
melainkan agar kita terbangun dari tidur panjang yang melenakan hingga
benar-benar sadar dan membuka mata lebar-lebar bahwa budaya literasi kita masih
jauh tertinggal dengan negara lain.
Penulis mencoba menawarkan solusi ihwal menghadapi kelesuan budaya
literasi di kalangan pelajar melalui sebuah kurikulum pendidikan yang
menggabungkan sistem pendidikan yang berbasis karakter yang berwawasan Islam
dan teori konstrusktivis ala Barat. Hemat penulis, tak ada salahnya mengambil
hal-hal positif dari produk Barat asalkan tetap menggunakan sistem pendidikan
yang sesuai dengan karakter dan identitas bangsa Indonesia yang berasaskan pada
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
II.               
LATAR BELAKANG
Budaya literasi yang kuat di suatu komunitas masyarakat merupakan
salah satu indikator perwajahan Masyarakat Madani yang bisa dikatakan hidup.
Karena budaya literasi menggambarkan salah satu sikap Civil Society
menurut Arnes dan Habermas yakni demokratis.
Tak jarang dari segelintir pemerhati pendidikan Indonesia
mengatakan bahwa kebiasaan tulis menulis di kalangan intelektual Indonesia bagaikan
penguasa segudang gagasan namun tidak dibarengi dengan tindakan yang riil, atau
bahasa kasarnya bisa dibilang NATO (No Action Talk Only). Walau tak
menutup kemugkinan bahwa semua intelektual Indonesia memiliki mental seperti
itu, namun setidaknya hal ini bisa menjadi cambuk bagi para pemikir Indonesia
untuk mengambil satu langkah lebih maju untuk berani bertindak. Keadaan ini
diperparah dengan pemahaman literasi dari jenjang pendidikan yang hanya
menekankan pada kemampuan untuk membaca, sehingga kemampuan menulis terabaikan.
Adalah dangkalnya penguasaan fondasi-fondasi literasi yang menjadi
sebab-musabab kelesuan intelektual di kalangan output (lulusan) pendidikan
Indonesia.
Secara historis dan tradisi, bangsa Indonesia ini adalah bangsa
lisan. Semua kisah legenda ataupun mitos dilisankan. Pada zaman kolonial
Belanda, budaya baca sebetulnya sudah dibangun, baik secara perseorangan
ataupun dihimpun dalam Balai Pustaka. Tapi, pada tahun 1962, saat Ganefo (Games
Nations Emerging Forces), Bung Karno mendirikan TVRI. Masyarakat Indonesia
mulai memasuki tradisi tonton, tradisi bacanya baru seumur jagung.
Apa boleh buat, apalagi sekarang sudah ada belasan stasiun televisi baik
nasional maupun lokal yang mengudara di bumi Indonesia. Dan masyarakat
Indonesia pun dikenal sebagai ‘pembaca pasif’ yang duduk dengan tenang
mengamini semua yang disajikan oleh televisi, sehingga persepsi yang ditumbuh
di masyarakat adalah persepsi yang dikemukakan oleh televisi. Budaya yang disebut
kelisanan sekunder (secondary orality) oleh Ignas Kleden ini menunjukkan
bahwa keingintahuan mendapatkan informasi di kalangan kita seakan-akan ‘emoh’
membaca sendiri namun ingin ‘dibacakan’ melalui penuturan orang lain baik
melalui televisi, radio, maupun alat elektronik lainnya. 
Sebagaimana yang telah diungkapkan di muka, budaya literasi sangat
erat kaitannya dengan       keberadaan
potret Masyarakat Madani yang kemudian membentuk Good Citizen. Namun
jika melihat pada realita yang ada, terus terang saja kecerdasan literasi di
kalangan warga Indonesia bisa dikatakan masih lemah. Ya, Indonesia mengalami
kelesuan intelektual, tentu tanpa menampikkan para pemikir Indonesia seperti
Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, M. Dawam Rahardjo dan para pemikir lainnya.
Sudah barang tentu persaingan tak hanya diukur di dalam kandang sendiri, tetapi
juga membandingkan persaingan budaya literasi di kancah Internasional. Karena jika
berbicara ihwal intelektul, ini juga menyangkut persaingan global antarnegara
di seantero dunia.
 Mantan wakil perdana menteri
Malaysia, Anwar Ibrahim menyebutkan definisi negatif dengan melukiskan keadaan
manusia yang bertentangan dengan ciri-ciri Masyarakat Madani. Lebih lanjut ia
mengatakan:
Kemelut yang diderita umat manusia seperti meluasnya keganasan,
sikap melampaui dan tidak tasamuh ; kemiskinan dan kemelaratan ;
ketidakadilan dan kebejatan sosial. Kejahilan, kelesuan intelektual serta
kemuflisan budaya adalah manifestasi kritis Masyarakat Madani. Kemelut ini kita
saksikan di kalangan masyarakat Islam, baik Asia maupun Afrika, seolah-olah
umat terjerumus kepada suatu kezaliman; kezaliman akibat kediktatoran atau
kezaliman yang timbul dari runtuhnya atau ketiadaan order politik peminggiran
rakyat dari proses politik.  
Dalam skema kajian Islam, Islam di Indonesia bersama dengan Islam
di Asia Tenggara, sering ditempatkan sebagai Islam yang berada di wilayah
pinggiran (periphery). Robert W. Hefner, seperti dikutip Giora Eliraz
(2004), menulis sebagai berikut: “Western and Middle Eastern scholars alike
have tended to place Southeast Asia at the intellectual periphery of the
Islamic world”. Dengan posisi di pinggiran tersebut, Islam di Indonesia
sering pula dinilai bukan sebagai “Islam yang sebenarnya” (Azyumardi Azra,
1999), dan sebagai entitas Islam yang kurang memberikan peran menentukan
terhadap Islam di kawasan dunia. Padahal secara numerik, jika dibandingkan
dengan Islam yang ada di kawasan pusat (center) sekalipun, seperti Saudi
Arabia sebagai tempat lahirnya Islam, jumlah pemeluk Islam di Indonesia adalah
yang terbesar. Tetapi indikator statistik ternyata belum dipandang cukup untuk
menjelaskan keunggulan komparatif Islam di Indonesia dibandingkan dengan Islam
di kawasan lainnya. Islam di Indonesia dinilai oleh pihak luar memiliki banyak
titik lemah. Salah satu titik lemah yang banyak mendapat sorotan adalah tradisi
intelektual atau pemikiran Islam. Letak geografis yang di pinggiran, ditambah
dengan kedatangan Islam yang lebih belakangan, perlu dimasukkan sebagai
penyebab kelemahan tradisi intelektual Islam di Indonesia. Nurcholish Madjid
coba bersikap jujur dengan fakta historis tersebut. Ketika memberikan pengantar
buku C.A. Qadir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Filsafat Ilmu
Pengetahuan dalam Islam (1989), memberikan ilustrasi menarik seperti
kutipan di bawah ini:    
Cobalah kita
renungkan apa makna dari kenyataan sejarah sederhana ini: Ketika al-Ghazali
yang berasal dari kota Thus di Persia itu sibuk menulis karya-karya polemisnya
yang ditujukan kepada para filsuf (khususnya Ibn Sina), Indonesia, dalam hal
ini tanah Jawa, menyaksikan kekuasaan Kerajaan Dhaha atau Kediri dengan
Jayabaya sebagai rajanya. Al-Ghazali dan Jayabaya memang hidup dalam satu
kurun, yaitu abad 12 Masehi. Dan sebagaimana al-Ghazali meninggalkan warisan
berbagai karya tulis seperti, misalnya kitab Ihya Ulum al-Din, Jayabaya
pun meninggalkan sebuah karya tulis, yaitu buku “Jangka Jayabaya”.
Pada paragraf berikutnya, Madjid melanjutkan ilustrasinya dengan
rangkaian kalimat yang tidak kalah menarik:
Tanpa bermaksud
mengurangi nilai warisan nenek moyang sendiri, namun jelas, dari sudut
penilaian yang tidak apriori memihak, terdapat perbedaan kualitatif antara isi
karya warisan kedua tokoh itu. Yang pertama, al-Ghazali mewariskan suatu karaya
yang bersifat polemis; sedangkan yang kedua, Jayabaya mewariskan suatu karya
yang oleh banyak orang, lebih-lebih di zaman modern ini, dipandang sebagai hasil
sebuah kreativitas imaginatif, jika bukan khayalan dan reka-reka belaka.
Kontras antara tradisi yang diwariskan oleh al-Ghazali dengan
tradisi yang diwariskan oleh Jayabaya yang berpengaruh terhadap tradisi
intelektual umat Islam di Indonesia, dalam pandangan Madjid ada kaitannya
dengan sejarah Islamisasi di Indonesia yang relatif lebih baru. Kita kutip
kembali pernyataan Madjid:
Sebagai umat
Islam yang relatif muda itu, maka kaum Muslim Indonesia hanya memiliki tradisi
intelektual dari isi kepustakaan kita. Sementara itu, di anak benua
Indo-Pakistan, misalnya, disebabkan oleh pengalaman mereka memiliki sejarah
keislaman yang panjang dengan kekuasaan politik Islam yang menjadi masa lampau
gemilang anak benua itu, kita dapati kepustakaan mereka penuh dengan warisan
karya-karya klasiknya oleh anak negeri sendiri, yang memperoleh pengakuan
dunia. Dan karena adanya beberapa kesenjangan kultural antara kaum Muslim
Indonesia dengan dunia Islam pada umumnya, seperti kesenjangan kebahasaan
(tidak cukup banyak orang Muslim Indonesia yang mengetahui bahasa Arab, apalagi
Parsia, misalnya), maka tradisi intelektual yang terjadi di luar hanya sedikit
saja, jika memang terjadi, mempunyai gaung di Tanah Air. Dengan mengesampingkan
sejumlah kecil tokoh perkecualian seperti Hamzah Fansuri, Nurudin Raniri,
Syeikh Nawawi Bantani, Kyai Ihsan Muhammad Dahlan Kediri dan Hamka, maka kita
dapat mengatakan bahwa pada umumnya tradisi intelektual Islam masih
menghasilkan karya-karya yang terbatas pada hal-hal elementer, bukan pemikiran
dan perenungan mendalam.
Kendati dari sisi tradisi intelektual belum bisa dikatakan maju,
tidak berarti Islam di Indonesia tidak mengalamai dinamika. Dan tidak bisa
dipungkiri, Madjid sendiri, merupakan salah seorang tokoh penting yang patut
diberi apresiasi berkat kegigihannya dalam merintis dinamika Islam di Indonesia
dari sisi intelektual. Pada 3 Januari 1970, misalnya, di hadapan keluarga besar
empat organisasi kepemudaan Islam, Persami, HMI, GPI, dan PII, Madjid
menyampaikan pidato yang kelak menyulut kontroversi, Keharusan Pembaruan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat. Sengaja Madjid mengambil topik
tersebut dengan maksud menemukan kembali apa yang disebut dengan psychological
striking force dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Bagi Madjid,
pembaruan pemikiran Islam merupakan sebuah imperatif kendati di sisi lain
berpotensi menimbulkan ancaman terhadap integrasi umat Islam. Demikianlah
setelah pidato tesebut, Madjid disebut sebagai lokomotif pembaruan Islam di era
kontemporer.  
Demikian dinamika perkembangan budaya literasi di Indonesia melalui
kiprah para pemikirnya. Namun apabila kita melihat realita kekinian dimana
budaya literasi di bumi Indonesia masih lemah, hal ini menandakan bahwa
keinginan untuk mewujudkan Good Citizen atau masyarakat madani melalui
kecerdasan literasi hanya menjadi angan-angan belaka. Karena kelesuan
intelektual menandakan demokratisasi di kalangan kita masih di bawah standar.
Tentu hal ini menarik untuk dikaji lebih dalam, maka dari itu, penulis mencoba
mengulas secara gamblang ihwal pembentukan Good Citizen melalui
kecerdasan literasi.
III.            
PEMBAHASAN
A.   
Wahyu Pertama Islam Ihwal Perintah untuk Membaca
Sudah jamak diketahui bahwa firman Allah SWT. yang pertama kali
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah 
perintah untuk membaca yang tercantum dalam surat al-‘Alaq ayat
1-5. Sudah barang tentu perintah membaca di sini mempunyai titik penekanan yang
urgen agar umat manusia senantiasa untuk membaca. Membaca dalam dalam arti
luas, yakni membaca ayat-ayat-Nya baik qauliyah maupun kauniyah.
Perintah iqra dalam surat al-‘Alaq terulang sebanyak dua
kali. Menurut Imam al-Karmani, perintah iqra yang pertama adalah
perintah untuk membaca al-Qur’an, sedangkan perintah iqra kedua adalah
perintah untuk membaca semua buku-buku ilmu pengetahuan. Kemudian
muncul pertanyaan, mengapa perintah Allah yang pertama kali adalah untuk
membaca? Tidak lain tidak bukan karena ia merupakan pintu awal kesuksesan
seseorang dalam dunia intelektual. 
Isi kelima ayat dari Surat al-‘Alaq sungguh memiliki
substansi yang sangat transformatif. Ayat pertama yang berisi perintah untuk
membaca, yang mewakili proses pendidikan dan pedagogik. Dengan membaca, manusia
akan memperoleh pengetahuan dan pelbagai informasi yang dibutuhkan untuk refleksi
sosial. Hal ini juga membantu untuk menyediakan pondasi yang kuat, pikiran yang
aktif, dan sikap yang progresif.
Ayat yang ketiga yakni mengenai menulis dimana Allah telah
mengkolerasikannya secara gamblang yaitu menulis dengan pena. Berangkat dari
pemahaman umum kita, menulis adalah hal pokok untuk transformasi sosial.
Melalui kegiatan menulis, sebagai warisan tertinggi dari etnis manusia yang
diformulasikan dalam ilmu pengetahuan, yang selanjutnya akan disebarkan pada
generasi mendatang dan lebih jauh akan dikembangkan sebagai konsumsi dan wacana
lintas dunia. Contoh konkrit adalah al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an merupakan
dokumentasi yang penting ihwal ilmu pengetahuan dan dapat dipakai oleh orang
yang masih awam atau yang tidak memperhatikan budaya dan iman.
Ayat yang kelima adalah membicarakan ihwal pengetahuan. Manusia
harus mengejar ilmu dalam naungan petunjuk Allah. Jadi, al-Qur’an yang berupa
kalam Allah merupakan simbolisasi dari ilmu pengetahuan, maka dari itu Muslim
harus mengaktualisasikaanya pada masyarakat. Ini adalah waktu yang tepat bagi
manusia untuk menyerap spirit dari turunnya al-Qur’an untuk mencari
transformasi sosial dan rekonstruksi untuk pengembangan masyarakat.
Manusia seharusnya diberi kuasa dan didorong untuk unggul dalam
ranah pendidikan, literasi, kritik sosial, dan pedagogik publik. Tanpa
kepemilikan kompetensi dalam ranah tersebut, suatu komunitas akan jatuh pada
jebakan marginalisasi proses perkembangan globalisasi. Ini adalah fakta yang
populis dimana budaya membaca di kalangan Muslim masih rendah, terlebih dalam
ranah literasi kritis. Kegagalan untuk meminun budaya membaca akan mengantarkan
Muslim pada isolasi arena informasi dan begitu juga penghalang-penghalang
partisipasi di semua aspek. Pelbagai buku dan literatur yang tersedia bagi
publik seharusnya juga bebas dari dominasi pandangan satu arah, khususnya
apabila didominasi oleh golongan elit yang mempunyai kepentingan tetap pada
area sosial maupun ekonomi. Kebebasan untuk menyebarkan pengetahuan diharapkan
akan membangkitkan peningkatan standar moral dan intelektual di masyarakat. 
Dalam kajian filsafat diketahui bahwa manusia mempunyai dua
kepribadian. Pertama, intelektual (‘aqilat), suatu kepribadian
menalar, meneliti, mengkritik, membuat pemecahan-pemecahan, mengubah pendapat
yang kemarin diyakininya, dan mengorek apa yang kemarin dibangunnya. Kedua,
syari’at (hati nurani), kepribadian merasa, merasakan kebahagiaan,
penderitaan, kegembiraan, kesedihan, keinginan, keterbatasan, ketakutan, dan
keyakinan tanpa kritik. 
Berangkat dari pendekatan tersebut, sudah semestinya manusia
mengembangkan dan mengasah potensi intelektualnya secara kontinyu. Karena
potensi tak akan berguna dan berfungsi jika hanya didiamkan dan tidak
diberdayakan. Sungguh mengembangkan potensi intelektual yang dikarunia oleh
Tuhan merupakan bentuk rasa syukur manusia terhadap anugerah yang diberikan
oleh Sang Pencipta.
Pun banyak ulama-ulama Muslim yang mencapai puncak kesuksesan
melalui magnum opus-nya yang masih terus menyejarah dan digunakan oleh generasi-genarasi
sesudahnya hingga masa sekarang. Para ulama tersebut mengisi usianya dengan
menorehkan banyak karya dan mengukir sejarahnya sendiri melalui budaya
literasi. Tak tanggung-tanggung, bahkan hasil torehan tinta emasnya dapat
melebihi usianya.
Syekh Ali Thantawi membaca 100-200 halaman setiap harinya. Bila
kita kalkulasikan dengan umurnya yang hanya berumur 70 tahun. Beliau telah
membaca sebanyak 5.040.000 halaman buku. Baik buku yang besar maupun kecil. Kemudian
ada lagi, Syekh Yusuf al-Qardhawi, siapa yang tak mengenal dengan ulama tenar
dunia saat ini. Ya, nama beliau sudah dikenal sebagai ulama terkemuka dunia.
Beliau adalah ulama terproduktif saat ini. Ratusan buku tentang fatwa-fatwa
kontemporer telah beliau hasilkan. 
Meskipun beliau sibuk dalam berdakwah ke berbagai negara, menjabat
mufti agung di Qatar, namun beliau tetap produktif berkarya. Tercatat buku-buku
beliau sudah beredar tidak kurang dari 100 judul dari 14 bidang pembahasan
ilmu. Perlu diketahui juga bahwa beliau juga tidak pernah menyia-nyiakan
waktunya hanya sekadar duduk menikmati perjalanan antara negara. Dalam satu
kali penerbangan, beliau mampu menghasilkan satu judul buku. Sungguh luar
biasa! 
Apabila ditarik ke dalam ranah ke-PKN-an, hidupnya budaya literasi
merupakan indikator dari bernyawanya demokratisasi di suatu negara, terlebih di
negara kita yang menganut sistem demokrasi. Sudah barang tentu, budaya literasi
ada kaitannya dengan kebebasan mengemukakan pendapat yang telah diatur dalam
Undang-Undang Dasar pasal 28E ayat 3 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ini merupakan suatu
bentuk sumbangsih yang dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia dalam
memainkan perannya sebagai warga negara yang cinta dan bela Tanah Air. 
B.    
Pembentukan Good Citizen melalui Kecerdasan Literasi
Sebelum berbicara panjang lebar ihwal pembentukan Good Citizen
melalui kecerdasan literasi. Adalah perlu untuk mengetahui dan memahami apa itu
Good Citizen yang tercermin pada pembentukan Masyarakat Madani (Civil
Society) dan bagaimana karakteristiknya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari Masyarakat Madani
adalah masyarakat kota; masyarakat yang menjunjung tinggi nilai, norma, hukum
yang ditopang oleh penguasaan iman, ilmu, dan teknologi yang berperadaban. 
Nilai, norma, hukum, dan iman adalah potensi-potensi psikologis
yang inheren dalam setiap masyarakat dan relatif statis dibandingkan dengan
ilmu, teknologi dan peradaban. Dengan kata lain, ‘bermadani’ selalu menyaratkan
pemertahanan nilai-nilai tradisional dan pada waktu yang bersamaan
disalinghadapkan dengan ilmu dan teknologi yang tak sabar untuk berlari tanpa
henti. Berperadaban adalah proses belajar secara kolektif dan sepanjang sejarah
sehingga mencapai derajat cultured, yakni masyarakat yang berpendidikan,
yang indikatornya mencakup kemampuan membaca dan menulis. Dua kegiatan ini
adalah media transformasi dari tahap ke tahap peradaban manusia sepanjang
sejarah. Lewat kaji ulang tulis-menulis kita dapat mengungkap kesejarahan
peradaban manusia. 
Literasi madani merupakan niscaya untuk membangun Masyarakat Madani,
yang merupakan ajang partisipasi warga negara sebagai bagian dari menghidupkan
lahan demokrasi. Hal ini bisa diwujudkan melalui aktivitas warga yang dapat
berpikir kritis dengan membaca keadaan (baca: analisis) ihwal dinamika problematika
bangsa dan negara yang tiada habisnya kemudian menuangkannya pada hasil konkrit
kecerdasan literasinya berupa artikel, opini, kolom, memo, buletin, surat
pengaduan dan lain sebagainya.
Menilik realita budaya literasi konteks keindonesiaan yang masih
tertinggal dengan negara-negara lain di belahan bumi ini, maka salah satu cara
untuk membangkitakan budaya literasi adalah melalui pengubahan mind-set
anak bangsa melalui pendidikan. Karena problematika kelesuan intelektual ini
menyangkut salah satu masalah pendidikan yang tak pernah selesai (unfinished
agenda). Melalui pendidikan siswa dapat dilatih untuk mengembangkan nalar
kritis terhadap fenomena alam yang terjadi di sekitarnya, di dalam kelas maupun
di luar kelas, bukan hanya mengedepankan hafalan materi pelajaran tetapi juga
menyerap nilai-nilai yang terkandung dalam materi pelajaran.
 Sebagaimana yang dikatakan
oleh Bill Beattie: “ The aim of education should be to teach us rather how
to think, than what to think rather to improve our minds, so as to enable us to
think for ourselves, than to load the memory with thoughts of other men”. 
Pengembangan nalar kritis pada anak didik, yang ianya
termanifestasi melalui budaya literasi, merupakan tugas para pendidik jabatan
(guru) untuk menumbuhkan, melakukan pembiasaan, dan senantiasa memberikan
motivasi terhadap anak didik, baik motivasi ektrinsik berupa reward
maupun motivasi instrinsik dimana ditandai dengan terciptanya mind-set
peserta didik akan pentingnya budaya literasi bagi kehidupan dalam jangka
panjang.
C.   
Realita Budaya Literasi di Jenjang Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi
Dari sekian banyak persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia
sekarang ini, yang paling menonjol adalah isu maraknya korupsi rendahnya
literasi, lemahnya daya saing, dan rusaknya manajemen layanan publik. Berbagai
pengamat sosial asing menengarai situasi ini sebagai akibat dari sistem
pendidikan dan politik kebudayaan Orde Baru yang telah menciptakan iklim budaya
anti-intelektual. Dari telaahnya terhadap buku-buku teks IPS tingkat SD sampai
dengan SMU, Niels Mulder dalam Indonesian Images: The Culture of the Public
World (2000) secara kritis menyatakan sebagai berikut:
...intellectuals are new to Indonesia, that there is hardly a tradition
of critical thought, that is all just in the making. Besides, the development
of a critical discourse is thwarted by censorship, ideological manipulation,
and mediocre academic standards… and so ideological hegemony, conceptual
confusion and ethical inclination combine in a distinctly anti-intellectual
cultural climate (2000: 108).
Dengan demikian, buku-buku teks IPS khususnya selama rezim Orba
berperan bukan sebagai media pencerdasan bangsa, melainkan sebagai media
propaganda politik yang dikemas dalam materi ajar. Dengan kata lain, buku teks
adalah cerminan wacana publik, yakni bagaimana publik direkayasa oleh negara
untuk berpikir, bersikap, dan bertindak dalam merespon berbagai isu sosial.  Selama kurang lebih 30 tahun informasi dalam
buku teks tersebut telah dijejalkan kepada sekian juta anak bangsa, sehingga
memunculkan sebuah generasi lembek yang kurang tajam nalarnya, yang dalam
istilah Mulder disebut “born to be meek” (2000: 221). Bila lulusan
pendidikan dasar dan menengah lemah, maka input PT pun pasti tidak unggul, jauh
tertinggal, misalnya, oleh generasi 1928. Tidaklah mengherankan jika Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Feisal Tamim mengakui hanya 40 % saja
dari sekitar 4 juta PNS di Indonesia yang profesional, produktif, berkualitas (Pikiran
Rakyat, 25-09-2002). 
Lemahnya daya kritis-kreatif (maha) siswa Indonesia selama ini
terpulang kepada dua hal, yakni kultur tradisional dan sistem serta praktik
pendidikan. Mayoritas responden (mahasiswa Indonesia di AS) menyatakan bahwa
pendidikan yang diperolehnya di Indonesia tidak membekali mereka kemampuan
berpikir kritis dan menyadari bahwa menulis akademik dan presentasi di depan
kelas merupakan tugas akademik yang paling sulit bagi mereka. Kesulitan serupa
dialami juga oleh mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia. Di Australia
mereka merasa beruntung dilatih mengembangkan kemampuan berpikir kritis ketika
membaca teks-sesuatu yang tidak diajarkan di Indonesia. Survei lain (Alwasilah:
2004) dengan responden mahasiswa S2 jurusan Pendidikan Bahasa Inggris UPI
mengungkap sejumlah temuan sebagai berikut. Siswa SD sampai SMU bahkan
mahasiswa S1 di Indonesia kurang kritis karena tiga hal: pengaruh budaya
tradisional, guru dan dosen tidak tahu cara mengajarkan berpikir kritis, dan
rendahnya kualitas dosen dan mahasiswa. Bahkan secara keseluruhan masyarakat
Indonesia dinilai kurang kritis karena tiga hal: warisan budaya tradisional,
rendahnya kadar demokrasi dalam pemerintahan Indonesia, dan rendahnya populasi
yang berpendidikan. 
Demikian potret kelesuan berpikir kritis anak bangsa Indonesia,
sebagai dampak yang berkepanjangan atas pengebirian intelektual di masa Orde
Baru yang mengakibatkan bungkamnya anak bangsa yang diwujudkan dengan berpikir
kritis dan ketajaman nalar sebagai respon ihwal isu-isu dan problematiaka
sosial. Hal ini diperparah dengan terjangkitinya bangsa Indonesia mental
colonization sebagai efek negatif dari terjajahnya bangsa Indonesia selama
3,5 abad oleh Belanda. Hal ini menimbulkan minimnya rasa percaya diri untuk
tampil beda, kebanyakan tatanan kehidupan bangsa ini cenderung hanya lebih
mengikuti apa yang diwariskan oleh para pendahulu dan terkesan pesimis hingga
berjalan di tempat. Ditambah lagi budaya pakewuh dalam tradisi Jawa yang
membuat mental berpikir kritis sulit untuk dikembangkan. 
Hal
ini dikuatkan oleh pernyataan Dr. Frans Tshai, seorang warga Indonesia yang
begitu gigih membela nilai-nilai Indonesia, meski ia memiliki pengalaman yang
kaya ketika belajar lama di luar negeri, beliau berujar: “Sistem pendidikan
kita menganut sistem bebek dan ngamuk”. Akibatnya, tak ada nilai kompetisi di
dalamnya dan lebih banyak berekor seperti kasta bebek (bandwagon effect)
kata Presiden Soekarno. 
D.   
Urgensi Pendidikan Kritis Guna Membangun Kecerdasan Literasi
Sejak dahulu manusia telah dideskripsi sebagai hewan berpikir.
Kemampuan berpikir kritis (KBK) inilah yang membedakannya dengan makhluk lain.
Tidak mengherankan jika Rene Descartes (1596-1650) dari kesangsiannya terhadap
segala kebenaran itu memunculkan diktum yang terkenal, “cogito ergo sum”,
aku berpikir maka aku ada. Persoalannya, apakah berpikir itu menjadi itu
menjadi kualitas yang inheren pada setiap manusia atau lebih sebagai kualitas
yang diperoleh lewat upaya tersengaja. Tampaknya, yang disebut terakhirlah yang
mendekati kebenaran. Buktinya, tujuan pendidikan telah mengeksplisitkan
pentingnya kualitas kecerdasan, sebagaimana tertuang dalam Bab II, Pasal 3 UU
Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
sebagai berikut:
            Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab.
            Artinya sistem Pendidikan Nasional
dinawaitukan untuk mengembangkan potensi kecerdasan bangsa, dan tanpa
pendidikan potensi itu tidak mungkin berkembang secara maksimal. Ini pun
berarti bahwa tingkat kecerdasan seseorang, masyarakat, dan bangsa akan sangat
ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Dalam kutipan di atas ada tiga kunci
yang akan banyak disebut dalam perbincangan pendidikan berpikir kritis, yaitu
“kecerdasan”, “kreatif”, dan “demokratis”. 
            Untuk sukses membentuk generasi yang
mempunyai nalar kritis yang tinggi di sekolah, ada baiknya budaya berpikir
kritis ini dimulai dari lingkup keluarga. Dimana orang tua sebagai pendidik
kodrati si anak, baiknya membiasakan reading-habit dengan menyediakan home-library
bagi anak. Mau tidak mau, reading-habit mesti dimulai dari lingkungan
keluarga sebelum si anak memasuki wilayah di dunia luar rumah. Namun tak sampai
di situ saja, orang tua juga sebaiknya menjadi teladan bagi si anak untuk
mencintai budaya membaca.
E.    
Mengembangkan Dasar-Dasar Literasi Melalui Pendidikan
Pendidikan dibangun diniati untuk mengubah bangunan pemikiran anak
bangsa. Dan media yang berperan sebagai dasar untuk merealisasikan tujuan
pendidikan adalah kurikulum pendidikan itu sendiri. namun yang salah dipahami
atau banyak dilupakan adalah bagaimana mengubah mind-set pendidik
terlebih dahulu sebelum mengajarkan peserta didik untuk mengubah mind-set-nya.
Adalah nonsense apabila kurikulum berganti berkali-kali, namun mind-set
pengajar begitu melulu. Begitu kompleknya jika kita membahas ihwal pendidikan,
namun tak dapat dipungkiri bahwa ia merupakan hal yang tidak dapat terpisah
dengan kehidupan anak Adam, karena pendidikan merupakan tombak pengubah manusia
menjadi manusia yang lebih baik, yakni menjadi manusia yang paripurna.
Kembali pada pembentukan sikap kritis melalui kegiatan literasi, pertanyaan
yang selanjutnya mencuat ke permukaan adalah bagaimana kurikulum beraksi untuk
menghidupkan budaya literasi di kalangan peserta didik?
Solusi yang dapat penulis tawarkan adalah bagaimana mengembangkan
sikap kritis melalui kecerdasan literasi yang dikemas melalui penggabungan
teori konstruktivis dan pendidikan karakter yang sarat akan nilai-nilai Islam.
Penulis meyakini bahwa semua teori pendidikan mempunyai kelebihan dan di satu
sisi terdapat kekurangan di sana sini.  Satu
dari sekian teori yang sangat berpengaruh pada kurikulum pendidikan adalah
teori konstruksivis, teori ini berakar pada sebilangan disiplin seperti linguistik,
psikologi, sejarah, sains, sosiologi dan filsafat. Pendidikan dalam paradigma
ini lebih berfokus pada proses pemahaman dibandingkan fokus pada materi ajar.
Ada lima dalil konstruktivis seperti digagas Brooks dan Brooks
dalam The Case for Constructivist Classsroom (1999) sebagai berikut:
1)     
Guru
mencari dan menghargai pandangan siswa yang berbagai-bagai. Siswa dirangsang
untuk berani bahkan ‘nekad’ berbeda pendapat dengan siswa dan bahkan dengan
guru sekalipun. Perbedaan justru anugerah kurikular demi pencerdasan dan
kepekaan sosial. Berdasar perbedaan inilah pelajaran berikutnya dibangun. Tes
objektif dengan demikian membanting pintu kebebasan untuk berbeda pendapat.
2)     
Kegiatan
kelas dicetak biru untuk menantang segala pra-anggapan siswa. Segala siswa,
apapun latar belakangnya, hadir di kelas dengan pengalaman hidup yang membangun
pra-anggapan dan mungkin keyakinannya ihwal kebenaran. 
3)     
Guru
sengaja membuat topik atau masalah menjadi relevan. Keterkaitan, kebermaknaan,
dan keberminatan tidak ada otomatis ada pada setiap materi, tetapi muncul dari
siswa. Siswa adalah pemeran utama, sedang guru hanya membangun suasana kelas
agar siswa menemukan sendiri relevansi, makna, dan minat pada setiap sajian
materi ajar. Belajar bukanlah menemukan banyak hal melainkan menafsirkan
fenomena melalui skema dan struktur yang berbagai-bagai.
4)     
Guru
membangun pelajaran dengan merujuk pada tema pokok. Seringkali kurikulum
menyajikan materi bagian per bagian secara terpisah tanpa merujuk pada tema
pokok tadi. Guru pengikut madzhab rekonstruktivis berupaya memberdayakan siswa
untuk ‘meronta-ronta’ memahami tema pokok tadi, dan secara bertahap dengan
bantuan guru memahami hal-hal atau bagian-bagian kecil.
5)     
Penilaian
bukanlah hal yang luar biasa, tapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
kegiatan kelas sehari-hari. Selama ini penilaian dengan istilah evaluasi, tes,
ulangan, atau ujian berkesan seram dan mengerikan bagi siswa. Guru pun merasa
diri seolah hakim agung yang menetukan vonis salah atau benar. Dalam paradigma
konstruktivis, guru harus mengubah citra tes sebagai peristiwa yang menegangkan
menjadi rutinitas keseharian yang biasa-biasa saja. 
Penulis meyakini bahwa setiap teori pendidikan sudah pasti
mempunyai kelebihan dan kekurangan, tak ada salahnya apabila kita memilih dan
memilah teori pendidikan Barat yang notabennya berpaham sekular. Tentu tak
sepenuhnya berkiblat pada teori konstruktivis di atas, tapi juga mengedepankan
pendidikan yang berbasis karakter. Satu titik kelemahan sistem pendidikan Barat
adalah metode pembelajaran yang digunakan adalah teaching center learning,
dimana guru hanya sebagai fasilitator, di sini guru kurang mentransfer
nilai-nilai pemandu kehidupan berkarakter, yang semestinya dibutuhkan oleh
peserta didik agar mempunyai akhlak yang mulia.
Agar ideologi pendidikan Islam yang akan diformulasikan tidak
terjebak pada kelemahan-kelemahan yang tidak semestinya, maka yang dijadikan
paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal,
yaitu ajaran “Humanisme-Teosentris”. Implementasi ajaran ini dalam
praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama
substansinya tetap terpelihara yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
karena hakekatnya ajaran Islam (agama Fitrah) memang untuk kebutuhan manusia,
bukan untuk kepentingan Tuhan. Akan tetapi martabat dan kemuliaan manusia akan
terwujud manakala manusia mampu mendekati Tuhan karena ia berasal dari Tuhan
sebagai Zat Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. 
Intinya, paradigma ideologi yang dikembangkan oleh Prof. Dr. H.
Achmadi ini berpondasi pada aspek Tauhidi dan Insaniyah, dimana tujuan untuk
pendidikan adalah untuk mengenalkan peserta didik agar dapat berhubungan dengan
Tuhannya dan di sisi lain dapat menjalin hubungan baik dengan sesama manusia.
Perlu diketahu juga bahwa paradigma ideologi pendidikan ini secara normatif
tidak akan mengalami perubahan, karena diyakini mengandung kebenaran yang
mutlak dan universal. Namun, untuk menyesuaikan relevansinya dengan
perkembangan zaman, maka perlu dilakukan sebuah interpretasi terhadap
nilai-nilai yang terkandung dalam paradigma tersebut dan reinterpretasi ihwal
pemahaman masa lalu, sehingga menghasilkan formulasi strategi pendidikan yang
transformatif.
Ideologi paradigma yang telah diulas sebelumnya yakni mengenai paradigma
Humanisme-Teosentris yang dijadikan asumsi dasar pemikiran untuk merembug
problematika yang muncul dalam ranah pendidikan. Mengingat Indonesia terdiri
dari multi-agama, untuk menyiasatinya, dengan paradigma ini, Islam hendaknya
menjadi garam yang mengasini semua agama agar nilai-nilai Islam dapat diserap
oleh mereka. Walaupun Indonesia didominasi oleh masyarakat Muslim, tak berarti
pemerintah dapat bebas dominan mencanangkan dan membuat sebuah kurikulum yang
hanya berbasis agama Islam.
Tatkala kita merancang kurikulum pendidikan, yang terbayang dalam
pikiran kita adalah apa indikator manusia yang baik itu. Berdasarkan semua
agama, semua pandangan filsafat, semua orang, manusia yang baik itu ialah
manusia yang:
1)     
akhlaknya
baik; akhlak yang baik itu haruslah akhlak yang berdasarkan iman yang kuat,
2)     
memiliki
pengetahuan yang benar, atau keterampilan kerja yang kompetitif,
3)     
menghargai
keindahan.
Tiga pilar
inilah isi semua kurikulum: akhlak, ilmu atau keterampilan, seni. Akhlak (iman)
menjadi core. Jika seseorang telah memiliki yang tiga itu, maka orang itu
dijamin menjadi orang yang baik. Itulah kurikulum pendidikan baik dalam arti
minimal maupun maksimal. 
Perdebatan yang
mungkin belum dan tidak akan pernah berhenti di kalangan kita tentang seputar
peranan pendidikan agama bagi pembentukan karakter. Negara kita berlandaskan
Pancasila dimana sila pertama adalah menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. Intinya adalah negara kita bukan atheis tapi negara
yang religius yang menjadikan sila pertama dari Pancasila tersebut sebagai core/
inti dari keempat sila lainnya.
Mantan Presiden
RI pertama, Soekarno, berulang-ulang menegaskan: “Agama adalah unsur mutlak
dalam Nation and Character Building” (Sumahamijaya dkk. 2003:45). Hal
ini diperkuat dengan pendapat Sumahamijaya itu sendiri yang mengatakan bahwa
karakter harus mempunyai landasan yang kokoh dan jelas. Tanpa landasan yang
jelas, karakter kemandirian tidak punya arah, mengambang, keropos sehingga
tidak berarti apa-apa. Oleh karenanya, fundamen atau landasan dari pendidikan
karakter itu tidak lain haruslah agama. 
Kembali lagi
pada pembentukan budaya literasi melalui pendidikan. Perlu ditekankan kembali
bahwa pendidik perlu menggabungkan antara teori konstruktivis yang mengharuskan
peserta didik untuk berpikir kritis dan penanaman pendidikan karakter yang
sarat akan nilai-nilai pemandu kehidupan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa pendidikan betujuan untuk
memenusiakan manusia (humanisering). 
Yang paling berharga
dalam proses belajar adalah pemberdayaan siswa untuk memaknai sendiri fenomena
sosial (mulai dari dalam kelas sampai keluar kelas), misalnya melalui proses
menulis, matematika berbasis problem, sains investigatif, dan studi sosial
berdasarkan pengalaman. Tugas adalah menciptakan suasana belajar agar siswa
merevisi kembali pemaknaan (pemahaman) itu dengan sejumlah teknik, seperti
mengajukan kontradiksi, informasi baru, pertanyaan, atau saran penelitian.
Intinya adalah menantang dan mempertanyakan kebenaran konsep sementara yang
diyakini siswa. 
Ada sejumlah
saran yang dapat ditempuh untuk menciptakan kondisi terbiasanya berpikir di
lingkungan lembaga pendidikan, antara lain sebagai berikut:
v  Tersedianya materi baca ihwal berpikir dan pengajaran berpikir.
v  Adanya kajian interdisipliner ihwal berpikir kritis dalam bentuk
skripsi, tesis, dan disertasi.
v  Penyelenggaraan in-service training bagi guru, kepala
sekolah, dan lain sebagainya dalam pengajaran berpikir kritis.
v  Pengembangan materi pengajaran berpikir melalui komputer dan
audio-visual.
v  Penyelenggaraan seminar-seminar ihwal berpikir kritis.
v  Adanya clearing-house untuk mendesiminasikan penelitian dan
informasi tentang berpikir kritis.
v  Adanya mata kuliah critical thinking pada program-program
tertentu seperti pendidikan bahasa dan sastra. 
Sudah
seyogyanya pendidikan dimulai dari pendidikan di dalam rumah. Hal ini berkenaan
dengan peran orang tua sebagai pendidik kodrati anak. Artinya, bagaimanapun
keadaannya orang tua harus menempatkan posisinya sebagai pendidik pertama dan
utama. Karena mereka ditakdirkan menjadi orang tua dari anak yang dilahirkan.
Pun dalam hal menanamkan budaya literasi, selain menfasilitasi anak berupa
penyediaan home-library, orang tua juga sebaiknya memberi contoh untuk
membudayakan gemar membaca di rumah.
Sehubungan
dengan tugas serta tanggung jawab itu maka ada baiknya orang tua mengetahui
sedikit mengenai apa dan bagaimana pendidikan dalam rumah tangga. Pengetahuan
ini sekurang-kurangnya dapat menjadi penuntun, rambu-rambu bagi orang tua dalam
menjalankan tugasnya. Tujuan pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak
mampu berkembang secara maksimal. Itu meliputi seluruh aspek perkembangan
anaknya, yaitu jasmani, akal, dan ruhani. Tujuan lain adalah membantu sekolah
atau lembaga kursus dalam mengembangkan pribadi anak didiknya. 
Melalui
pembiasaan ihwal budaya literasi yang dimulai dari pendidikan, terutama di
lingkungan keluarga, diharapkan anak bangsa dapat memainkan peran aktifnya
sebagai Good and Smart Citizen untuk merenungi berbagai fenomena bangsa
kemudian menyuguhkannya solusi-solusi alternatif untuk mengatasi problematika
yang tiada hentinya bermunculan melalui kontribusinya berupa output literasi
yakni artikel, opini, kolom, wacana, surat pengaduan, dan lain sebagainya.
Hidupnya budaya literasi menunjukkan bahwa demokratisasi benar-benar mengudara
dan dampak positif dalam jangka panjang ialah terpelihara dan terekamnya jejak
sejarah bangsa sebagai salah satu kekayaan warisan peradaban.
IV.            
KESIMPULAN
Sudah jamak diketahui bahwa wahyu pertama (Surat al-‘Alaq:
1-5) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah mengenai perintah membaca.
Bukan hanya sebatas membaca dalam arti yang sebenarnya (kegiatan membaca teks),
namun juga membaca ayat-ayat kauniyah-Nya. Pun banyak sekali ayat-ayat
Al-Qur’an yang menghendaki agar Muslim menggunakan potensi yang diberikan oleh
Sang Khalik berupa akal untuk membaca (baca: analisis) fenomena-fenomena yang
terjadi di alam semesta dan kehidupan manusia itu sendiri. 
Pembentukan Good and Smart Citizen melalui kecerdasan
literasi merupakan hal yang tak bisa dipungkiri ditengah persaingan global yang
semakin menggila ini. Karena melalui budaya literasi, masyarakat akan dapat
memberikan sumbangsihnya terhadap keeksistensian demokratisasi dalam suatu
negara, terutama di Indonesia. Namun ironisnya, budaya literasi di Indonesia
tak sesubur budaya literasi di negara-negara tetangga. Lemahnya budaya literasi
ini menunjukkan bahwa nalar kritis dan demokratisasi di Indonesia masih lemah.
Ya, Indonesia mengalami kelesuan intelektual. Sebab-musabab dari lemahnya
budaya kritis ini adalah karena pendidikan di Indonesia tidak menuntut atau membiasakan
siswanya untuk berpikir kritis. Hal ini juga disebabkan karena warisan budaya
tradisional, rendahnya kadar demokrasi di Indonesia dan rendahnya kualitas
populasi manusia Indonesia yang berpendidikan.
Untuk
mengatasi problematika ini, lembaga yang pertama dibidik untuk mengembangkan
nalar kritis anak bangsa adalah melalui pendidikan yang berbasis karakter yang
berwawasan dan mempunyai daya intelektual yang tajam. Ideologi
Humanisme-Teosentris pun menjadi sebuah paradigma untuk merembug problematika pendidikan
yang silih berganti muncul. Penulis juga menawarkan sebuah penggabungan teori
konstruktivis dengan pengemasan pendidikan yang berbasis karakter yang
mempunyai ruh islami. Hemat penulis, melalui kurikulum pendidikan yang
mengedepankan karakter juga daya nalar kritis, diharapkan outcome
(lulusan) lembaga pendidikan dapat menjadi generasi kritis dan dapat memainkan
perannya sebagai warga negara yang aktif yang kemudian menjadi Good Citizen
melalui hidupnya budaya literasi. Tentu tidak menafikan peranan orang tua
sebagai pendidik kodrati anak, untuk membiasakan budaya membaca di rumah
sebelum memasuki wilayah di luar rumah.
DAFTAR PUSTAKA
________Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945. 2009. Surakarta: CV. ITA 
Achmadi. 2008. Ideologi
Pendidikan Islam: Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Alim, Muhammad.
2006. Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian
Muslim. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Alwasilah, A
Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Arifin,
Syamsul. 2009. Studi Agama Perspektif Sosiologis dan Isu-isu Kontemporer.
Malang: UMM Press
Armstrong,
Coleen. 2012. The Truth About Teaching. Amerika: Jossey Bass
El-Banjary,
Miftahur Rahman. 2011. Dahsyatnya Potensi Ahsanu Taqwim. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo
Gong,
Gola. 2006. Menggenggam Dunia; Bukuku Hatiku. Bandung: DAR! Mizan 
Kamah, Iwan
Satyanegara, et.all. 2013. Frans Tshai: Quo Vadis Indonesia?.
Yogyakarta: Bahari Press
Majid, Abdul, et.all.,
2012. Pendidikan Karakter Perpektif Islam. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Rozak, Abdul, et.all.
2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tafsir, Ahmad.
2008. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad.
2012. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Taib, Mohamed
Irwan. Read, Write, and Pursue Knowledge: Transformative Reflections from
Surat Al-Alaq.pdf
Tim Penyusun
Kamus Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka